Komunitas Buddha Malang sediakan menu buka gratis

Dyah Ayu Pitaloka

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas Buddha Malang sediakan menu buka gratis
Buka disiapkan oleh sebagian besar umat Budha anggota Paguyuban Metta

MALANG, Indonesia – Indrawati dan sepuluh wanita paruh baya mulai mengisi nasi dan lauk di atas piring yang tertata rapi di atas meja. Kali ini menunya adalah sambal goreng kentang dan ayam kecap. Seperti sehari sebelumnya, sekitar 300 piring disiapkan ibu-ibu anggota Paguyuban Metta dari Vihara Sanggar Suci di Lawang, untuk buka puasa pada Rabu, 22 Juni. 

“Kami masak sendiri, menunya sudah diatur selama sebulan. Ini untuk saudara kami yang sedang menjalankan puasa,” kata Indrawati kepada Rappler.

Paguyuban Metta menyiapkan makanan buka puasa gratis di sebuah ruangan bekas garasi di tepi Jalan Wahidin, Kelurahan Kalirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Sekitar pukul 16:30 WIB, penduduk setempat mulai mendatangi tempat tersebut. Sejumlah pengguna jalan yang sedang lewat juga terlihat menepi dan mengantri untuk membatalkan puasa dengan makanan yang disediakan gratis tersebut.

“Kemarin lauknya telor, besok kari ayam. Semua kami masak dengan halal karena ini untuk buka puasa umat Islam. Rencananya buka puasa ini sampai malam terakhir puasa,” katanya.

Sore 22 Juni, jalan raya sangat ramai. Suara adzan dari masjid terdekat tenggelam dalam keriuhan deru kendaraan. Seorang anggota paguyuban pun mengingatkan panitia jika waktu berbuka telah tiba. Mendengar aba-aba dari panitia, ratusan pengantri segera membentuk barisan dengan tertib dan menunggu piring berisi lauk dibagikan dengan bergantian.

“Ini bukan hanya umat Budha saja, saya Katolik juga ikut bantu di sini,” kata Untari, wanita berusia 67 tahun. Sudah empat Ramadan terakhir Untari ikut membantu rekannya di Paguyuban Metta menyiapkan buka.  

“Kegiatan ini bagus untuk kerukunan antar umat beragama. Tidak peduli yang datang kaya atau miskin, puasa atau tidak, agamanya muslim atau bukan, yang penting kami ikhlas memberi makan saat Ramadan,” tuturnya.

Buka gratis ditunggu setiap tahun

Ibu-ibu Paguyuban Metta menata nasi dan pengunjung yang menunggu waktu buka. Foto oleh Dyah Ayu Pitaloka

Petang itu Rani, ibu rumah tangga dari Kota Malang, ikut mengantri dalam barisan. Setelah mendapatkan piring berisi nasi dan lauk, Rani pun makan bersama suami dan anaknya yang berusia balita.

“Saya sedang dalam perjalanan menuju Lawang dari Malang, mampir ke sini karena sudah hampir Maghrib. Di sini memang selalu ada buka gratis,” kata Rani.

Seperti yang lain, mereka makan dengan lesehan. Hanya beberapa yang makan dengan duduk menggunakan kursi yang disediakan panitia. Di sudut ruangan terdapat teh hangat untuk melepas dahaga juga disediakan gratis.

“Saya selalu kemari setiap Ramadan, makanananya enak, tak masalah bagi saya duduk lesehan,” kata Helix, pria yang tinggal tak jauh dari Vihara tersebut. Sepotong paha ayam kecap berukuran sedang memenuhi piring nasinya.

Menyediakan menu daging meskipun vegetarian

Sejak 18 tahun lalu, tepatnya ahun 1998, Winantea Listiahadi, rohaniwan di Vihara Sanggar Suci, memulai tradisi buka gratis itu. Saat itu sedang krisis moneter, menu daging dan buah banyak tak terbeli.

“Waktu itu krisis moneter dan harga melambung, saat itu buka gratis ini dimulai lewat paguyuban Metta,” kata Winantea.

Awalnya, buka puasa berada di halaman Vihara Sanggar Suci dan diikuti sedikit orang. Saat itu panitia menyediakan menu nasi bungkus untuk berbuka. Tetapi semakin tahun pesertanya semakin banyak, sehingga membutuhkan tempat yang lebih luas. Nasi bungkus pun diganti dengan piring karena pertimbangan efisiensi.

Pengunjung juga bisa menambah menggunakan piring mereka selama nasi dan lauk masih tersedia. Lima tahun berikutnya buka puasa bergeser sekitar lima meter dari Vihara, dan bertahan hingga saat ini.

Rohaniwan Winantea tak mempermasalahkan menu buka yang menggunakan daging. Meskipun dirinya dan sebagian besar umat Buddha tak makan daging namun untuk umat muslim menu buka disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Menu seperti ayam kecap, rawon, soto ayam, satai, gule umum mengisi piring peserta buka di kegiatan tersebut. Paguyuban memilih mengalah dengan selera peserta buka bersama. Menurutnya toleransi memang membutuhkan pengorbanan.

“Ini agar kerukunan lebih terjalin,” katanya.

Metta sendiri berarti cinta kasih. Paguyuban Metta sebagian besar berisi umat Buddha namun juga terdapat umat Nasrani dan juga Islam. “Awalnya arisan tapi kemudian menjadi sosial, tak ada anggaran khusus karena diserahkan pada anggota,” katanya.

Petang itu, usai sajian nasi dibagikan, peserta buka kemudian mengantri kembali. Kali ini ada sejumlah makanan kecil seperti biskuit dan kue keranjang buatan ibu-ibu paguyuban yang akan dibagikan sebagai makanan penutup.

“Jangan kawatir ini kue keranjangnya empuk, tidak alot,” kata Linawati kepada seorang pengunjung. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!