Habis pembangunan terbit kehancuran

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Habis pembangunan terbit kehancuran

ANTARA FOTO

Peraturan daerah mengizinkan alam di Pulau Jawa dieksploitasi besar-besaran. Dampaknya bukan hanya terhadap lingkungan, tapi juga sumber daya manusia

JAKARTA, Indonesia — Anomali cuaca yang mengakibatkan tingginya intensitas hujan di berbagai daerah memang menimbulkan bencana di Indonesia.

Sebut saja longsor di Jawa Tengah yang menewaskan puluhan orang dan ratusan lain terpaksa mengungsi. Juga puluhan rumah di Sangihe, Sulawesi Utara, yang terendam banjir.

Tapi, benarkah semua kerusakan ini disebabkan oleh alam semata?

Perda ekspoitatif

Pakar Lingkungan dan Sosiologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Suryo Adiwibowo, memiliki pandangan lain.

“Eksploitasi alam besar-besaran yang juga difasilitasi pemerintah turut berkontribusi,” kata Suryo di Jakarta pada Rabu, 22 Juni.

Ia memaparkan hasil studinya tentang peraturan pemerintah daerah di pulau Jawa, yang ternyata cenderung destruktif pada lingkungan.

Seperti diketahui, luas hutan alam dan pertanian Jawa sangat menurun. Pada 1800, terdapat 10 juta hektar lahan hutan. Namun pada 2005, yang tersisa hanya 0,4 juta hektar.

“Pada 2015 jangan ditanya, tentu sudah semakin sedikit karena tergerus perumahan dan industri,” kata Suryo.

Kerusakan hutan di Jawa, menurutnya, rata-rata terjadi lantaran konversi lahan untuk perkebunan dan pertambangan, termasuk yang berada di kawasan konservasi. Meski sudah ada aturan yang melindungi, ternyata peraturan daerah (Perda) justru malah mengangkangi perlindungan alam itu.

Kajian Suryo mengungkapkan, dari 278 Perda yang ada, sebanyak 176 (atau 63 persen) tidak mempertimbangkan dan memiliki muatan daya dukung lingkungan.

“Semuanya murni kepentingan ekonomi semata,” katanya.

Stigma elit Jawa

Mengubah lahan menjadi sumber daya ekonomi, ujar Suryo, sudah menjadi ciri khas elit politik di Jawa.

“Ini pengamatan subyektif saya, ya. Justru elit yang titik beratnya lebih pada ekonomi, yang menyebabkan banyaknya perubahan lingkungan di Jawa,” katanya.

Tak terbatas pada presiden semata, melainkan juga gubernur dan bupati. Karena sudah terpatri pada masalah keuangan saja, maka para pemimpin ini jarang yang mau membaca data dan kajian lingkungan. Bahkan, tak jarang saat membuat kebijakan pun hanya asal comot tanpa dukungan alasan yang kompeten.

Selain itu, banyak yang berpikiran kalau masalah konservasi dan pembangunan ekonomi itu berbenturan. “Misalkan, untuk pertumbuhan ekonomi, lingkungan harus dihilangkan dulu,” katanya.

Padahal bila menilik dari negara-negara lain, seperti di Eropa, keduanya bisa berjalan beriringan. Suryo mengatakan, saat pertumbuhan ekonomi global tengah melambat seperti ini, negara-negara di sana tidak lantas mengeksploitasi alam untuk menggenjot pendapatan.

“Ada pembangunan berbasis lingkungan, mereka (Eropa) tetap jalan dan lingkungannya baik. Ada banyak peluang yang bisa diambil,” katanya.

Perketat industri negatif

Suryo juga menyayangkan pemerintah yang masih enggan membuat daftar industri ekstraktif negatif. Beberapa pabrik, seperti semen, menurut dia tak boleh lagi berada di Jawa.

“Bukan tak boleh sama sekali, tapi seharusnya bukan di Jawa,” kata Suryo.

Semen membutuhkan bahan baku kapur, yang banyak berada di pegunungan karst. Bila terus menerus ditambang, maka kandungan air di pegunungan itu akan terpengaruh dan akan kandas.

Akibatnya, lahan pertanian di sekitar pegunungan tak lagi bisa berjalan lantaran kering. Contoh nyatanya sudah terjadi di Pegunungan Kendeng, Jawa Tengah.

“Yang tadinya bisa setahun dua-tiga kali panen untuk palawija, tak bisa lagi. Lantas gantinya apa? Ya, mereka keluar dari sektor pertanian,” kata dia.

Para petani yang terusir ini lantas mencari pekerjaan baru, yang justru banyak di luar kota asal mereka. Akhirnya, peristiwa ini mendorong urbanisasi besar-besaran ke kota, yang juga membuat orang-orang ini bekerja di sektor non-formal seperti buruh serabutan.

Industri yang banyak menyerap air, kata Suryo, sudah waktunya dihentikan berdiri di Jawa. “Seperti tekstil, juga yang berdiri di hulu sungai itu. Sudah ada larangannya, kok ya, masih saja ada,” kata dia.

Langkah konkrit

Suryo menilai perlu ada langkah serius dari pemerintah untuk menghentikan penghancuran alam. Bila tidak, dampak bencana akan semakin parah dari tahun ke tahun.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Nur Masripatin, pun mengakui kalau hilangnya hutan akibat eksploitasi berkontribusi pada peningkatan dampak bencana. Tentu selain perubahan iklim.

“Karena itu kami melakukan kegiatan penanaman pohon dan civil engineering pada daerah sumber utama potensi bencana, “ kata Nur.

Namun, tak cukup bila kesadaran hanya muncul di tingkat pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah juga harus bisa bekerjasama, dan berhenti membuat peraturan daerah yang justru semakin menggerus sumber daya alamnya sendiri. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!