Dua agama di bawah satu atap, mungkinkah?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Dua agama di bawah satu atap, mungkinkah?
Ketika anak SMP tinggal bersama keluarga yang berbeda suku serta agama. Berhasilkah menjadikan toleransi bukan sekedar ucapan?

JAKARTA, Indonesia – Perseteruan antar umat berbeda agama bukanlah cerita asing di Indonesia. Toleransi belum sepenuhnya tertanam dalam benak seluruh masyarakat. Namun, bukan berarti tak ada harapan sama sekali bagi terwujudnya kerukunan beragama di Indonesia.

Ayu Kartika Dewi membuat program ‘SabangMerauke’ atau ‘Seribu Anak Bangsa Merantau untuk Kembali’, yang menempatkan 15 siswa SMP di keluarga yang menganut agama berbeda dengan mereka. ”SabangMerauke dibentuk atas upaya ikut serta membantu mewujudkan Indonesia yang lebih damai. Karena kami percaya, toleransi tidak bisa diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan,” kata dia melalui siaran pers pada Rabu. 8 Juni 2016.

Pengalaman pribadi

Niatan Ayu ini muncul dari pengalamannya saat menjadi guru SD di Maluku Utara. Daerah ini memang pernah dilanda konflik antara masyarakat pemeluk Islam dan Kristen yang cukup lama. Akibatnya, pemerintah memisahkan keduanya di dua desa yang berbeda.

Ayu sendiri ditempatkan di desa berpenduduk Islam. Sesekali, pertengkaran masih terjadi.

Suatu siang, ia mendengar kabar kalau akan ada serangan oleh penduduk Kristen. Anak-anak muridnya berlarian ke rumah tinggal Ayu, dan dengan panik memperingatkan: “Ibu, hati-hati dengan orang Kristen! Mereka bisa membakar rumah kita!”

Dengan sabar, Ayu mengatakan kalau kerusuhan jauh dan tak akan mencapai lokasi mereka. Namun anak-anak itu bersikeras kalau ‘kerusuhan akan terbang ke sini!’

“Mereka tak pernah bertemu dengan orang Kristen, dan bahkan tak mengerti arti kata ‘rusuh’, tetapi mereka begitu marah dan membenci orang Kristen,” kata Ayu. Dari situlah ia bertekad untuk membukakan mata anak-anak ini tentang kehidupan di luar desa mereka.

Perbedaan dalam satu rumah

Sekembalinya ke Jakarta pada 2012, Ayu menggandeng Aichiro Suryo dan Dyah Widiastuti untuk membuat progam SabangMerake. Kegiatan resmi dimulai sejak 2013 lalu.

Di tahun ke-4 ini, SabangMerauke berhasil menarik minat 1.178 siswa SMP kelas VIII dan IX dari seluruh Indonesia untuk berpartisipasi menjadi Adik Sabang Merauke (ASM). Sementara itu, animo pendaftar Kakak Sabang Merauke (KSM) dan Famili SabangMerauke (FSM) juga mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat untuk KSM.

KSM dan FSM yang mendaftar tahun ini masing-masing sebanyak 445 dan 33 pendaftar. Selanjutnya, mereka akan diseleksi hingga berjumlah 15 kakak dan keluarga. Mereka akan berinteraksi dengan ASM selama 3 pekan.

Managing Director SabangMerauke 2016 Irma Sela Karlina mengatakan ada perbedaan program tahun ini dengan yang sebelumnya. “Waktunya lebih lama, sebelumnya hanya 2 pekan,” kata dia.

Interaksi yang lebih lama diharapkan dapat membuat nilai toleransi, pendidikan, dan keindonesiaan tertanam kuat. Ketika kembali ke daerah asalnya, para peserta bisa menyebarkan pengalaman ini ke lingkungan sekitar.

Prioritas daerah konflik

Sejauh ini, SabangMerauke sudah pernah menempatkan seorang bocah Hindu dari Bali di keluarga Muslim; bocah Kristen dari Kalimantan dengan keluarga Jawa yang memeluk Islam; dan seorang bocah Muslim dari Maluku di rumah keluarga keturunan Tionghoa dan beragama Katolik.

“Kami memang memprioritaskan anak-anak dari daerah yang berkonflik,” kata Ayu.

Salah satu contohnya adalah Apipa, yang mengaku ketakutan dengan orang lain yang berbeda agama. “Waktu di SMP pernah ada yang galak dan suka marah-marah, dan menghina agama Apipa,” kata dia.

Ia terpilih untuk tinggal dengan keluarga Richard Lim dan Ratna Megasari, yang beragama Kristen. Pada 2-3 hari awal, ia merasa ketakutan dan meminta pindah. “Aku takut dibawa ke gereja,” kata dia.

Pikiran itu segera berubah ketika Richard dan istrinya ternyata sangat ramah dan membantu dia. Mereka tak keberatan mengantar Apipa beribabadah ke masjid. Bahkan membantunya untuk menemukan kiblat guna menuntaskan salat di rumah host family-nya.

Ketakutannya sirna, dan ia belajar untuk menghargai orang yang berbeda agama dengannya. Richard juga melihat hal yang serupa. Ia merasa mulai bisa memberikan fasilitas sembayang untuk Apipa dengan sendirinya. Bahkan anak laki-lakinya juga membantu mencarikan kiblat dengan bantuan aplikasi ponsel.

“Toleransi itu bukan sekedar diucapkan, tetapi harus dirasakan,” kata Apipa. – Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!