Tasikmalaya: Geliat wisata di Kota Santri yang tidak terlalu Islami

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tasikmalaya: Geliat wisata di Kota Santri yang tidak terlalu Islami
Perkembangan bisnis pariwisata di Kota Tasikmalaya tidak menunjukkan identitasnya sebagai Kota Santri.

 

Tasikmalaya adalah sebuah kota kecil di bagian tenggara wilayah Provinsi Jawa Barat. Kota dengan luas wilayah 183,85 km2 ini terkenal dengan julukan Kota Santri. Julukan itu muncul sekitar 1970 karena di kota itu terdapat sekitar 1.200  pondok pesantren yang tersebar di Kota dan Kabupaten Tasikmalaya.

Berjuluk Kota Santri, Tasikmalaya menjadi daerah yang dikenal religius. Apalagi kemudian, pemerintah daerah setempat mengeluarkan Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2009 tentang Tata Nilai Berlandaskan Ajaran Agama, atau Perda Syariah Islam.

Perda tersebut memancing kontroversi sehingga Pemerintah Kota Tasikmalaya merevisinya menjadi Perda No. 7 Tahun 2014 tentang Tata Nilai Kehidupan Masyarakat yang Religius di Kota Tasikmalaya. 

Saat ini, pariwisata di Kota Santri sedang menggeliat. Suasana kota berpenduduk sekitar 700 ribu jiwa ini terasa lebih semarak dengan kehadiran sejumlah kafe dan restoran, bahkan tempat karaoke. Perkembangan tempat nongkrong itu dirasakan sejak dua tahun terakhir.

“Kafe dan restoran tumbuh pesat di sini seperti jamur di musim hujan,” kata anggota Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Tasikmalaya, Dicky Zulkarnaen, saat ditemui Rappler di Tasikmalaya beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan, saat ini ada sekitar seratusan kafe dan restoran di Kota Tasikmalaya. Bisnis hotel pun cukup berkembang ditandai dengan bertambahnya jumlah hotel berbintang. Terdapat sekitar 50 hotel di kota yang juga punya julukan Mutiara dari Priangan Timur itu. Ini menunjukkan tingkat kunjungan wisatawan juga meningkat.

Pertumbuhan bisnis yang memanjakan perut ini juga diiringi dengan inovasi di bidang kuliner. Aneka jenis makanan dan minuman ditawarkan dengan berbagai keunikannya. Ada yang menyajikan menu khas Tasik, seperti Nasi Tutug Oncom, Cilok Goang, dan Tutut — hewan sejenis keong yang berukuran kecil. Namun ada pula yang membuka restoran franchise yang berasal dari dalam maupun luar negeri.

“Perkembangannya mengarah ke wisata kuliner. Tapi menurut saya, Kota Tasik ini kota jasa, bukan kota wisata,” kata Dicky.

Pelaku bisnis hotel, Sarmad, mengatakan berkembangnya wisata di Tasikmalaya tak lepas dari kenaikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,5 persen.

“Pembangunan bandara internasional Kertajati, bendungan Jatigede, dan geothermal cukup berpengaruh terhadap perkembangan wisata di Kota Tasik,” kata Sarmad yang menjabat sebagai General Manager Hotel Santika Tasikmalaya.

Bukan Kota Santri seutuhnya?

Namun sejumlah pihak menilai, perkembangan bisnis pariwisata di Kota Tasikmalaya tidak menunjukkan identitasnya sebagai Kota Santri. Pakar Tata Kota, Nanang Nur Jamil, menilai Kota Tasikmalaya tidak memiliki destinasi wisata yang mencirikan Kota Santri.

“Wisata itu harus ada destinasi yang jelas. Ketika sebutan Kota Santri harus ada destinasi yang jelas. Misalnya, bikin museum budaya religi Tasikmalaya, itu sudah mewakili,” kata Nanang.

Nanang juga menyesalkan kurang terangkatnya potensi kearifan lokal dan heritage.

“Harusnya Tasik punya kampung seni, ekonomi, budaya, lingkungan, agama, kreatif  yang disingkat wisata SEBLAK di daerah Urug Gunung Kandala. Dan pemerintah pusat memiliki anggaran untuk itu,” ungkapnya.

Wisatawan berkunjung ke Kampung Naga yang berlokasi di Desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, salah satu destinasi wisata yang cukup dekat dengan Kota Tasikmalaya. Foto oleh Yuli Saputra/Rappler

Mewakili kelompok mahasiswa, Agus Mughni, berpendapat sebagai Kota Santri, Tasikmalaya semestinya menjadi pusat kajian ilmu Islam di Jawa Barat dengan memiliki perpustakaan Islam di Jawa Barat.

“Mengenai wisata religi ini seharusnya masuk ke Perda Syariah Islam,” kata Ketua Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kota Tasikmalaya ini.

Sebagai pekerja di bidang pariwisata, Sarmad mengakui Kota Tasikmalaya tidak memiliki potensi alam yang bisa dijadikan sebagai tempat wisata. Namun, kota ini memiliki potensi kerajinan lokal yang bisa menjadi modal untuk dikembangkan sebagai wisata belanja. 

“Kota Tasik ini memiliki potensi besar untuk dijadikan kota wisata belanja, karena di sini banyak sekali kerajinan lokalnya yang sudah terkenal, seperti batik, kelom (terompah) geulis, payung geulis, dan kerajinan bambu,” ujarnya.

Meski demikian, lanjut Sarmad, wisatawan yang datang ke Kota Tasikmalaya, masih bisa berwisata alam, sejarah atau religi dengan mengunjungi sejumlah tempat wisata di Kabupaten Tasikmalaya yang jaraknya tidak terlalu jauh.

“Mau berwisata religi, sejarah, atau alam, semuanya ada di sini,” kata Sarmad berpromosi.

Wisata religi

Wisatawan yang ingin berwisata religi, biasanya menuju Pamijahan Kabupaten Tasikmalaya di mana ada Makam Syekh Abdul Muhyi, bapaknya para wali. Situs itu banyak dikunjungi wisatawan dari seluruh wilayah di Jawa untuk berziarah sekaligus melihat Goa Pamijahan, tempat Syekh Abdul Muhyi menjalani tarekat.

Makam Syekh Abdul Muhyi terletak di di Kampung Pamijahan, Desa Pamijahan, Kecamatan Bantarkalong, Kabupaten Tasikmalaya. Jarak tempuh dari Pusat Kota Tasikmalaya sekitar 65 km ke arah selatan.

Syekh Abdul Muhyi ada penyebar agama Islam di wilayah Jawa Barat. Selain makam Syekh Abdul Muhyi, masih ada beberapa lokasi wisata religi di Kabupaten Tasikmalaya yang jarak tempuhnya tidak terlalu jauh dari Kota Tasikmalaya.  

Salah satunya adalah Masjid Manonjaya yang merupakan masjid tertua di Kabupaten Tasikmalaya. Masjid yang dibangun pada 1832 ini berlokasi Dusun Kaum Tengah, Desa Manonjaya, Kecamatan Manonjaya, Tasikmalaya. 

Ada pula tempat wisata adat yang bisa dikunjungi dan jaraknya cukup dekat, yakni Kampung Naga yang berjarak sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Tasikmalaya. Warga kampung ini sangat kuat memegang adat dan tradisi leluhur. Terlihat dari bangunan rumah yang masih tradisional. 

Hingga kini, warga tidak menggunakan aliran untuk kehidupan sehari-harinya. Untuk menuju kampung yang berlokasi di di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya ini, wisatawan harus menuruni tangga yang memiliki 439 anak tangga.

Sementara untuk wisata alam, banyak sekali alternatif tempat yang bisa dikunjungi. Seperti, Gunung Galunggung yang dilengkapi dengan beberapa air terjun, pemandian air panas Ciawi, dan Situ (danau) Gede. Untuk yang menyukai liburan ke pantai bisa berkunjung ke Pantai Selatan Cipatujah, Pantai Karang Tawulan, dan Pantai Sindangkerta.

Betul kan, semua ada di Tasikmalaya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!