Masjid Lautze, masjid bergaya Tionghoa di Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Masjid Lautze, masjid bergaya Tionghoa di Jakarta
Sejarah dan penampakan masjid bergaya Tionghoa di Sawah Baru, Jakarta Barat. Apa yang membedakannya dari masjid lain?

JAKARTA, Indonesia – Di antara deretan ruko yang memadati Jalan Lautze, Pasar Baru, Jakarta Pusat, ada satu bangunan yang sangat mencolok mata. Bangunan dua tingkat itu berwarna paduan merah dan hijau, dengan hiasan lampion kecil bergantungan.

Orang awam mungkin akan mengiranya sebagai salah satu klenteng – tempat beribadah umat Konghucu. Namun, pada plat kecil yang terpampang di dekat pintu masuk, tertulis “Masjid Lautze.”

Ya, tempat ini merupakan salah satu masjid yang dibangun oleh umat muslim keturunan Tionghoa. Karena itulah gaya bangunannya tidak seperti masjid pada umunya; yang identik dengan kubah besar, pengeras suara, hingga hiasan gaya Timur Tengah. Pengunjung bisa melihat sentuhan khas budaya Tionghoa bahkan dari luar.

Sekilas, Masjid Lautze lebih tampak seperti klenteng.

Sudah sejak tahun 1991 masjid ini dibangun Haji Karim Oei di Jalan Lautze nomor 87-89. Dari yang awalnya hanya satu ruko, hingga berkembang menjadi dua sejak 1994. Pada tahun yang sama, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) B.J. Habibie meresmikan bangunan ini.

Tujuannya memang menyebarkan syiar Islam di kalangan etnis Tionghoa pada saat itu.

Perbedaan fisik tak menjadi masalah, karena di tempat ini umat muslim Tionghoa maupun pribumi bisa bersama-sama mengikuti pengajian. Sesekali, ada juga diskusi ajaran Islam. Bahkan, menurut informasi yang beredar, sejak tahun 1995 masjid ini sudah mengislamkan ribuan umat Tionghoa.

Tidak seperti masjid umum

Rappler berkesempatan mengunjungi masjid ini pada Kamis, 9 Juni, lalu. Lokasinya cukup dekat dari Stasiun Sawah Besar, dan bisa dicapai dengan berjalan kaki atau naik ojek dan bajaj yang banyak berkeliaran di sekitar.

Setibanya di Masjid Lautze sekitar pukul 4 sore, keadaan sudah sangat sepi. Hanya ada dua orang penjaga, dan sekitar 5 orang umat di dalam masjid. Beberapa orang tampak tidur-tiduran, namun ada juga yang membaca Al-Quran dengan khusyuk.

Salah seorang penjaga yang menolak menyebutkan namanya menghampiri Rappler. “Masjid sudah mau tutup,” kata dia.

Rupanya, Masjid Lautze tidak seperti masjid lain yang bisa dikunjungi hingga larut malam. Jam bukanya sama persis dengan jam kantor Yayasan Haji Karim Oei, yakni pukul 8 pagi hingga 5 sore. Pengurus masjid, menurut si penjaga, rupanya berada di sana hanya selama kantor yayasan beroperasi.

Setelahnya, tak ada lagi yang menjaga hingga masjid langsung digembok. Hal ini sekaligus menjelaskan mengapa suasana sangat sepi meski sudah mendekati jam buka puasa.

Penjaga itu menjelaskan kalau setiap hari biasa, masjid tak mengadakan aktivitas apapun bahkan saat bulan Ramadan sekalipun. “Biasanya ramai kalau akhir pekan, ada bagi-bagi takjil gratis atau pengajian,” kata dia.

Andi, penjual es podeng yang biasa mangkal di depan Masjid Lautze, mengatakan kalau umat biasanya beribadah maghrib di masjid lain yang terletak tak terlalu jauh. “Tapi jemaah di sini baik, suka memberi takjil atau sumbangan kalau sedang ada tarawih,” kata dia.

Sayang, Rappler tak sempat bertemu dengan umat keturunan Tionghoa. Menurut Indra, salah satu pengunjung rutin masjid yang tadi membaca Quran, kalau hari biasa memang mereka jarang bisa ditemui. “Coba lagi saja besok Sabtu,” kata dia.

Hiasan bergaya Tionghoa

Interior dan hiasan bergaya Tionghoa.

Interior masjid memang sangat kental menampilkan budaya sang pendiri. Karpet berwarna hijau tua tampak serasi bersanding dengan tembok kuning dan aksen merah.

Tempat imam berkotbah pun tampak hampir menyerupai altar pemujaan di klenteng. Bahkan, kaligrafinya juga lebih ke aliran Tionghoa dengan tinta hitam di atas kertas putih. Bila lalai, pengunjung bisa salah menangkapnya sebagai hanzi – huruf Tionghoa.

Tempat kotbah imam, ada hiasan huruf hanzi.

Ukurannya cukup luas, bisa untuk ibadah 200 orang jemaat. Meski kecil, namun tak terasa panas dan sumpek karena ada pendingin ruangan. Sayang, musholanya tak terlalu luas, mungkin hanya seukuran 2×2 meter. Terbayang antriannya bila umat tengah membludak.

Hiasan kaligrafi yang sepintas mirip aksara Tionghoa.

Saat ini, perkembangan Masjid Lautze sangat baik. Yayasan sudah membangun dua masjid lainnya dengan nama sama di Bandung dan Tangerang. Proses penyebaran agama Islam pun tak berhenti.

Masjid Lautze menampilkan data mualaf setiap tahunnya. Pada tahun lalu, mereka sudah mendapatkan 88 umat baru. Untuk tahun ini, hingga bulan Mei lalu, sudah tercatat ada 27 jemaat baru lagi.

Keberadaan Masjid Lautze menunjukkan kalau agama tak memandang ras, ataupun asal usul seseorang. Setiap manusia, dari manapun asalnya, berhak memeluk keyakinan apapun yang diinginkannya.

-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!