Wawancara khusus: Wakil Ketua KPK Laode M Syarif

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Wawancara khusus: Wakil Ketua KPK Laode M Syarif
‘Sebanyak 99,8 persen reklamasi di Indonesia adalah “private driven”’

JAKARTA, Indonesia – Ruangan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di lantai 3 gedung yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, ini dihiasi dengan beragam kalimat yang bernuansa semangat pemberantasan korupsi.  

Laode Muhammad Syarif, salah satu komisioner dan wakil ketua KPK, menawari minuman kepada Natashya Gutierrez, jurnalis Rappler dari Filipina, yang menemani saya dalam wawancara khusus kami dengannya. Laode M. Syarif dan saya berpuasa Ramadan.  

“Kita sama sekali tidak terganggu, kan, kalau ada yang minum saat berpuasa?” canda Laode saat Rappler menemuinya di kantornya, pada Selasa, 7 Juni, hari kedua puasa Ramadan tahun ini.

Laman KPK menyebutkan bahwa Laode lahir di Lemoambo, Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, pada 16 Juni 1965.  

Ia mengawali karir di Makassar sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanudin (Unhas) sejak 1992. Laode menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 

Setelah itu ia melanjutkan pendidikan pada program Master of Laws (LLM) di Faculty of Law, Queensland University of Technology (QUT), Brisbane, Australia, dan melanjutkan PhD program di Sydney University, School of Law, dengan program kekhususan Hukum Lingkungan Internasional. 

Selain menjadi dosen pada Fakultas Hukum Unhas, ia juga aktif sebagai pembicara dan dosen tamu di Sydney University Law School, National University of Singapore Law School, Cebu University Law School, dan University of South Pacific, Vanuatu. 

“Saya mengikuti berita-berita di Rappler,” kata Laode. Dia mengatakan memiliki mitra kerjasama di Filipina.

“Dari kecil, sampai disertasi, saya berkecimpung dengan isu kebakaran hutan,” ujarnya sambil senyum, menjawab pertanyaan mengapa dia memilih menekuni hukum lingkungan hidup. Ini bidang hukum yang belum banyak ditekuni saat Laode memilih mendalaminya.  

Laode lantas menceritakan apa yang membuatnya miris terkait kebakaran hutan.

“Luas total daratan Singapura adalah 71.610 hektare. Jika kita bandingkan dengan luas hutan yang dibakar para pengusaha, luas Singapura jauh lebih kecil,” kata bapak tiga anak ini. Anak-anaknya masih menempuh pendidikan sekolah dasar.

Tesis dan disertasi Laode membahas soal ini. “Pembakaran terparah terjadi pada 1997-1998 karena menghilangkan 11,7 juta hektare hutan Sumatera dan Kalimantan, yang luasnya ribuan kali daratan Singapura,” ujarnya.

Ilmunya dalam hukum lingkungan berguna untuk pembuatan kurikulum Kode Etik Hakim dan Pelatihan Hukum Lingkungan Hidup di Mahkamah Agung. Laode banyak menulis tentang hukum lingkungan terkait perubahan iklim dan kehutanan.

Ia juga aktif sebagai penasihat senior terkait tata pemerintahan keadilan dan hukum lingkungan di kemitraan. Untuk isu korupsi, Laode pernah menjabat sebagai Spesialis Pendidikan dan Pelatihan Proyek Pengendalian Korupsi Indonesia. Ia juga masuk dalam tim perumus dan International Advisory Panel on Transboundary Pollution.

Dengan makin banyaknya kasus terkait lingkungan hidup yang mencuat ke publik, dari kebakaran hutan, alih fungsi hutan dan reklamasi, Laode bisa disebut sebagai “senjata rahasia” yang bisa mempertajam bidikan KPK atas kasus-kasus itu.

Laode bisa disebut sebagai 'senjata rahasia' yang bisa mempertajam bidikan KPK atas kasus-kasus kebakaran hutan, alih fungsi hutan, dan reklamasi. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Berikut cuplikan wawancara Rappler dengan Laode:

Dengan rekam jejak panjang terkait hukum lingkungan hidup, mengapa Anda akhirnya memutuskan untuk melamar sebagai komisioner KPK?

(Tertawa). Sebenarnya saya enggak mau. Dari dulu saya memang sudah membantu KPK. Sudah lama. Membantu polisi dan jaksa juga. Saya suka bekerja di balik layar.   

Lalu ada beberapa kejadian yang membuat saya berpikir, KPK perlu dibantu langsung. Masuk ke dalam. Itupun saya memasukkan lamaran di hari terakhir ketika teman-teman dari CSO (civil society organization) sudah ngomel

‘Abang kok janji-janji mau daftar tapi belum daftar juga?’ Iya, saya ingin ikut memperbaiki dari dalam.

Banyak yang masuk ke lembaga negara, ingin memperbaiki dari dalam, lalu frustrasi. Bagaimana setelah enam bulan jadi komisioner?

Setelah enam bulan, kami berlima lumayan solid. Misalnya, nomor satu, dulu kalau kita mau tandatangan surat-surat itu di ruangan masing-masing. Sekarang kami kerja di ruangan yang sama, biasanya di ruangan Pak Agus Rahardjo (Ketua KPK, red), karena ada meja bundar atau di ruangan rapat.  

Keputusannya dibuat bersama, sekaligus untuk menunjukan bahwa cohesiveness itu kuat. Kalau ada isu bahwa ada perbedaan pendapat, itu biasa. Kami diskusikan bersama, sehingga setiap keputusan adalah kesepakatan. Tentang apa saja. Belum ada dissenting opinion, meskipun dimungkinkan

Kedua, kami ingin integrasikan antara pencegahan dan penindakan. Dulu kan diributkan katanya KPK ini akan lebih fokus sebagai Komisi Pencegahan Korupsi — tidak melakukan penindakan. Itu salah.  

Kami melakukan penindakan, termasuk mewarisi empat puluhan kasus yang sebelumnya enggak jalan karena hubungan yang kurang baik dengan lembaga lain. Beberapa operasi penindakan juga kami lakukan.

(BACA: KPK tangkap anggota DPRD DKI terkait suap Raperda Reklamasi Jakarta Utara)

Tetapi memang perlu ada yang diperbaiki di KPK. Misalnya, KPK punya kajian banyak tentang natural resources,  hutan, tambang, energi, bahkan tentang pangan. Tapi kok itu seperti ranahnya pencegahan. Tidak pernah ada kontribusi ke penindakan. Ini mau kita sinergikan.  

Contohnya lagi, misalnya KPK sudah ambil tiga gubernur Riau, itu kan penindakan. Tetapi kalau kita lihat hari ini, apakah tata kelola pemerintahan di Riau sudah lebih bagus dari sebelumnya? Ternyata belum.  Oleh karena itu kami enggak bisa cuma menangkapi saja. Sesudah ditangkapi daerahnya harus lebih baik. Kami buat task force untuk Riau.  

Sumatera Utara, sudah dua gubernurnya terkena kasus korupsi. Anggota parlemennya hampir ini. Kami tetapkan enam provinsi sebagai pilot project pemberantasan korupsi. Mulai dari  Aceh, Sumut, Riau, Banten, Papua, dan Papua Barat. Masing-masing enam provinsi ini menurut laporan yang kami dapat dan studi yang dilakukan KPK, korupsinya sangat tinggi. Perlu perhatian khusus.

Seperti apa yang dilakukan ‘task force’ KPK di enam provinsi ini?

Macam-macam, misalnya soal transparansi anggaran, terus proses pengadaan barang dan jasanya kita harus perbaiki. Kalau e-procurement-nya belum befungsi, kami ajak jalan-jalan ke Ibu Risma, Wali Kota Surabaya. 

Belum lama ini  semua bupati baru terpilih saya temani ke Surabaya. Bu Risma mau kasih aplikasi itu ke Pemda lain tapi dia enggak mau lagi direct dari Kodya Surabaya ke pihak lain, karena sudah sering datang, MoU (Memorandum of Understanding) tapi tidak dilaksanakan. Bu Risma lebih suka kasih aplikasi ke KPK, KPK awasi langsung pelaksanaannya.

Jadi, Kodya Surabaya yang terbaik?

Untuk saat ini, dari segi keterbukaan informasi, Surabaya terbaik.

Apa tantangan KPK menurut Anda?

Paling berat? Ada yang internal dan eksternal.

Pertama, internal. Kami terima laporan sekitar 7.000 per tahun, jumlah penyelidik, penyidik, penuntut kami sekitar 120-an orang. Itu 7.000 laporan belum tentu semua jadi kasus. Kami bisa menyelesaikan kasus, maksimum 70 kasus yang dibawa ke pengadilan per tahun, artinya hampir setiap 5 hari ada kasus baru yang ke pengadilan. Jelas ini melelahkan, dikaitkan dengan sumber daya manusia yang jumlahnya sedikit. Di KPK ini total staf sampai petugas pembersih ruangan, ada 1.400-an orang.

Kedua, masyarakat terlalu banyak berharap kepada KPK, khususnya Pemda-pemda. Tetapi outreach atau jangkauan KPK sangat terbatas. Kalau mau ke Papua, Maluku, dan daerah lainnya sangat kurang. Sehingga kami buat task force kecil yang cepat bergerak, baik dari segi pencegahan maupun penindakan.

Yang eksternal tentu ada. Baru masuk ke KPK, kami merasakan betapa parlemen kurang bersahabat dan ingin mengubah UU KPK. Padahal saya pikir bukan itu yang perlu diperbaiki.

Yang perlu diperbaiki adalah menggolkan beberapa UU yang kita belum punya. Misalnya,  UU terkait asset recovery. UU belum ada padahal drafnya sudah ada. Harusnya parlemen fokus untuk itu. 

Aturan tentang illicit enrichment juga belum ada. UU tentang corruption in private sector, belum ada. Harusnya parlemen fokus mengadakan UU itu. Karena menurut assessment UNCAC, lembaga PBB terkait pemberantasan korupsi, kekurangan KPK di Indonesia adalah itu. Hal-hal yang belum ada di UU Tindak Pidana Korupsi. KPK ini tergolong yang terbaik di dunia. Yang sudah baik kok malah mau diubah?

Setelah enam bulan, apakah tekanan dari parlemen masih ada? Bagaimana dengan komitmen Presiden Jokowi?

Sekarang tekanan itu berkurang. Kami bertemu Presiden Jokowi pada saat itu dan beliau memahami posisi KPK dan beliau berjanji memberikan dukungan, termasuk misalnya tentang, kami ingin corruption perception index Indonesia dapat skor 50, saat ini 37 di posisi ke-88 dari 168 negara. Ini target KPK. 

Pak Presiden bilang apakah itu tidak ambisius? Saya katakan, memang ambisius tapi kalau Bapak berikan support, khususnya perbaikan pelayanan publik, ini bisa dicapai. Pak Jokowi berjanji memberikan dukungan, bukan hanya 100 persen, tapi 1.000 persen.  

Bagaimana dengan independensi KPK terhadap pemerintah dan Presiden?

Dukungan presiden bagi KPK saya pikir tidak ada hubungannya dengan independensi KPK. Bahkan saat kita membicarakan bagaimana pemberantasan dan pencegahan korusi ke depan, beliau sudah nyatakan ini tidak ada hubungannnya dengan saya ingin intervensi KPK.  

Dan saya pikir yang akan menentukan kami juga. Masyarakat bisa menilai, misalnya, kasus-kasus yang ditangani KPK itu apakah afiliasi politiknya jadi bermasalah. Lihat anggota DPR dan DPRD yang kami tangani itu, kami tidak pilih-pilih partainya.

Saat konferensi pers operasi tangkap tangan M. Sanusi, anggota DPRD DKI Jakarta terkait suap peraturan reklamasi Jakarta, Anda katakan kasus ini grand corruption. Korupsi skala besar. Dalam proses hipotesa, itu terjawab?

'Dukungan presiden bagi KPK saya pikir tidak ada hubungannya dengan independensi KPK', kata Laode. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Saya mengatakan grand corruption karena beberapa alasan. Di antaranya, pertama, saya melihat kriterianya, mengubah kebijakan, dan akibatnya besar untuk masyarakat dan yang ingin dilakukan dalam kasus itu bagaimana private sector ingin mengubah aturan sehingga sesuai keinginannya.  

Kami (KPK) juga punya kajian tentang reklamasi. Bayangkan, sebanyak 99,8 persen reklamasi di Indonesia itu private driven. Karena didorong pihak swasta. In fact, cuma satu yang pemerintah, itu pun enggak sepenuhnya.

Misalnya di Makassar, Center Point, ada kerjasama pemerintah dan swasta, tapi lebih banyak swastanya. Di Manado. Di Bali. Hampir semuanya karena kepentingan swasta. Dan itu selalu mem-push, mendorong orang-orang yang hidup di sekitar kawasan yang direklamasi, untuk keluar area.  

Jadi, pada waktu saya lihat kasus suap reklamasi Jakarta ini, saya pikir ini hanya hitung-hitungan ekonomi saja, ternyata melihat lebih dalam, apa yang saya pikirkan terbukti. Ini grand corruption. Terbukti reklamasi Jakarta itu sampai harus mengubah aturan untuk swasta.

Lihat saja, sejauh ini terbukti. Sudah diuji di PTUN, hakim mengabulkan gugatan atas reklamasi yang dilakukan nelayan. Presiden mengeluarkan aturan moratorium. Sekarang kasus reklamasi Jakarta ini kami pelajari dengan hati-hati. Secara prudent.

Negara kalah dalam pengadilan tingkat pertama terkait kebakaran hutan yang terjadi tahun 2015.  KPK apakah masuk juga ke kasus itu?

Sebenarnya kajian pertama KPK dalam hal sumber daya alam itu tentang hutan. Saya menjadi tim ahli KPK dalam bidang itu. Kami sudah berikan 11 rekomendasi ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Belum dijalankan semua. Salah satunya soal transparansi izin.  

Misalnya, Company A, dapat konsesi A di Kabupaten A, dari mana batasnya, berapa jumlahnya, itu sampai sekarang belum transparan. Lalu soal alih fungsi lahan. Misalnya, dari hutan produksi jadi kebun dan macam-macam itu belum transparan.

Yang berhubungan dengan kebakaran hutan, memang kita juga curiga banyak yang melakukan pembiaran. Ya, saya tahu betul situasi lapangan. Saya pelajari kebakaran hutan dari kecil, sekolah menengah, sampai tesis dan disertasi saya tentang kebakaran hutan.

Salah satu contoh kasus yang baik dalam penegakan hukum lingkungan tentang pembakaran hutan, yakni Kementerian Lingkungan Hidup versus PT Kallista Alam. PT Kallista Alam dihukum membayar ganti rugi materi dan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp 366 miliar lebih, karena terbukti membuka lahan dengan cara membakar.

Jika pemerintah Indonesia konsisten dalam menegakkan hukum seperti dalam kasus ini, saya jamin para pengusaha sawit akan berpikir seribu kali untuk membakar lagi. 

Saya agak kecewa dengan  Kementerian LHK. Mereka masih pakai KUH Perdata perbuatan melawan hukum. Bukan pakai UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Kehutanan, yang strict liability.  

Terus terang setelah kalah, Dirjennya datang ke sini, mohon dibantu. Ya, saya bilang akan dibantu. Pada saat yang sama, saya melihat seperti ada unsur kesengajaan sehingga kalah. Karena bukan menggunakan UU itu. Sekarang kami sedang kerja dengan mereka tentang sawit.  

Menurut Anda, siapa pendukung terbesar KPK dalam pemberantasan korupsi?

Pendukung pertama? Masyarakat. Mereka memberikan energi ekstra dalam upaya pemberantasan korupsi. Kami dapatkan dukungan termasuk dalam hal keluhan, complaint, mengapa laporan mereka tidak ditindaklanjuti. Itu dukungan.  

Pendukung nomor dua adalah pemerintah. Politisi? Fifty-fifty (Tertawa). 

Anda punya akun Twitter, @LaodeMSyarif. Bagaimana peran media sosial dan para netizen dalam pemberantasan koprupsi?

Sangat positif. Media sosial berperan penting dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Cuma sekarang medsos agak terbelah oleh politik. Ada hal-hal yang seharusnya dilihat secara obyektif tentang kasus tertentu. Sekarang itu ada like and dislike, ada lovers and haters, sehingga membuat polarisasi. Dan akun-akun seperti ini mendapatkan tempat yang sangat banyak. Akhirnya jadi bias. Tapi tetap saja, menurut saya hardcore pendukung KPK adalah yang akun beneran (Tersenyum).  

Sehari, tidak tentu. Saya tweet 1, 2, 3 kali, kadang saya retweet yang saya suka. Sebenarnya saya dinasihati untuk menutup akun media sosial saya. Saya kan dulu punya akun Facebook akhirnya saya tutup for security reason, karena ada foto anak-anak saya, keluarga saya di situ. Ya, maklum, being activist in the past, banyak gunakan medsos juga. Sekarang tinggal di Twitter. Saya lebih suka mengamati. Lebih senang followers sedikit. Jangan dipromosikan, ya (Tertawa).

Laode kerap diprotes anak-anaknya yang merasa waku bersama dengan sang ayah sangat berkurang sejak menjadi komisioner KPK. Foto oleh Uni Lubis/Rappler

Setiap hari sekitar jam 8:00 WIB, biasanya Laode dan komisioner lain sudah ada di kantor KPK. Mereka pulang rata-rata jam 21:00 WIB. Menjadi komisioner artinya harus melepas sebagian besar dari kebebasan.  

“Hobi? Waktu luang? Hampir tidak pernah saya lakukan lagi. Kalau pergi saya harus pakai topi, seperti menyamar hahaha,” kata Laode.  

Dia juga diprotes anak-anaknya yang merasa waku bersama dengan sang ayah sangat berkurang.

Laode banyak membaca, baik buku maupun media.  

“Dulu saya suka banget membaca Majalah Panji Masyarakat, di sekitar Reformasi. Apa yang ditulis di situ beda, dan menurut saya bisa jadi pedoman berita. Tulisannya berani, ” kata Laode kepada penulis, yang pernah menjadi pemimpin redaksi Majalah Panji Masyarakat saat itu.

Dalam sebuah pertemuan, Laode pernah mengutip penasihat KPK, Abdullah Hehamanua, yang tidak mau mencicipi minuman yang disediakan pengundang misalnya saat ceramah. Ya, seperti itu kehati-hatian yang harus dijalani komisioner KPK, termasuk Laode. –Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!