Nasib pengungsi Muslim Rohingya beribadah Ramadan di Makassar

Syarifah Fitriani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Nasib pengungsi Muslim Rohingya beribadah Ramadan di Makassar
Para pengungsi mengaku betah dan berharap bisa menetap di Indonesia.

MAKASAR, Indonesia – Sudah tiga tahun lamanya, warga Muslim Rohingya dari Myanmar terpaksa harus menunaikan ibadah puasa di Makassar, Indonesia. Itu semua akibat menjadi korban konflik di tanah kelahirannya di Myanmar.

Rappler Indonesia pada Jumat, 10 Juni bertemu dengan sebagian pengungsi yang menempati sebuah shelter sementara di Pondok Merah, Jalan Pettarani 2, Makassar. Di sana, ada sekitar 40 pengungsi dari 3 negara yang tinggal bersama.

Beberapa pengungsi asal Pakistan, Palestina dan Muslim Rohingya terlihat tengah bercengkerama di halaman pondok tersebut. Tidak sedikit dari mereka yang sudah fasih berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.

Pengelola Pondok Merah, Agus, mengungkapkan selama mengungsi di sana, baik Muslim Rohingya Myanmar dan pengungsi dari negara lain nampak akrab. Tidak hanya kompak di bulan Ramadan, tetapi sehari-hari pun memang begitu.

Para pengungsi itu mengakui Indonesia memang negara yang ramah. Bahkan, banyak di antara para pengungsi yang betah menetap di Indonesia.

“Tapi sayang, untuk menetap di sini jalam jangka waktu lama tidak mungkin. Secara bertahap, mereka akan diberangkatkan ke luar negeri seperti ke Australia dan Amerika Serikat,” tutur Agus.

Pria asli Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menjelaskan, keberadaan para pengungsi di Pondok Merah sepenuhnya dibiayai oleh PBB. Mereka juga diberi jadwal kursus Bahasa Inggris sebagai bekal jika akan diberangkatkan ke negara lain.

Walaupun begitu, sebagian dari pengungsi tetap ada yang berniat untuk bekerja di perusahaan di Makassar. Namun, sayang karena terkendala komunikasi, niat itu diurungkan.

“Bekerja di sini juga tidak semudah yang dipikirkan. Perlu dokumen resmi dan sulit didapatkan,” tutur Agus.

Berbuka dengan Roti Chapati

Lalu, apa menu khusus bagi para pengungsi selama bulan Ramadan? Mereka memilih roti chapati. Itu merupakan masakan khas negara Pakistan dan India.

Para pengungsi yang tinggal di pondok itu mengaku memasak sendiri. Menurut Amir, yang ditugaskan sebagai kepala dapur, mengatakan rekan-rekan senasibnya menyukai Roti Chapati karena rasanya nikmati dan bahannya mudah diperoleh di pasar tradisional.

“Ini menu wajib berbuka dan setiap sore jelang buka puasa kami berkumpul bersama-sama membuat Roti Chapati di sini,” ujar Amir yang ditemui ketika tengah mengolah adonan Roti Chapati.

Bahan utama yang digunakan untuk membuat roti tersebut yakni tepung dan mentega. Tetapi, sayang pemanggang khususnya tidak mudah didapat di Indonesia. Alhasil, mereka menggunakan wajan sebagai alat pemanggang alternatif kemudian ditaruh di atas kompor hingga panas.

Usai berbuka puasa, para pengungsi kemudian berangkat salat tarawih di masjid yang tidak jauh dari tempat mereka tinggal.

“Kami sangat senang tinggal di Indonesia, khususnya Kota Makassar. Semua warga di sini sangat ramah dan menganggap kami sebagai saudara,” kata Amir.

Dia juga menyebut warga Makassar tidak pernah melihat para pengungsi sebagai orang asing.

“Kalau disuruh memilih, maka kami akan lebih senang tinggal di sini daripada pulang ke negara kami, Myanmar,” ujarnya. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!