Lukisan pilu anak-anak pencari suaka

Febriana Firdaus

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kegelisahan anak-anak pengungsi ditumpahkan dalam lukisan-lukisan dengan gambar yang menyayat hati

PELUKIS DAN FEMINIS. Sadaf Mudaber, 18 tahun, pencari suaka asal Afghanistan bersama lukisannya yang mengangkat isu kekerasan terhadap perempuan (gambar perempuan berkerudung merah). Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

JAKARTA, Indonesia — Tiga pasang tangan tampak menggenggam kawat berduri. Tangan-tangan itu seakan ingin tetap bertahan meski duri-duri menusuk dan menyela di antara jari jemari.

Dengan latar belakang, hitam abu-abu merah muda, lukisan itu menunjukkan betapa suramnya sang pelukis menggambarkan sebuah penderitaan sang pemilik tangan.  

Apa makna di balik genggaman tangan tersebut? Parisa Naemi (17 tahun), sang pelukis, menjelaskannya pada Rappler di acara Hari Pengungsi Sedunia yang digelar di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, pada Senin, 20 Juni.

Gadis pencari suaka asal Afghanistan ini mengatakan, itu adalah tangan-tangan pengungsi yang sedang mengalami dilema.

“Jika mereka tinggal di negaranya akan lebih berisiko. Tapi kalau dia pergi ke negara lain, itu juga menyakitkan. Tapi sakitnya tidak sesakit jika tinggal di negaranya,” kata Naemi. 

Lukisan itu juga merupakan cermin dari apa yang ia rekan-rekannya sesama pengungsi alami.

Naemi mengatakan ia berasal dari Afghanistan dan ikut orangtuanya pindah ke Iran akibat perang saudara di negeri asalnya. Seperti pengungsi lainnya, di Iran, ia tak serta-merta mendapat kebebasan dan ketenangan hidup. Ia mengaku tak bisa mendapat hak-haknya seperti penduduk asli Iran. 

Misal, hak untuk pendidikan. “Karena kami Afghan yang tinggal di Iran, maka kami tidak bisa pergi ke universitas. Kami tidak bisa sekolah tinggi. Mungkin bisa, tapi sampai SMA,” akunya. 

Mengapa? “Karena kami pengungsi,” kata Naemi. 

DILEMA PENGUNGSI. Lukisan Parisa Naemi, 17 tahun, pencari suaka asal Afghanistan yang menceritakan dilema pengungsi. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Karena itulah, enam bulan yang lalu, ia dan keluarganya memutuskan untuk menumpang kapal untuk menyeberang ke Indonesia lewat Malaysia dengan harapan mendapat suaka di negeri yang lebih ramah dan memberikan kesempatan belajar padanya. 

Lukisan lainnya tak kalah mengejutkan, seperti lukisan seorang perempuan berkerudung merah dengan muka berdarah dan sebuah tangan seorang laki-laki yang menyelipkan jari di depan mulutnya. 

Menurut sang pelukis, Sadaf Mudaber (18 tahun), itu adalah lukisan kegeramannya pada budaya di negaranya, Afghanistan. “Ini adalah tangan laki-laki yang mau bilang stop. Laki-laki ini ingin si perempuan untuk diam dan bungkam,” kata Mudaber 

Ia sengaja mengambil tema kekerasan terhadap perempuan adalam lukisannya. Meski ia masih tergolong anak-anak, tapi pandangannya tentang hak-hak anak perempuan di negara asalnya cukup tajam. 

“Semua kekuasaan berada di tangan laki-laki. Perempuan tidak bisa melakukan apa-apa. Kami tidak bisa mengambil keputusan,” ujar gadis yang sebelumnya menetap di Kabul, ibu kota Afghanistan.

“Perempuan tidak bisa keluar rumah dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan, kami nyaris tidak bisa mengambil keputusan atas hidup kami sendiri. Semua diputuskan oleh ayah atau saudara laki-laki,” kata Mudaber. 

Saat Rappler mengatakan pendapatnya mirip pandangan seorang feminis atau pejuang perempuan, ia mengatakan tak tahu apa pun mengenai feminisme. Lalu bagaimana ia menyadari hak-hak perempuan di negaranya? 

“Saya tidak membaca buku feminisme atau seseorang mengajarkan pada saya, saya hanya melihat sekeliling saya. Saya merasakan itu, saya tahu, itu alami,” ujarnya. 

Ia mengaku tak tahan lagi dengan kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Afghanistan, dan betapa berkuasanya kaum laki-laki di tanah airnya itu. 

Karena itu, ia ingin “membalas dendam” atas ketidakadilan di negerinya. Suatu hari, ia ingin menjadi seorang pebisnis sukses dan menghasilkan uang sendiri. Lalu memberi pekerjaan pada perempuan-perempuan di Afghanistan. 

“Saya tidak mau menerima uang dari saudara laki-laki atau ayah saya, saya mau menghasilkan uang sendiri,” ujarnya bertekad.  

Untungnya, cita-cita Mudaber itu didukung oleh orangtuanya yang belakangan memiliki pemikiran yang terbuka. “Apalagi ini sudah 2016, harus ada keadilan antara perempuan dan laki-laki,” ujarnya. 

Kisah pilu lainnya dituturkan oleh Muhaddisa Naemi, gadis 12 tahun asal Afghanistan yang juga tengah mencari suaka. 

KEHILANGAN. Lukisan Muhaddisa Naemi, gadis 12 tahun asal Afghanistan yang juga sedang mencari suaka. Lukisan ini menggambarkan seorang keluarga pengungsi yang berjuang untuk menuju negara yang lebih baik. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Di dalam lukisannya, ada gambar sebuah keluarga yang nyaris sempurna, setidaknya menurutnya. Seorang ayah, ibu, dan dua orang anak. Sang ibu menggendong seorang bayi dan sayang ayah membawa koper. 

Tapi koper yang dibawa sang ayah rusak, barangnya berceceran ke mana-mana. Barang itu bernama negara, pengetahuan, keluarga, rumah, dan budaya. 

Kepada Rappler, Muhaddisa menjelaskan arti barang-barang tersebut. “Karena mereka pergi ke negara lain, maka mereka harus kehilangan tanah airnya, pengetahuan (sekolah), keluarga, rumah, dan budaya,” katanya. 

Sementara itu, perjalanan mereka menuju tempat yang lebih baik tak mulus. Di lukisan itu digambarkan sebuah tembok tinggi sebagai penghalang. 

Menurutnya, tembok itu menggambarkan bahwa tidak semua negara yang dituju pengungsi mau menerima mereka. 

Muhaddisa mengaku heran mengapa ini terjadi, padahal para pengungsi sudah kehilangan segalanya dalam kehidupan mereka. Masa depan pun tak jelas. 

Ketidakjelasan ini menimpa semua pengungsi. Padahal, katanya, pengungsi hanya ingin hidup bebas dan tenang. “Mereka hanya ingin bisa belajar, punya kebebasan, dan hidup tenang,” ujarnya. 

Lukisan terakhir yang dilihat Rappler adalah milik Masooma Rafie (13 tahun), yang juga seorang pencari suaka dari Afghan. 

MENCARI KETENANGAN. Masooma Rafie, 13 tahun, pengungsi asal Afghanistan yang mengambarkan nasib pengungsi di negaranya yang sedang lari dari Taliban. Foto oleh Febriana Firdaus/Rappler

Ia menggambar sebuah keluarga yang sedang lari dari kejaran tentara Taliban yang siap membidik kepala para pelarian ini. 

Tapi ketika sedang berlari, keluarga ini terhalang, lagi-lagi, oleh sebuah tembok. “Seharusnya Taliban membiarkan mereka pergi, mereka ingin hidup dalam kedamaian,” kata Rafie

Tindakan Taliban yang memburu para pengungsi ini membuatnya sedih. “Mereka suka berperang dengan umat beragama, Muslim atau bukan,” katanya. 

Nestapa di negerinya yang disebabkan Taliban ini membuatnya sadar bahwa ia harus belajar dan menjadi orang besar kelak. Ia ingin melakukan sesuatu. “Saya ingin belajar, saya mau jadi orang besar dan mendapat pendidikan yang tinggi,” katanya bersemangat. 

Lukisan-lukisan di atas hanya empat dari puluhan yang dibuat oleh anak-anak pengungsi. Masih banyak lukisan-lukisan yang tidak biasa yang ditampilkan di Hari Pengungsi Sedunia itu.

Semua membawa pesan yang sama, mereka kecewa dengan kondisi di negaranya dan ingin hidup tenang. Lalu mereka pun mengungsi, tapi masa depan mereka masih abu-abu.

Sambil menghabiskan masa mudanya dengan melukis, pengungsi anak-anak ini menunggu negara yang mau menerima mereka. 

Permintaan mereka tak muluk, hanya satu: “Kami tidak memilih negara yang mana, kami hanya ingin hidup dalam damai. Tidak penting negara mana, asalkan kami punya masa depan bagus dan tidak hidup dalam ketakutan,” ujar Mudaber. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!