Menlu: Indonesia tidak pernah akui klaim ‘traditional fishing ground’ Tiongkok

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menlu: Indonesia tidak pernah akui klaim ‘traditional fishing ground’ Tiongkok
Dalam 6 bulan terakhir, insiden serupa sudah terjadi 3 kali. Presiden Jokowi meminta Menkopolhukam Luhut untuk merumuskan kebijakan soal Laut Tiongkok Selatan

JAKARTA, Indonesia — Pemerintah Tiongkok telah menyampaikan protes dan mengecam sikap TNI Angkatan Laut yang telah melepaskan tembakan ke beberapa kapal nelayan dari negaranya, pada Minggu, 19 Juni.

Akibat insiden itu, satu nelayan Tiongkok terluka karena terkena peluru. Ia dirawat di sebuah rumah sakit di Provinsi Hainan. Kapal nelayan yang ditembaki oleh TNI AL tersebut juga mengalami kerusakan.

Sementara itu, satu kapal nelayan lainnya, yaitu Han Tan Cou 19038, beserta tujuh awak berhasil ditangkap oleh otoritas Indonesia. Mereka ditangkap karena diduga melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan Natuna pekan lalu.

“Insiden ini terjadi di perairan yang disebut perairan tradisional nelayan Tiongkok (fishing traditional ground), di mana Tiongkok dan Indonesia memiliki klaim tumpang tindih atas hak dan kepentingan maritim,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Hua Chunying, ketika memberikan keterangan pers pada Minggu, 19 Juni.

Tiongkok juga menyebut Indonesia telah melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi PBB mengenai hukum laut (UNCLOS) dan Deklarasi Tata Kelakuan Baik di Laut China Selatan (DOC).

“Tiongkok memprotes keras dan mengecam tindak penggunaan kekerasan. Kami mengimbau kepada pemerintah Indonesia untuk berhenti mengambil sikap yang membuat situasi lebih rumit, melebih-lebihkan konflik dan menghadapi isu perikanan di laut dengan cara yang lebih baik,” kata Hua.

Ia menjelaskan protes telah disampaikan melalui jalur diplomatik resmi.

Lalu, apa respons pemerintah Indonesia atas protes Tiongkok? Juru bicara Kementerian Luar Negeri RI, Arrmanatha Nasir, justru mengatakan hingga saat ini belum menerima surat protes tersebut.

“Belum ada nota protes apa pun yang kami terima,” kata Arrmanatha yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Senin malam, 20 Juni.

Terkait dengan klaim adanya zona tradisional pemancingan versi Tiongkok, pria yang akrab disapa Tata itu mengatakan Indonesia sudah meminta klarifikasi kepada Negeri Tirai Bambu.

“Dalam insiden penangkapan kapal kali pertama, Bu Menlu (Retno Marsudi) kan sudah memanggil perwakilan pemerintah Tiongkok untuk meminta adanya klarifikasi tertulis. Tetapi, hingga saat ini belum dijawab,” kata Arrmanatha.

Tidak ada tumpang tindih

Isu ini akhirnya turut dibahas dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Senin kemarin di gedung DPR RI.

Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menyebut Indonesia tidak pernah mengakui klaim “traditional fishing ground” versi Tiongkok. Oleh sebab itu, menurut Retno, tidak pernah ada klaim tumpang tindih dengan Tiongkok di wilayah Natuna.

“Tumpang tindih batas maritim hanya bisa lahir jika basis yang digunakan sesuai dengan UNCLOS dan ditarik dari titik dasar. Sementara, berdasarkan aturan UNCLOS, Indonesia hanya memiliki batas tumpang tindih Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Vietnam dan Malaysia,” kata Retno.

Ia menegaskan jika dasar yang digunakan oleh Tiongkok adalah fakta historis dalam membuat satu klaim di teritori laut, hal itu tidak bisa menganulir UNCLOS.

“Justru sebaliknya, UNCLOS lah yang bisa menganulir fakta sejarah (yang diklaim Tiongkok),” ujar Retno.

Sementara, walaupun insiden semacam ini sudah tiga kali terjadi, Menteri Koordinator Hukum, Politik, dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Panjaitan, justru mengharapkan hubungan Indonesia dengan Tiongkok tidak memburuk karena isu ini.

“Kedaulatan itu tetap nomor satu, harga mati dan harus dipertahankan. Tetapi, kita juga perlu mempertahankan hubungan baik dengan negara lain, termasuk Tiongkok,” ujar juru bicara Presiden, Johan Budi menirukan kalimat Luhut saat bertemu Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara, Senin.

Presiden Jokowi sengaja memanggil Luhut untuk membuat satu kebijakan terkait Laut Tiongkok Selatan (LTS).

Sengaja menghindar

Menurut pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, Indonesia dan Tiongkok memang sengaja menghindar untuk secara terbuka mengakui adanya sengketa zona maritim di antara mereka. Padahal, klaim tumpang tindih jelas terjadi.

Sebagai contoh, kata Hikmahanto, nelayan Tiongkok yang ditangkap oleh TNI AL kali pertama pada Mei lalu membawa sebuah peta ketika tengah menangkap ikan di wilayah Natuna. Di dalam peta itu terdapat sebagian wilayah ZEE Indonesia yang masuk wilayah penangkapan ikan.

“Pemerintah Tiongkok mendukung peta dari para nelayannya dengan memberikan istilah sebagai ‘traditional fishing ground‘. Istilah itu yang kemudian menjadi dasar bagi Tiongkok melakukan klaim atas sembilan garis putus atau Nine Dash Lines,” ujar Hikmahanto melalui telepon pada Senin malam.

Belum lagi, dalam setiap insiden penangkapan kapal nelayannya, kapal penjaga pantai Tiongkok selalu memantau. Walaupun, mereka tidak secara frontal berhadapan dengan kapal Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan TNI AL.

Bagi Tiongkok, justru akan merugikan mereka jika menyatakan secara terbuka adanya batas sengketa batas maritim dengan Indonesia.

“Apalagi saat ini, hampir semua negara di kawasan tengah memusuhi Tiongkok karena isu sengketa di LTS. Oleh sebab itu, Tiongkok membutuhkan sekutu atau negara yang dianggap netral di kawasan. Di sinilah peran Indonesia dianggap pas,” kata Guru Besar Hukum Internasional UI itu.

Sementara, bagi Indonesia, ujar Hikmahanto, ada dua alasan yang menyebabkan tak ada pernyataan tumpang tindih di area Natuna.

Pertama, karena Indonesia tidak mengakui sembilan garis putus-putus yang diklaim Tiongkok. Kedua, Indonesia ingin mempertahankan posisi sebagai penengah yang jujur selama konflik LTS berlangsung.

Oleh sebab itu, Hikmahanto menyarankan agar dalam kebijakan yang tengah digodok oleh Luhut mengenai isu LTS harus mencerminkan 3 hal:

a. Mengedepankan perdamaian dan ketertiban dunia dalam konflik LTS. Indonesia akan berperan aktif dalam menginisiasi dialog bagi negara yang tengah berkonflik.

b. Pernyataan tegas bahwa Indonesia tidak mengakui klaim Tiongkok mengenai 9 garis putus-putus. Bahkan, Indonesia berharap dalam putusan arbitrase Filipina melawan Tiongkok, 9 garis putus itu dinyatakan tidak sah.

c. Imbauan kepada semua negara yang memiliki kepentingan di LTS untuk menahan diri terutama jelang putusan arbitrase yang akan keluar segera.

Kronologi kejadian

Kejadian penangkapan kapal pada Jumat pekan lalu bermula ketika Komando Armada kawasan Barat (Koarmabar) menerima laporan intai udara adanya 12 kapal ikan asing yang melakukan aksi penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Natuna pada Jumat, 17 Juni.

Wilayah itu sesuai aturan masuk yurisdiksi nasional.

Akhirnya temuan itu ditindak lanjuti oleh KRI Imam Bonjol-383.

“Saat akan didekati oleh KRI, kapal ikan asing berbendera Tiongkok ini kemudian melakukan manuver dan melarikan diri. Akhirnya dikejar dan diberikan tembakan peringatan. Tetapi, itu juga tetap diabaikan,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AL, Edi Sucipto, melalui pesan pendek kepada Rappler pada Senin, 20 Juni.

Edi menjelaskan, setelah petugas TNI AL beberapa kali melepaskan tembakan dan mengarah ke haluan kapal, satu kapal Tiongkok dapat dihentikan. Setelah diperiksa, kapal dengan nomor lambung 19038 itu diawaki 6 pria dan seorang perempuan yang diduga berkewarganegaraan Tiongkok. Saat ini, mereka ditahan di pangkalan Angkatan Laut di Ranai.

“Apapun benderanya, saat mereka melakukan pelanggaran di wilayah yurisdiksi Indonesia, maka TNI AL tidak akan segan untuk bertindak tegas,” ujar Edi. 

Sebelumnya, KRI Oswald Siahaan-354 pada 27 Mei juga menangkap kapal Tiongkok Gui Bei Yu 2708 yang tengah mencuri ikan di perairan Natuna. Kapal milik Kementerian Kelautan dan Perikanan juga pernah menangkap awak kapal Tiongkok Kway Fey pada Maret lalu.

Tetapi, insiden penangkapan sempat berlangsung tragis, karena kapal penjaga perbatasan pantai Tiongkok tiba-tiba menabrak ke kapal Kway Fey. Diduga, itu merupakan cara agar kapal KKP tidak berhasil membawa masuk kapal Kway Fey ke perairan Indonesia.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!