Mengarungi samudera ilmu dari kolong jembatan

Tirzah Jessica Sihotang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mengarungi samudera ilmu dari kolong jembatan
Sekolah kolong jembatan di Cikini (Seko.Ci) mengajak anak-anak jalanan mengenyam hak pendidikan yang terampas dari mereka

Sebuah kolong jembatan di kawasan Stasiun Cikini, Jakarta Pusat, sudah menjadi tempat bermukim bagi sekelompok masyarakat terpinggirkan. Mereka tidur beralaskan tanah dan beratapkan beton jembatan rel kereta api selama bertahun-tahun.

Namun sekitar setahun yang lalu, anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatan ini mendapat perhatian khusus dari Ajeng Satiti Ayuningtyas.

Ajeng (25 tahun) teringat akan kejadian tidak menyenangkan yang dialami oleh salah seorang kerabatnya. Ketika itu bibi Ajeng menanyakan arah jalan kepada anak-anak jalanan, tetapi mereka menjawabnya dengan kata-kata kasar. 

“Mereka enggak salah, sih. Mereka tetap anak-anak, hanya kurang ilmu saja,” kata Ajeng, menceritakan pengalaman bibinya.

Pada akhir Mei 2015, Ajeng bersama teman-temannya bertekad untuk mengajar anak-anak jalanan secara sukarela. Langkah awal yang dilakukan adalah pendekatan kepada orang-orang dewasa yang tinggal di kolong jembatan tersebut. Mereka menawarkan diri untuk memberikan pembelajaran cuma-cuma untuk anak-anak jalanan. Gayung pun bersambut. 

Pegawai sebuah perusahaan swasta ini kemudian membuat janji dengan orangtua calon peserta didik, dengan harapan pekan depan akan ada kegiatan mengajar anak-anak jalanan di kolong jembatan. Namun, setelah seminggu berlalu, Ajeng dan teman-temannya terkejut melihat tidak ada seorang anak pun yang muncul untuk belajar. 

Setelah ditanyakan kepada para orangtua, anak-anak mengaku tidak mau belajar dan hanya ingin berjualan. Tapi hal ini tidak membuat Ajeng patah arang. Ajeng dan teman-teman meminta bantuan kepada orangtua dari anak-anak tersebut sehingga mereka mau ikut kegiatan belajar. 

Saat itu hanya ada empat anak yang ikut kegiatan belajar-mengajar di kolong jembatan dengan peralatan seadanya, beralaskan batu besar untuk menulis, dan menghirup asap bakaran sampah yang berada persis di samping lokasi, sampai menyebabkan sesak nafas. Kegiatan belajar-mengajar inilah yang menjadi cikal bakal Sekolah Kolong Cikini (Seko.ci). 

Sesuai dengan namanya, Seko.ci adalah sekolah informal bagi anak-anak jalanan yang bertempat di sebuah kolong jembatan di bilangan Cikini.

Latar belakang orangtua dari peserta didik Seko.ci bermacam-macam. Ada yang bekerja sebagai pegawai cleaning service, pemulung, dan ada pula yang tidak bekerja sama sekali, malah bergantung pada anak-anaknya. Sebagian dari orang tua ini memang sudah lama menetap di bawah kolong jembatan Cikini, tetapi tak sedikit yang merupakan pendatang dari Jonggol, Surabaya, dan daerah-daerah lainnya. 

Peserta didik Seko.ci ada yang sudah dari lahir memang tinggal di lingkungan kolong jembatan. Ada juga yang dibawa orangtuanya tinggal di kolong jembatan sejak usia dini. Ada yang tumbuh tanpa bimbingan seorang ayah karena ayahnya mendekam di penjara.

Ada pula yang tumbuh tanpa asuhan yang layak dari seorang ibu karena ibunya mengalami gangguan jiwa. Bahkan ada yang pernah mengalami sendiri penangkapan oleh Satpol PP pada saat operasi penertiban.

Pada awalnya, Ajeng dan kawan-kawan merasa cukup kesulitan untuk mengajar dan berinteraksi dengan anak-anak jalanan. Kerasnya hidup di jalanan ibu kota menempa anak-anak itu menjadi pribadi yang kasar dan sulit untuk diajak belajar, bahkan berkomunikasi. 

Sebagian dari mereka memang masih ada yang bersekolah, tetapi jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kebanyakan putus sekolah karena keterbatasan ekonomi orangtuanya. Anak-anak yang putus sekolah ini kemudian lebih memilih untuk mencari uang dengan cara berjualan tisu di lampu merah, mengamen, memulung sampah, dan menjajakan jasa ojek payung ketimbang belajar membaca, menulis, dan berhitung. 

Sebagian dari anak-anak jalanan ini masih ada yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung walaupun sudah berusia 8 tahun. Meski demikian, tantangan ini menjadi penyemangat bagi Ajeng agar dapat merangkul anak-anak jalanan lebih lagi. 

Ia kemudian mengajak lebih banyak lagi relawan untuk bergabung dengan Seko.ci. Relawan yang mengajar di Seko.ci pun memiliki latar belakang profesi yang beragam seperti pegawai kantor, psikolog, bankir, kontraktor, pramugari, perancang busana, jurnalis, guru, dokter, dan dosen. Namun para relawan memiliki kepedulian yang sama, yaitu pendidikan anak jalanan.

Jumlah peserta didik dan relawan yang mengajar di Seko.ci perlahan bertambah. Kini setidaknya ada 40 orang anak jalanan, dengan rentang usia 3-15 tahun, dan 36 pengajar tetap yang tedaftar di Seko.ci.

Peserta didik di Seko.ci tidak dipungut biaya apapun, dan pengajar tetap pun membantu secara sukarela. Dengan bertambahnya jumlah peserta didik, membuat Ajeng dan para relawan semakin serius membangun Seko.ci agar dapat memberikan edukasi kepada anak jalanan.

Mengikuti metode Montessori

Awalnya, pengajar cukup kesulitan berinteraksi dengan anak-anak jalanan. Kerasnya hidup di jalanan menempa mereka menjadi pribadi yang kasar dan sulit untuk diajak belajar. Foto dari Seko.Ci

Seko.ci memiliki sebuah visi, yaitu meningkatkan kualitas pendidikan anak-anak termarjinalkan dengan cara memupuk cita-cita sejak dini untuk meningkatkan taraf hidup.

Untuk mendukung visi ini, Ajeng dan para pengajar tetap Seko.ci lebih serius untuk mempersiapkan diri dengan cara mengikuti pelatihan metode pendidikan Montessori agar mampu memberikan pendidikan yang sesuai dan terarah kepada anak-anak jalanan. Selain itu, Ajeng juga membentuk tim kepengurusan dan program kegiatan Seko.ci.

Seko.ci memiliki dua program tetap, yaitu Seko.ci Mendarat dan Seko.ci Berlayar. Mendarat (Mendongeng dan Belajar Santai) diadakan tiap Minggu sore di sekitar kolong jembatan Cikini. Dalam kegiatan ini, Seko.ci turut mengundang relawan yang kompeten di bidangnya. 

Seko.ci pernah mengundang dokter gigi dan dokter umum untuk mengecek kesahatan peserta didik ketika Seko.ci memilki tema kesehatan dan kebersihan pada Maret lalu. Seko.ci juga pernah kedatangan komunitas yang peduli dengan kasus perdagangan orang dan eskploitasi anak untuk memberikan sex education kepada peserta didiknya. 

Program kedua adalah Berlayar (Belajar dan Jalan-Jalan Yuk Bareng Seko.ci). Kegiatan jalan-jalan sambil belajar ini diadakan setiap tiga bulan sekali. Tempat-tempat yang dikunjungi adalah tempat wisata yang memiliki nilai pendidikan, seperti jalan-jalan dengan menggunakan transportasi umum, jalan-jalan ke museum dan kebun binatang.

Memang benar ada tertulis di pasal 34 ayat 1 UUD 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Namun pada kenyataannya ayat ini masih belum dirasakan oleh anak-anak jalanan di daerah Cikini ini. 

Mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Cikini saja, tetapi juga di daerah lain di Jakarta bahkan di kota-kota lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, Ajeng berharap dengan terbentuknya Seko.ci, orang lain dapat terinspirasi untuk peduli dengan pendidikan anak-anak jalanan di sekitarnya.

Selama samudera ilmu masih luas untuk diarungi, mengapa tidak membangun sekoci-sekoci lainnya? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!