Jerman vs Italia: Melawan tradisi Gli Azzurri

Agung Putu Iskandar

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Italia adalah sistem. Bukan individu-individu. Jerman harus mencari cara bagaimana menaklukkan sistem Antonio Conte.

Dari kiri, Alesandro Florenzi, Graziano Pelle, dan Emanuele Giaccherini saat berkunjung ke Stade de Lyon, lokasi tempat mereka akan bertanding melawan Belgia. EPA/SERGEY DOLZHENKO

JAKARTA, Indonesia – Jerman harus melawan tradisi saat mereka bersua Italia di perempat final Euro 2016, Minggu, 3 Juli pukul 02.00 WIB. Dalam 8 bentrok mereka di turnamen besar, tim berjuluk Die Mannschaft itu tak pernah menang.

Rinciannya, mereka kalah 4 kali dan seri 4 kali. Semuanya terjadi di babak knock out. Tiga kali kekalahan mereka terjadi di Piala Dunia dan satu di Euro. Di Piala Dunia, mereka kalah di semi final 1970, final 1982, dan semi final 2006. Di Euro, mereka kalah di semi final 2012.

Karena itu, bayang-bayang tradisi kuat Gli Azzurri—sebutan Italia—tersebut bakal lumayan mengganggu Jerman. Apalagi, pasukan Antonio Conte akan menghadapi Jerman dengan status sebagai pembunuh juara bertahan Spanyol.

Ya, di babak perempat final, Gianluigi Buffon dan kawan-kawan mengirim Spanyol pulang dengan skor telak 2-0. Padahal, mereka melawan tim asuhan Vicente del Bosque tersebut dengan skuat “seadanya”. Ini adalah line up yang tidak meyakinkan dibandingkan pasukan Azzurri di turnamen akbar lainnya.

Namun, Italia memang bukan soal individu-individu. Tim ini dibangun Conte dengan sistem. Siapapun pemainnya, mereka akan menjalankan fungsinya dengan skema yang sudah paten.

Buktinya, Italia adalah satu-satunya tim yang turun dengan starter berbeda di tiap pertandingan di Euro 2016.

Rotasi itu bahkan juga menimpa Buffon. Dia dicadangkan dalam laga melawan Republik Irlandia untuk memberi tempat kepada Salvatore Sirigu.

Karena itu, meski Daniele De Rossi dikabarkan absen karena cedera dan Thiago Motta terkena akumulasi kartu, Italia tetap menjadi ancaman serius bagi Jerman. Lagi pula, dua pemain tersebut bukan tak tergantikan.

Stefano Sturaro bisa menggantikan Motta. Khusus untuk De Rossi, harus diakui bahwa absennya dia adalah salah satu kehilangan besar tim biru tersebut.

Energi dan tenaga punggawa AS Roma tak bisa digantikan siapapun. Marco Parolo yang juga berkarakter play maker bisa menutup posisi yang dia tinggalkan tapi tentu tak setangguh De Rossi.

Namun, meski tanpa dua pemain tersebut, Jerman tetap harus mewaspadai Italia. Terutama berkaca dari kekalahan telak Spanyol.

Italia sangat tangguh di lapangan tengah dan sayap. Sudah dua gol yang dicetak Graziano Pelle melalui skema yang sama: serangan balik, umpan dari sayap, dan Pelle yang tinggal mengeksekusi di depan gawang. Satu gol terjadi saat melawan Belgia, satunya lagi melawan Spanyol.

Selain itu, Jerman tak boleh terjebak dengan permainan Italia. Semakin mereka ditekan, mereka semakin kuat saat menyerang balik. Saat menerima serangan bertubi-tubi pun, Italia tetap bisa meredam agresivitas lawan.

Ketangguhan tersebut tak lepas dari sistem yang dibangun Conte. Saat Italia diserang, ada tujuh pemain yang menjadi tameng Buffon. Tiga pemain adalah trio central back, ditambah dua pemain sayap, dan dua lagi dari pemain tengah.

Skema pertahanan tim Italia. Sumber foto: Daily Mail.

Mereka berposisi melebar.  Tujuannya, serangan dari tengah dan kedua sayap bisa diredam.

Saat bola berhasil direbut, bola bisa langsung diumpan ke depan oleh bek atau langsung dibawa ke area lawan. Serangan balik cepat itulah yang kerap memakan korban.

Karena itu, jika der trainer Joachim Loew tidak menyiapkan formula khusus, Bastian Schweinsteiger dan kawan-kawan bisa keteteran.

Jerman bakal kesulitan dengan sistem tersebut. Apalagi, lini depan mereka kurang efisien di kotak penalti lawan. 

Loew: tak ada trauma Italia

Meskipun begitu, Loew menegaskan bahwa dia akan bermain seperti biasa. “Kami tidak harus menyesuaikan apapun. Italia yang harus menyesuaikan kami,” katanya.

Pelatih yang mengantar Jerman menjadi juara Piala Dunia 2014 tersebut juga tidak gentar dengan catatan head to head negaranya dengan Italia yang sangat inferior. “Tak ada yang namanya trauma Italia,” katanya seperti dikutip Eurosport.

Meskipun begitu, Loew tak bisa tutup telinga dengan kritikan publik Jerman terhadap tim nasionalnya. Mereka menganggap Jerman saat ini terlalu Bayern Muenchen sentris. Terutama dalam membangun game plan tim.

Jerman kini lebih terobsesi dengan penguasaan bola. Baik melalui umpan-umpan pendek maupun memvariasikannya dengan umpan langsung.

Mereka kehilangan gaya permainan yang mengantar tim menjadi jawara Piala Dunia, yakni pergerakan sayap yang jauh ke depan dan tajam. Philipp Lahm yang beroperasi di sayap kanan kerap tiba-tiba muncul dari blind spot untuk melepas umpan atau masuk ke area penalti lawan.

Game plan tersebut akrab dengan Bayern Muenchen era Jupp Heynckes pada 2013. Era tersebut menandai keberhasilan Muenchen meraih treble winner.

Di Liga Champions, mereka berhasil menjungkalkan Juventus-nya Antonio Conte (yang juga bermain dengan tiga bek) dengan skor 2-0 baik di Turin maupun di Muenchen.

Belum ada kata terlambat bagi Loew untuk mempelajari pemain Italia. Apalagi, mereka sejatinya punya bekal bagus sebelum menghadapi tim sepak bola negeri pisa tersebut.

Pada laga persahabatan Maret lalu, mereka mengalahkan Italia 4-1. “Kemenangan itu menunjukkan bahwa kami sebenarnya bisa mengalahkan mereka. Meski hanya di laga uji coba,” kata gelandang Mesut Oezil seperti dikutip Football Italia.—Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!