Mitigasi erupsi dalam secangkir kopi Merapi

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mitigasi erupsi dalam secangkir kopi Merapi
Di setiap cangkir kopi Merapi, ada cerita tentang warga yang beradaptasi terhadap risiko bencana erupsi

KLATEN, Indonesia – Matahari tertutup mendung gelap menjelang sore hari di Deles, sebuah dusun yang hanya berjarak empat kilometer dari puncak Gunung Merapi. Sukiman bergegas mengemasi hamparan biji kopi yang dijemur di atas tikar bekas, menghindarkannya dari tetes hujan.

Musim panen kopi di lereng Merapi hanya sekali setahun, yaitu pada Juni dan Juli, ketika masuk musim kemarau. Anomali hujan di bulan Juni menjadi kendala bagi petani kopi, menunggu lebih lama biji kopinya kering sempurna.

“Paling bagus kadar airnya 11 persen. Kalau masih sering hujan begini, pengeringannya bisa berulang sampai 14 kali,” kata Sukiman sembari meraup biji kopi dan memasukkannya ke dalam karung kering.

Pengolahan biji kopi arabika Deles sejak dulu menggunakan cara manual – dari mulai pemilahan buah kopi merah (red cherry) hingga pengeringan dengan sinar matahari. Konon, justru dengan teknik manual sejak zaman Belanda ini, kopi Deles memiliki kualitas rasa yang khas.

Kombinasi aroma harum yang kuat, keasaman yang pas, dan rasa manis dari sisa kulit buah membuat kopi ini masuk dalam kualitas premium. Sukiman menjual harga biji kopi kering (green beans) Rp 100,000 per kilogram.

Mungkin nama kopi Deles tidak setenar kopi Gayo dan kopi Toraja di kalangan penikmat kopi Indonesia, karena memang kopi ini tak banyak dijual di negeri sendiri.

“Pasar utama kita Jepang, kopi ini dijual di kafe-kafe di sana. Sekarang ada permintaan kopi dengan fermentasi rasa sake dari Osaka, jumlahnya tak terbatas, berapa pun diterima,” kata Sukiman.

Selain itu, kopi Deles juga memasok sebuah industri pembuatan kopi luwak. Menurut cerita Nowo, pencari kopi untuk pabrik kopi luwak di Yogyakarta tempat ia bekerja, kopi Deles memiliki kualitas unggul sebagai pakan luwak untuk menghasilkan biji kopi yang berkualitas premium.

“Luwak tahu mana kopi yang paling bagus. Kalau buah kopi yang benar-benar merah ditelan, tetapi yang ada kuning atau campur hijau dimuntahkan lagi,” kata Nowo yang sore itu mengangkut dua karung buah kopi merah dari Deles.

Sejak zaman Belanda

Penggilingan buah kopi untuk memisahkan kulit dan biji setelah proses fermentasi. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Masyarakat petani di Deles mengenal kopi sejak tanaman itu dibawa Belanda ke lereng Merapi. Sejak zaman itu pula, mereka belajar mengolah buah kopi menjadi minuman yang paling populer di dunia.

Tanah di ketinggian lebih dari 1.200 mdpl yang sering tersiram abu vulkanik dari siklus erupsi Merapi menjadikan Deles subur bagi tanaman kopi. Hampir setiap warga memiliki pohon kopi, bahkan ada yang sudah hidup sejak zaman kolonial. Sampai kini, masih ada tempat di dusun itu yang dinamai Kopen (Jawa: tempat kopi), yang dulu merupakan kebon kopi milik Belanda.

Cerita kopi Merapi juga bisa dilacak di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, di ketinggian 1.600 mdpl, yang terletak di celah antara dua gunung, Merapi dan Merbabu. Tetapi berbeda dengan Deles, petani sayuran di wilayah Selo saat ini baru belajar kembali soal tanaman kopi. Bahkan banyak yang belum paham cara memanen buah yang benar, yaitu dengan cara memilih dan memetik yang merah, bukan memotong atau mengurut tangkai buah.

Menurut cerita Suwondo, kopi Lencoh memang dulu pernah naik daun pada masa kolonial, kemudian kebun kopi ditinggalkan masyarakat sejak Belanda angkat kaki dari Indonesia. Pohon kopi yang peninggalan Belanda yang tersebar di sekeliling jalur pendakian New Selo itu sebagian besar sudah ditebang, hanya tersisa beberapa batang saja. Sedangkan kopi Lencoh yang diproduksi saat ini berasal dari jenis arabika yang ditanam sejak 2002, bantuan dari pemerintah.

Pohon-pohon kopi itu dibiarkan tanpa diurus dan hanya dijadikan pembatas ladang tanaman sayuran. Tetapi sejak 2013, kopi Lencoh mulai menjadi komoditas yang berharga di tangan Suwondo, seorang petani dan pemandu pendakian di Merapi.

Suwondo berusaha mengumpulkan kopi dari semua warga desa yang memiliki pohon kopi, kemudian mengolahnya untuk diperdagangkan. Dari harga buah panen yang melonjak dari Rp 1.000 menjadi Rp 6.000 per kilogram, kopi liar Arabika Lencoh mulai naik kelas.

Meskipun harga green beans masih berkisar Rp 70.000 – di bawah arabika Deles – kopi Lencoh sudah masuk di sejumlah kafe lokal, di antaranya adalah Ngopi Serius di Solo dan Klinik Kopi di Yogyakarta. Suwondo enggan menjual kopinya ke pabrik, karena selain soal ketidakcocokan harga, ia ingin menaikkan pamor kopi di desanya.

Kopi Lencoh juga dibeli oleh pendaki atau wisatawan asing yang berkunjung ke Merapi. Awalnya mencoba meminumnya, kemudian membawa pulang 1 atau 2 kilogram, dan akhirnya mereka meminta dikirim lagi.

“Yang sudah pesan lagi dari Singapura dan Perancis,” kata Suwondo yang memiliki 100 pohon kopi di dekat rumahnya di Dusun Plalangan, Lencoh.

Sayangnya, berapapun produksi kopi, termasuk yang dikumpulkan dari petani, Suwondo mengaku tetap belum bisa memenuhi semua permintaan pasar. Tahun lalu, dari 1,5 ton buah panen menghasilkan 250 kilogram green beans yang berkualitas, yang hanya bisa untuk memasok permintaan lokal.

Kopi dan mitigasi

Buku tabungan bencana. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

Di Deles, produksi kopi yang melimpah – ada petani yang memanen 5 kuintal per hari – membuat kopi menjadi salah satu ikon ekonomi rakyat. Sukiman mengumpulkan kopi dari kebun sendiri dan dari para petani di dusunnya.

Ia mencarikan pasar kopi premium dengan segmen utama para penikmat kopi. Selain tak perlu merisaukan ke mana menjual buah kopi, para petani juga memperoleh harga yang bagus setiap kali panen, Rp 8.500 per kilogram untuk buah kopi merah pilihan atau yang sudah diseleksi kematangannya. Setiap menghasilkan satu kilogram green beans, dibutuhkan enam kilogram buah kopi petik merah.

“Sebenarnya permintaan ekspor sangat besar, tetapi kami tak mau ambil dari pasar kopi lokal untuk memenuhinya. Karena, tujuan utama kami adalah pemberdayaan masyarakat petani di Deles,” kata Sukiman yang juga mendirikan radio komunitas mitigasi bencana erupsi Lintas Merapi FM.

Apa yang dilakukan Sukiman bukan tanpa alasan mengingat Deles adalah kawasan rawan bencana (KRB) erupsi Merapi, salah satu gunung paling aktif berpenduduk terpadat di dunia. Relokasi bukan solusi, karena masyarakat mengalami kesulitan berpindah dari kehidupan agraris di lereng gunung sejak nenek moyang mereka ke kehidupan sub-urban.

Hidup di wilayah risiko tinggi mengharuskan masyarakat memiliki resiliensi tinggi terhadap ancaman siklus erupsi Merapi. Bagi Sukiman dan masyarakat Deles, mitigasi bukan sekadar pengurangan risiko bencana dengan peningkatan kesadaran dan respon darurat bencana, tetapi yang tak kalah penting adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai modal membangun masyarakat tangguh bencana.

“Jika kami semakin berdaya secara ekonomi, kami juga akan semakin tangguh, bisa menyelamatkan diri sendiri dalam keadaan darurat,” kata Sukiman.

Ia mencontohkan warga desa diwajibkan memiliki kendaraan pribadi, minimal sepeda motor yang jumlahnya cukup untuk mengungsikan seluruh anggota keluarga. Kendaraan ini dibutuhkan jika keluar peringatan evakuasi, sehingga mereka bisa segera menyelamatkan diri dan keluarga secara mandiri tanpa harus menunggu bantuan dari luar – BPBD, TNI, dan polisi.

Lebih dari itu, dalam hal kesiap-siagaan bencana, Deles punya cara unik, yaitu mempersiapkan dana darurat berupa tabungan bencana. Dari hasil penjualan kopi, mereka menyisihkan uangnya setiap hari untuk tabungan bencana. Besarannya bebas mulai dari Rp 1.000, Rp 5.000, atau Rp 10.000 yang dikelola secara kolektif dan disimpan dalam sebuah rekening di bank.

Setiap orang memegang buku tabungan – tanpa kartu ATM – sebagai bukti catatan saldo. Ketika bencana terjadi, masyarakat akan tinggal dalam barak-barak pengungsian di Klaten. Lamanya tak tentu, tergantung lama erupsi gumpalan awan panas (piroklastik).

“Untuk memenuhi kebutuhan selama pengungsian, kami tak perlu menengadahkan tangan dan meminta-minta bantuan. Cukup mencairkan uang tabungan,” kata Sukiman yang juga salah satu pendiri Pasag Merapi, jaringan relawan mitigasi bencana empat kabupaten di lereng Merapi.

Terkadang, kebutuhan di pengungsian bisa lebih besar dari biasanya. Karena, mereka bukan sekadar untuk hidup keluarga, tetapi juga harus menghidupi binatang ternak yang juga ikut dievakuasi. Karena tak bisa merumput di lereng Merapi, mereka harus membeli pakan sapi, memastikan manusia dan ternaknya sama-sama bertahan hidup.

Kemandirian mereka menghadapi bencana tak lepas dari faktor ekonomi. Sampai sekarang, kopi berkonstribusi besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Bagi mereka, kopi bukan sekadar biji yang enak diseduh sebagai minuman, tetapi juga menjadi bagian dari cara dan upaya penduduk untuk hidup nyaman di tengah ancaman.  

Dan, di setiap cangkir kopi Merapi yang hangat dan nikmat, akan selalu ada cerita tentang mereka yang beradaptasi terhadap risiko bencana erupsi. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!