Polda Yogyakarta tetapkan 1 mahasiswa Papua jadi tersangka

Anang Zakaria

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Polda Yogyakarta tetapkan 1 mahasiswa Papua jadi tersangka
Obi Kogoya ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap telah melukai petugas kepolisian saat hendak ditangkap

JAKARTA, Indonesia – Personil polisi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) membebaskan semua mahasiswa Papua yang sempat ditangkap pada Jumat, 15 Juli. Jika sebelumnya tertulis ada 7 mahasiswa Papua yang ditangkap, maka total yang ditangkap bertambah menjadi 8 orang.

Kendati dibebaskan, namun ada satu orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Yogyakarta yakni Obi Kogoya. Menurut keterangan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda DIY, Ajun Komisaris Besar Anny Pudjiastuti, Obi ditetapkan sebagai tersangka, karena telah melukai petugas.

“Tetapi, (mereka) semua sudah dibebaskan,” ujar Anny yang ditemui di kantor Polda Yogyakarta.

Walau dibebaskan, Obi diwajibkan melapor rutin ke Polda Yogyakarta. Sementara, staf pembela umum Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta Isti’anah, selain Obi, 7 identitas mahasiswa Papua lainnya yaitu Terrianus Aud, Obet Hisage, Adius Kudiligagal, Demi Dabi, Ferdinand Tagi, Beneditus Tegei, dan Debi Kogoya.

“Sisanya yang lain hanya dijadikan saksi,” ujar Isti’anah.

Menurut dia, 8 mahasiswa itu ditangkap di tempat berbeda. Obi dan Debi misalnya, ditangkap ketika baru saja memarkir sepeda motornya di belakang asrama. Kakak beradik itu baru saja memarkir sepeda motor di belakang asrama.

Mereka hendak bergabung dengan rekannya sesama mahasiswa dalam mendukung penentuan nasib bangsa Papua di asrama. Polisi menghentikan mereka dengan alasan karena ingin memeriksa surat kendaraan bermotor.

Sisa mahasiswa lain ditangkap ketika tengah pulang berbelanja ubi di pasar. Ubi itu rencananya akan digunakan untuk makanan bagi penghuni asrama.

“Ubinya sampai malam ada di Polda,” kata Isti’anah.

Selama proses pemeriksaan, para mahasiswa itu dituding telah melawan petugas dan dikenakan dugaan melanggar pasal 212, 213 dan 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain menjadi pendamping hukum bagi 8 mahasiswa yang ditangkap, LBH Yogyakarta juga memprotes model pengamanan yang diterapkan oleh kepolisian di depan asrama Papua.

Dua orang aktivis LBH Yogyakarta pada siang tadi mendatangi markas Polda DIY dan bertanya mengapa sampai harus dilakukan pengepungan hingga kini.

“Kami meminta polisi menarik personilnya dari sana,” ujar aktivis tersebut.

Sementara, Polda Yogyakarta mengatakan polisi baru akan meninggalkan area itu hingga kondisinya benar-benar aman.

Kondisi di asrama Papua di Jalan Kusumanegara kini terlihat lengang. Pasca dilakukan penangkapan tidak terlihat aktivitas apa pun di sana.

Beberapa motor terlihat masih terparkir di halaman. Beberapa mahasiswa juga melintas di halaman belakang.

“Asrama kosong,” kata Juru Bicara Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Papua Barat, Roy Karoba melalui sambungan telepon.

Tudingan bernada rasis

SUASANA ASRAMA PAPUA. Beberapa mahasiswa Papua terlihat tengah bersantai di dalam asrama pada Jumat, 15 Juli sementara di luar Polda Yogyakarta melakukan penjagaan ketat. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

Asrama Mahasiswa Papua di Yogyakarta sendiri diketahui telah berdiri di Kampung Miliran Kecamatan Umbulharjo sejak tahun 1968. Selama puluhan tahun, penghuni asrama hidup rukun berdampingan dengan warga sekitar.

Pengakuan itu terlontar dari seorang lelaki bernama Cipta alias Jangkung yang mengaku sudah lama mendiami area di sekitar asrama. Rumahnya berada di gang sempit di perkampungan Miliran dan lokasinya hanya berjarak sekitar 50 meter dari gerbang belakang.

“Kerja bakti kampung, mereka (mahasiswa Papua) ikut, acara 17 Agustusan (perayaan kemerdekaan) juga ikut,” ujar Cipta yang ditemui pada Sabtu, 16 Juli.

Justru mahasiswa Papua kalau tidak ikut diajak kegiatan seperti kerja bakti, kata Cipta, justru bertanya kepada warga mengapa mereka tak ikut diajak.

Para penghuni asrama juga diakui memiliki ikatan emosional dengan warga. Dia mengatakan empat tahun lalu ketika Ibunya meninggal, sekelompok penghuni asrama datang melayat. Mereka bahkan berinisiatif mengumpulkan dana santunan bagi keluarga yang berduka.

“Mereka juga rebutan ikut ngusung petinya,” kata dia.

Selama polisi mengepung asrama Papua beberapa hari terakhir, di media sosial pun muncul tudingan bernada rasial terhadap warga Papua. Isinya mulai dari mereka dianggap tak menghormati adat istiadat Yogyakarta, tukang berbuat onar, hingga pendukung separatisme. Lalu, apa komentar Cipta?

“Soal itu (separatisme) itu menjadi urusan pemerintah. Kami tetap baik dengan mereka (mahasiswa Papua),” kata dia.

Mengenai tudingan mahasiswa Papua adalah tukang onar dan tak menghormati adat istiadat, Cipta punya kisah tersendiri. Beberapa tahun lalu ketika sumur-sumur warga Miliran kering tak keluar air, para mahasiswa bersama-sama warga memprotes maraknya pembangunan hotel di Yogyakarta.

Hotel itu diprotes karena dianggap telah menyedot air tanah dan menyebabkan sumur warga mengering. Akibatnya warga kesulitan memperoleh air bersih.

“Mereka ikut berdemo ke hotel bersama warga dan mahasiswa,” katanya. – Rappler.com

BACA JUGA:

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!