Benarkah Islam mengajarkan penolakan pada LGBTQ?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Benarkah Islam mengajarkan penolakan pada LGBTQ?
Mun'im Sirry merombak pandangan kaum Islam konservatif tentang kaum homoseksual. Benarkah ada ayat yang melarangnya?

JAKARTA, Indonesia – Kaum lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) masih terus mengalami penolakan di seluruh dunia. Terutama, dari kaum beragama konservatif.

Mereka yang begitu membenci kaum pecinta sesama jenis ini berdalih kalau kitab suci memerintahkan hal tersebut. Namun, benarkah demikian?

“Keberadaan kelompok LGBT merupakan fakta sosial yang menuntut perbincangan serius dengan etika dan paradigma baru,” kata Peneliti Studi Islam Universitas Notre Dame, Indiana, Mun’im Sirry dalam diskusi di Komnas Perempuan pada Senin, 20 Juni lalu.

Larangan hitam putih

ISLAM DAN LGBTQ. Diskusi Pandangan Islam tentang Keberagaman Seksualitas & Identitas Gender bersama pengamat Islam Mun'im Sirry. Foto: Jurnal Perempuan

Mun’im mempertanyakan apakah larangan seksualitas seks sejenis memang begitu hitam putih dalam narasi keagamaan. Dengan pandangan tersebut, menurut dia, kaum LGBT menerima siksaan fisik dan psikologis dari masyarakat. Bahkan, saat mereka mengaku sebagai pemeluk agama pun langsung ditolak dan dibuat seakan agama mereka tak berlaku.

“Padahal, posisi Islam tidak membenarkan kebencian dan diskriminasi terhadap kalangan LGBT,” kata dia. Untuk itu, Mun’im pun memaparkan perspektif lain dari salah satu kisah yang sering menjadi rujukan kebencian kaum homoseksual: kisah kaum Lut.

Kisah kaum Lut, atau Lot, disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an, yakni: Qs. 7:78-82; Qs. 27:55-59; Qs. 26:160-176; Qs. 29:27-34; Qs. 11:79-84; Qs. 54:33-40; Qs. dan 15:58-77. Sementara dalam Alkitab, ada di Kitab Kejadian Bab 19. “Kisah ini merupakan tipikal narasi hukuman,” kata Mun’im.

Disebutkan kalau Tuhan atau Allah menjatuhkan hukuman ke Kota Sodom dan Gomora lantaran penduduknya berlaku amoral dan tak mau bertobat. Beberapa istilah yang diasosiasikan dengan hubungan seks sejenis adalah fahisyah (tak bermoral), syahwah (nafsu keinginan), musrifun (berlebih-lebihan), dan mujrimun (pendosa).

Salah satu ayat juga menyebutkan, “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” QS. 7:81.

Mengutip Ibnu Hazm, Mun’im mengatakan kalau kaum Lot dibinasakan bukan karena mereka penyuka sesama jenis. “Di sini, para pelaku sudah punya istri, dan mereka hendak melakukan kekerasan kepada tamu (malaikat) dengan pemerkosaan,” kata dia.

Singkatnya, ayat-ayat al-Qur’an terkait kisah Nabi Lut dan kaumnya tidak dapat dijadikan landasan normatif untuk mendiskriminasi kaum LGBT, termasuk melarang mereka melakukan pernikahan sejenis. Ibnu Hazm, dalam Kitab al-Muhalla menyebutkan kalau azab kaum Lot diterima bukan karena perbuatan seks sejenis; melainkan karena penolakan terhadap ajakan Nabi Lut untuk bertobat.

Dalil perkawinan sejenis

Salah satu hal lain adalah perkawinan sesama jenis. Kaum konservatif, menurut Mun’im, kerap mendasarkan pada hadis Nabi yang memerintahkan bunuh bagi pelaku sodomi. “Tapi banyak yang mempersoalkan keotentikan hadis ini,” kata Mun’im.

Para kaum konservatif ini, menurut dia, sebenarnya salah memahami dasar pelanggaran sodomi. Tiga madzhab, yakni Maliki, Syafi’i dan Hanbali, menyamakan sodomi dengan zina. “Asumsi dasarnya, sodomi yang dihukum adalah yang dilakukan di luar jalinan pernikahan,” kata dia.

Perlu segera disebut dahulu, al-Qur’an jelas tidak menetapkan suatu hukuman tertentu bagi pelaku sodomi. Bentuk hukuman dianalogikan dengan zina yang bentuk hukumannya dijelaskan dalam al-Qur’an. Inilah yang menjadi dasar pemikiran Mun’im.

Tidak ada dalil eksplisit

NEGARA TOLERAN. Sebagian besar negara dengan masyarakat mayoritas muslim cenderung tidak bisa menerima LGBTQ. Mereka beralasan, hal tersebut dilarang dalam al-Qur'an.

Mun’im menutup paparannya dengan mengatakan kalau tak ada dalil yang secara eksplisit melarang pernikahan sejenis; demikian juga yang membolehkan. Selama ini, larangan didasarkan pada ‘tidak ada kemaslahatan manakala (tindakan) bertentangan dengan nash al-Qur’an dan hadis.’

“Maka saya memulai diskusi dengan mematahkan argumen tekstual Qur’an dan hadis, supaya dalil ini tak lagi dimunculkan,” kata dia.

Menurut dia, perkawinan sejenis dapat dibenarkan dengan konsep kemaslahatan yang bermuara pada kesetaraan, keadilan, dan kehormatan manusia. Pasangan sesama jenis, juga dapat menikmati keistimewaan yang dinikmati suami-istri lainnya.

“Konsep ini merepresentasikan spirit agama yang mampu menyerap perkembangan zaman,” kata Mun’im.-Rappler.com

BACA JUGA: 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!