Hukuman fisik untuk anak, perlukah?

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hukuman fisik untuk anak, perlukah?
Guru bukanlah sosok yang sempurna, ada faktor yang bisa menyebabkan metode pengajaran dengan hukuman fisik menjadi sulit untuk dihindari.

JAKARTA, Indonesia—Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan kabar seorang guru SMP dilaporkan ke polisi karena mencubit salah satu muridnya hingga meninggalkan bekas.

Meskipun kasus tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan, kejadian itu masih menyisakan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian orang tua menilai kekerasan fisik sama sekali tidak diperbolehkan dalam mendidik anak. Sebagian lainnya beranggapan hukuman fisik yang sesuai dapat memberikan dampak yang positif.

Menanggapi kasus guru cubit siswa di Sidorajo, Jawa Timur itu, Oci Muchtar, seorang kepala sekolah TK swasta di Jakarta, mengatakan kekerasan fisik termasuk mencubit bukanlah metode pendidikan yang ia sukai.

“Menurut saya mencubit itu termasuk kekerasan fisik. Menurut saya tidak perlu pakai hukuman fisik kalau masih bisa diajak ngomong. Memang jadinya panjang, tapi si anak bisa paham dulu, mengapa dia harus berubah,” ujar Oci pada Rappler pada Senin, 4 Juli.

Sewaktu masih di bangku sekolah, Oci juga sempat mendapatk hukuman fisik dari gurunya, namun hal tersebut dirasa tidak memberikan manfaat apapun pada dirinya hingga sekarang.

“Dulu saya juga pernah ngalamin dipukul tangannya kalau nilainya jelek. Itu waktu SMP, sekitar tahun ’82. Dan itu menurut saya enggak memberikan kesan yang bagus ke gurunya, saya enggak suka sama guru itu, dan ga suka sama pelajarannya,” kata lulusan SMP Negeri 78 Jakarta Pusat tersebut.

Menurut Oci, yang telah menjadi guru dan kepala sekolah selama hampir 15 tahun, seorang guru harus bisa meninggalkan masalah-masalah pribadinya saat masuk ke ruang kelas agar tidak terbawa emosi berlebihan saat berinteraksi dengan murid-muridnya. Tingkat kesejahteraan guru pun menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan guru terbawa emosi.

“Penyebab guru-guru kayak gitu bisa macam-macam. Ada faktor kebutuhan dia tidak terpenuhi, masalah pribadi, dan lain-lain. Jadi idealnya kalau ngajar anak-anak, dia tinggalkan masalah pribadinya,” kata Oci yang juga ibu dari lima orang anak ini.

Namun Oci tidak menampik bahwa seorang guru memang bukanlah sosok yang sempurna sehingga tidak semuanya memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Apalagi jika ditambah dengan sarana dan prasarana mengajar yang tidak mumpuni.

“Waktu anak saya kelas 1 SD itu muridnya ada 53 orang. Dari luar jendela urat leher gurunya sampai kelihatan waktu menjelaskan. Tapi mau bagaimana lagi?” tuturnya.

Oleh karena itu, menurut Oci, jumlah murid dalam satu kelas harus dibatasi jika ingin mendapatkan pengajaran dengan metode persuasif tanpa hukuman yang melibatkan kekerasan fisik.

“Jumlah muridnya juga harus dibatasi, atau satu kelas ada guru pendampingnya. Enggak bisa sebanyak itu, gimana didiknya? Mana bisa guru didik 50 anak satu ruangan? Apalagi kalau anak bandelnya misalnya 10 orang, ya pasti stress lah!,” kata Oci.

Jadi, apakah yang akan dilakukan Oci jika anaknya dicubit guru seperti yang terjadi di Sidoarjo?

“Saya pasti marah. Tapi selama masih bisa diselesaikan internal, enggak perlu lah bawa-bawa pihak luar,” ujarnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!