Konflik Laut Cina Selatan, apa saja yang perlu kamu ketahui?

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Konflik Laut Cina Selatan, apa saja yang perlu kamu ketahui?

PAO,AFP,GHQ

Tentang konflik di teritori Laut Cina Selatan, apa yang diperdebatkan dan bagaimanakah dampaknya ke Indonesia?

JAKARTA, Indonesia – Pengadilan Arbitrase (PCA) di Den Haag, Belanda akan memutuskan sengketa antara Filipina dan Tiongkok di Laut Cina Selatan pada Selasa, 12 Juli 2016. Sebelumnya, Filipina menggugat klaim Tiongkok atas daerah yang disebut West Philipine Sea.  

Keputusan PCA akan berdampak tidak hanya kepada dua negara yang berseteru. Tetangga-tetangga mereka di Asia Tenggara dan Timur dan Amerika Serikat akan mengalami perubahan zonasi laut. Indonesia termasuk negara yang berkepentingan di lautan seluas 3,5 juta kilo meter kuadrat ini.

Klaim Tiongkok

Perairan ini memiliki potensi yang sangat besar. Setiap tahunnya, barang-barang senilai US$ 5 triliun melintas, karena jalur ini menghubungkan Asia dengan Amerika, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.

Tak hanya di atas air, di dalamnya juga ada sumber daya alam yang luar biasa. Laut Cina Selatan dipercaya menyimpan 11 miliar barel minyak, dan 190 triliun kubik gas alam.

Negara-negara yang berada di teritori ini, seperti Tiongkok, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, dan Indonesia, berlomba-lomba untuk meninggalkan ‘penanda’ berupa basis militer. Langkah ini diambil sebagai bentuk klaim atas daerah tertentu.

Namun, dalam 20 bulan belakangan, pergerakan Tiongkok dalam hal penetapan hak milik di teritori ini semakin agresif. Mereka mengklaim pulau 17 kali lebih banyak dibandingkan negara lainnya – bahkan mulai menerobos ke wilayah negara lain.

Untuk wilayah Indonesia, kejadian ini berlangsung di perairan Natuna.

Saat dikonfrontasi, pihak Tiongkok membantah kalau mereka ‘menerobos’ karena wilayah tersebut merupakan teritori mereka. Klaim ini dibasiskan pada ‘teritori 9 garis putus-putus’ yang sudah ada sejak rezim Kuomintang pada tahun 1947.

Dalam peta tersebut, digambarkan Tiongkok menguasia lebih dari 2 juta km2 wilayah Laut Cina Selaatan. Bermula dari pulau Hainan di bagian selatan daratan Tiongkok, dan membentuk kurva sejauh 1611 kilo meter ke arah Indonesia.

Garis Kuomintang ini bersinggungan dengan sejumlah daerah ‘milik’ negara lain seperti Filipina, Malaysia, dan Vietnam yang semuanya memakai basis Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Klaim Tiongkok ini semuanya berbasis pada catatan sejarah dan peta kuno.

Protes Filipina

Filipina mengatakan klaim Tiongkok atas daerah-daerah tersebut tidak berdasar karena bertentangan dengan Konvensi PBB (Unclos). Dalam hal ini, catatan maupun rekam jejak sejarah tidak bisa dianggap sebagai basis legal dalam penetapan wilayah.

Dalam gugatan yang diajukan ke PCA, pihak Filipina menyebut “tidak ada daratan ataupun pulau di Laut Cina Selatan yang bisa mengakomodir wiayah 9 garis putus-putus.”

Secara tak langsung, mereka mengimplikasikan kalau klaim wilayah Tiongkok itu ‘ilegal’ dan mereka selama ini telah melakukan penerobosan wilayah.

Dampak putusan pengadilan?

Bila PCA memutuskan untuk memenangkan gugatan Filipina, maka Tiongkok tidak bisa lagi menggunakan klaim historis mereka. Ini sekaligus membenarkan argumen Filipina kalau penghitungan teritori maritim bermula dari daratan, dan bukan dari bebatuan sebesar apapun ukurannya. 

Selain itu, 9 garis milik Tiongkok juga dipastikan tidak lagi bisa digunakan sebagai basis.

Namun, bila PCA menolak gugatan, maka kekuatan Tiongkok di daerah Laut Cina Selatan akan semakin kuat. Artinya,  Amerika yang selama ini bekerja sama dengan negara lain di area tersebut, telah kalah dalam hal dominasi area. Kekuasaan Tiongkok di sana tak akan terkalahkan lagi.

Apapun hasil yang keluar besok, banyak pengamat memperkirakan Tiongkok tak akan menerima ataupun menyerah semudah itu. Mereka akan tetap bertahan dengan pendapat mereka dan berpotensi meningkatkan konflik dengan negara lain di teritori Laut Cina Selatan.

Dampak ke Indonesia?

Wilayah Indonesia yang tercaplok oleh 9 garis Tiongkok adalah di perairan Natuna. Sebelumnya, kondisi sempat memanas karena insiden antara kapal perang Indonesia dan Tiongkok. KRI Imam Bonjol milik TNI AL, menangkap kapal ikan Han Tan Cou 19038 yang kedapatan beroperasi di wilayah Laut Natuna pada pertengahan Juni lalu.

Kala itu, dua kapal penjaga pantai (coast guard) Cina bernomor lambung 3303 dan 2501 bergantian mendesak agar kapal nelayan berbendera Cina tersebut dilepaskan oleh kapal TNI AL. Aksi ini dinilai sebagian besar orang sebagai bentuk pelecehan Tiongkok atas kedaulatan maritim Indonesia.

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sebelumnya mengatakan TNI sudah melakukan antisipasi guna mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. “Antisipasi kami ya menangkap (kapal) itu, kalau tak menangkap, berarti kita cuma tidur,” kata Gatot. 

Menurut Gatot, TNI telah memperketat pengawasan dengan mengerahkan lima KRI dan pesawat CR 212 untuk mengintai. Intervensi Tiongkok dalam hal ini dapat mengancam pada pendapatan hasil laut Indonesia. Sebab, daerah Natuna sangat kaya akan sumber daya alam, dan berpotensi memangkas pendapatan negara dari sektor tersebut. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!