Hari pertama sekolah: Antar anak ke ruang kelas atau guru ke penjara?

Camelia Pasandaran

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Hari pertama sekolah: Antar anak ke ruang kelas atau guru ke penjara?

ANTARA FOTO

Ketika hukuman fisik oleh guru kepada murid sudah dianggap 'tidak kekinian'

Kabar seorang guru diadili karena mencubit murid mengingatkan saya pada sebuah kejadian di sebuah SMP di Pulau Siau, Sangir. Seorang ibu yang tak terima anaknya ditempeleng, mengejar guru keliling sekolah sambil mengacungkan tombak!

Perempuan itu adalah nenek saya, Josephine Lalisang. Murid yang ditampar itu ayah saya yang hingga saat ini yakin 100 persen tak bikin ribut kelas seperti dituduhkan sang guru.

Barangkali bagi nenek saya, ulah sang guru tak ubahnya seperti kesewenangan pemerintah Hindia Belanda yang memenjarakan dia pada zaman kolonial. Hanya saja kali ini nenek saya yang mengejar dan si guru yang terkurung, mengunci diri di ruang kepala sekolah. Konflik berakhir setelah dilerai oleh kepala sekolah. 

Ketika kisah itu diceritakan dalam sebuah pertemuan keluarga besar, semua tergelak mendengarnya. Ini cerita pada zaman di mana guru menghajar murid dianggap wajar — meski nenek saya menunjukkan bahwa tak semua orangtua pada masa itu suka anaknya dikasari.

Rupanya setelah sekitar enam dekade berlalu sejak “insiden tombak” itu, tak banyak yang berubah dari dunia pendidikan kita. Baru-baru ini saya memberikan pelatihan komunikasi kepada siswa-siswi di sebuah SMA di Jakarta Barat.

Guru di sekolah ini masih main kayu. Ya, secara harafiah, memakai tongkat pramuka buat mengatur siswanya agar berpartisipasi aktif dalam pelatihan.

“Hari gini, masih saja ada guru yang pakai tongkat untuk menghukum,” bisik saya kepada kolega yang ikut ke sekolah itu. Rekan saya menjawab, “Iya, padahal sudah SMA. Ada cara mendidik yang salah sepertinya, kalau sampai mereka harus pakai kayu supaya mereka patuh.”

Bolehkan “main fisik” di sekolah? Atau dengan bahasa kekinian, bolehkah ada kekerasan fisik atau verbal di sekolah? 

Ini menjadi perdebatan yang tengah menghangat usai serangkaian kasus guru dipolisikan oleh orangtua murid. Makin panas setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan ikut meminta agar kekerasan di sekolah tak perlu dibawa ke kantor polisi.

Debat ini merembet ke media sosial. Salah satunya saat komedian Ernest Prakasa mengkritisi guru yang masih menggunakan kekerasan fisik sebagai bentuk hukuman. 

Cuitannya menuai kritikan dari netizen. Sebagian menyuruhnya mendirikan sekolah sendiri untuk anaknya karena beranggapan bahwa guru punya hak untuk menghukum siswa.

‘Pak dan Bu Guru, hukuman fisik ke murid kurang kekinian’

Zaman ayah saya sekolah, hingga zaman saya jadi pelajar, baik orangtua dan guru sama-sama menganggap menghajar anak adalah bagian dari pendidikan kedisiplinan dan kepatuhan. Tapi zaman sudah berganti.

Orangtua sudah mulai mengadopsi gaya menghukum yang lain, gaya hukum yang tidak menggunakan bentuk hukuman fisik. Mereka belajar bahwa hukuman fisik tidaklah efektif. Hukuman fisik tidak hanya membuat anak merasa takut melakukan kesalahan yang sama, tapi bisa jadi membuat mereka merasa dendam pada orangtua.

Ahli komunikasi antarpribadi, Joseph A. Devito, menjelaska  dalam relasi antarmanusia, orang yang lebih berkuasa akan mendapatkan kepatuhan secara efektif bila dia bisa memberikan reward, alih-alih punishment.

Orang dalam posisi yang lebih berkuasa akan lebih disukai bila dia menerapkan sistem reward. Reward bisa dalam bentuk penghargaan, cinta, hadiah dan lainnya.

Guru memperlihatkan foto Presiden Jokowi kepada murid kelas I pada hari pertama masuk sekolah di SD 02 Kota Bangun, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, pada 14 Juli 2016. Foto oleh Jojon/Antara

Ketika saya masih bersekolah, guru menawarkan reward dalam bentuk seperti, “Boleh pulang duluan bagi orang yang tidak berisik di kelas. Orang yang berisik akan tinggal lebih lama di sekolah.” Buat yang super nakal, dia ditempatkan belajar terisolasi di ruang kesehatan sambil menulis berhalaman-halaman: “Saya tidak akan berisik lagi.”

Namun selain reward power, orang yang berkuasa juga memiliki coercive power. Namun sebetulnya kekuasaan orang itu tidak diakui bila dia harus sampai menerapkan coercive power. Sederhananya seperti ini: kalau Anda sampai harus mengancam seorang anak agar dia patuh, maka bisa dipastikan anak itu tidak menghargai Anda!

Bukan saja soal kekuasaan tidak diakui, seorang yang menggunakan coercive power cenderung akan tidak disukai dan berpotensi membuat orang yang dipaksa melakukan sesuatu menjadi marah. Dalam relasi murid dan guru, kalau siswa marah, maka motivasi belajar bisa jadi menghilang.

Lebih buruk lagi, mereka bisa memikirkan membalas dendam. Saya masih ingat ada teman sekolah yang sebenarnya pintar, tapi karena sekali marah pada satu guru yang memukulnya dengan penggaris kayu, dia jadi malas belajar dan suka mengempisi ban motor gurunya.  

Cuma dicubit lapor polisi? Tsadiiiist! (Baca: sadis)

Selama kekerasan fisik tidak sampai membuat anak cidera atau trauma, melaporkan ke polisi adalah tindakan yang barangkali berlebihan.Saya paham, sulit untuk menerima bahwa anak yang kita didik susah payah dari kecil diperlakukan kasar.

“Saya tidak akan nerima kalau susah payah kita hamil dan melahirkan, eh dipukul sama pembantu atau guru,” kata seorang suster di rumah sakit ketika melihat saya berpeluh di tengah nyerinya kontraksi jelang bersalin di rumah sakit.

Bayangkan anak yang kita sayangi, anak yang kita cium dan peluk setiap hari, anak yang kita ajarkan untuk tidak melakukan kekerasan, tiba-tiba pulang dengan badan merah-merah. Wajar kalau orangtua marah.

Lantas harus pakai cara apa?

Orangtua bisa melakukan komunikasi asertif, bukan agresif, untuk menyelesaikan ini. Berkomunikasi dengan asertif adalah menyampaikan pandangan secara terbuka, tanpa harus menyerang orang tersebut. Komunikasi asertif dilakukan dengan juga menghargai pandangan dari lawan bicara, namun tidak menegasikan apa yang kita pikirkan atau rasakan.

Hal ini dilakukan seorang kerabat saya yang bertahun-tahun lalu anaknya dipukul tangannya sampai merah. Dia memutuskan untuk memprotes gurunya. Alih-alih menerima, sang guru malah menegur anak tersebut keesokan harinya dan kurang lebih mengatakan pada satu kelas untuk tidak mengadu pada orangtua kejadian-kejadian di sekolah. 

Kerabat saya ini akhirnya memutuskan untuk melaporkan guru tersebut ke kepala sekolah (bukan ke polisi). Oleh yayasan sekolah tersebut, guru itu akhirnya dipindahkan ke sekolah di pinggiran Jakarta. 

Jelas bahwa orangtua punya pilihan untuk memprotes guru. Orangtua bisa saja mendatangi langsung gurunya dan menyampaikan keluhan. Tak perlu langsung ke polisi apalagi mengejar pakai tombak! —Rappler.com

Camelia Pasandaran adalah dosen komunikasi antarpribadi dan jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Dia seorang ibu dari anak yang akan mulai sekolah pekan depan. 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!