Komunitas LGBT kecam sikap Pemerintah Indonesia di sidang PBB

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Komunitas LGBT kecam sikap Pemerintah Indonesia di sidang PBB
Komunitas Arus Pelangi mengecam sikap pemerintah yang menolak pakar independen untuk mengatasi kekerasan dan diskriminasi berbasis seksualitas. Penolakan didasarkan pada 'moralitas' dan 'nilai sosial budaya.'

JAKARTA, Indonesia – Komunitas Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) Arus Pelangi mengecam sikap pemerintah Indonesia pada sidang dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) di Jenewa pada 30 Juni lalu.

Saat itu, dewan tengah membahas tentang pengadopsian Pakar Orientasi Seksual dan Identitas Gender (SOGI) Independen. Mereka akan bergerak untuk perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi berbasis seksualitas.

Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Direktur HAM Kementrian Luar Negeri, Dicky Komar, menolak resolusi tersebut. “Pembahasan dan resolusi terkait kekerasan dan diskriminasi berbasis SOGI tersebut tidak menghormati nilai-nilai sosial, budaya, agama dan moralitas,” kata dia dalam pernyataan sikap yang dibacakan di hadapan 47 perwakilan lainnya.

Pemerintah Indonesia juga secara gamblang menyatakan tidak akan mendukung, bekerjasama, ataupun terlibat dengan pemegang mandat Pakar SOGI Independen tersebut bila resolusi tersebut sampai disepakati.

“Kami tidak berada dalam posisi untuk mendukung, bekerjasama, maupun terlibat dengan pemangku mandate yang ditunjuk dari resolusi ini,” kata Dicky.

Dalam pemungutan suara terkait Pakar SOGI Independen, diperoleh hasil 23 setuju, 18 menolak, dan 6 abstain.

Melanggar HAM

Atas sikap tersebut, Arus Pelangi menilai pemerintah Indonesia tengah mengkhianati rakyatnya sendiri. “Penolakan Pemerintah Indonesia jelas-jelas merupakan tindakan yang inkonstitusional karena secara gamblang melanggar mandat Negara untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi HAM yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.

Dalam UUD 1945 Pasal 28 ayat (4), tertulis: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.”

Pemerintah Indonesia juga menutup mata atas berbagai fakta ilmiah terkait kekerasan dan diskriminasi berbasis gender dan seksualitas yang terjadi di Indonesia. Menurut penelitian Arus Pelangi pada 2013 lalu, 89.3 persen kaum LGBT di Indonesia mengalami kekerasan berbasis orientasi dengan detail sebagai berikut: kekerasan psikis 79.1 persen, kekerasan fisik 46.3 persen, kekerasan ekonomi 26.3 persen, kekerasan seksual 45.1 persen, dan kekerasan budaya 63.3 persen.

Sampai dengan tahun ini, Arus Pelangi mencatat setidaknya ada 17 kebijakan di Indonesia yang secara eksplisit mendiskriminasi maupun mengkriminalisasi kaum LGBT. Ini belum termasuk kebijakan yang dalam implementasinya menindas kaum homoseksual.

Ruang-ruang demokrasi kelompok LGBTIQ diberangus melalui pelarangan penyelenggaraan kegiatan oleh kepolisian, dan pengabaian terhadap kasus penyerangan pada kegiatan. Awal tahun 2016, pemerintah melalui pejabatnya secara terbuka membuat dan mempublikasikan pernyataan-pernyataan diskriminatif dan berbau ujaran kebencian terhadap LGBTIQ.

Meminta turuti hukum internasional

Arus Pelangi meminta pemerintah Indonesia untuk menjalankan UUD 1945 dalam hal melindungi HAM warga negaranya.

Selain itu, Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) juga harus menegur terkait pernyataan sikap Indonesia di sidang HAM Dewan PBB. “Secara nyata mewujudkan mandat pengawasannya dengan memberi peringatan keras,” tulis mereka.

Organisasi dan kaum LGBT Indonesia juga diminta untuk tidak ketakutan dan tetap berani menjadi diri sendiri. Kaum-kaum yang tersebar di mana-mana, seperti trans perempuan (waria), lesbian dan gay yang ditindas di sekolah, harus saling menguatkan satu sama lain.

 “Kita harus menciptakan perubahan dan melawan penindasan,” tulis Arus Pelangi.

Adapun pernyataan lengkap pemerintah dalam sidang adalah sebagai berikut:

Bapak Presiden (ditujukan pada Pimpinan Sidang),

Delegasi saya berada di sini untuk menjelaskan posisi kami terhadap rancangan resolusi L.2 revisi 1 yang telah diamandemen sebelumnya. 

Bapak Presiden,

Indonesia menegaskan kembali komitmen kami yang tidak tergoyahkan untuk mengentaskan diskriminasi dan kekerasan terhadap semua orang yang secara tegas dijamin dalam konstitusi Indonesia dan perjanjian Hak Asasi Manusia internasional yang telah diratifikasi.

Dengan tetap mengakui mandat dari Dewan HAM PBB untuk mempromosikan dan melindungi Hak Asasi Manusia, kami percaya bahwa Dewan harus selalu mengambil pendekatan konstruktif dan kooperatif dalam mempertimbangkan permasalahan, terutama yang melibatkan faktor sosial-budaya, agama, norma, dan moralitas yang berbeda.

Kami percaya bahwa anggota dari Dewan harus selalu menunjukan sensitivitas dan menahan diri untuk memaksakan nilai-nilai atau norma-norma tertentu kepada pihak lain dan mereka yang tidak menikmati kesepakatan internasional.

Dengan tetap sadar atas alasan yang disampaikan oleh penggagas rancangan resolusi ini, kami khawatir bahwa rancangan resolusi ini, dan seluruh diskusi terkait isu ini, telah menghubungkan diskusi tentang diskriminasi dan kekerasan dengan konsep yang memecah belah dan lemah akan pengakuan atas perbedaan norma, budaya dan pandangan dari masyarakat lainnya.

Dengan tetap menyambut adopsi dari beberapa amandemen terkait prinsip dari penulisan pernyataan ini, kami menganggap bahwa tujuan dasar dari rancangan resolusi ini tetaplah sama. Dengan alasan tersebut, delegasi saya tidak dapat mendukung rancangan resolusi ini dan telah memilih untuk menolak.

Selanjutnya, sejalan dengan posisi kami, kami juga ingin meminta untuk dicatat bahwa kami tidak berada dalam posisi untuk mendukung, bekerjasama, maupun terlibat dengan pemangku mandat yang ditunjuk dari resolusi ini.

Terima kasih

-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!