Problematika Masa Orientasi Sekolah dari tahun ke tahun

Jennifer Sidharta

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Problematika Masa Orientasi Sekolah dari tahun ke tahun

ANTARA

Mendikbud Anies Baswedan sudah melarang pelaksanaan MOS oleh siswa senior terhadap siswa baru

JAKARTA, Indonesia — Konsep kegiatan pengenalan lingkungan sekolah melalui Masa Orientasi Siswa (MOS) sudah saatnya diubah, kata Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan.

Caranya, dengan melarang perancangan MOS oleh siswa.

“Meski pelaksanannya anggota OSIS, akan tetap kita larang. Mulai tahun ini harus dilakukan oleh guru atau pengajar,” kata Anies dalam konferensi pers, Senin, pekan lalu, 11 Juli.

Hari ini, Senin, 18 Juli, adalah hari pertama sekolah tahun ajaran 2016/2017. Diharapkan dengan ditiadakannya kegiatan MOS oleh siswa, dapat memutus kekerasan di lingkungan sekolah, seperti aksi perpeloncoan atau bullying oleh senior terhadap siswa baru.

Dari perkenalan hingga perpeloncoan

Kegiatan MOS telah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Di sekolah pendidikan dokter (STOVIA) pada periode 1898-1927, siswa baru menjadi “anak buah” seniornya, misalnya ditugasi membersihkan ruangan kakak kelas. 

Selanjutnya, STOVIA menjadi sekolah tinggi kedokteran atau GHS (1927-1942). MOS saat itu bernama “ontgroening” alias mendewasakan anak baru, dan sifatnya lebih formal daripada pada era STOVIA walau masih bersifat sukarela. 

Sejak 1950an, MOS menjadi lebih “wajib” sekaligus semakin tidak mendidik. Dalam perkembangannya, MOS juga dilakukan oleh strata pendidikan SMP dan SMA. Padahal, sejak 1960an perpeloncoan di MOS menuai banyak tentangan. Hal itu pun berlanjut hingga kini. Tak sedikit kekerasan fisik menjadi bagian dari MOS.

Kekerasan fisik yang dimaksud adalah penamparan, pemukulan, hingga penendangan. Sementara kekerasan psikis mencakup membentak dan menghardik sehingga merendakan mental dan martabat siswa baru.  

Mengapa MOS menjadi ajang perisakan?

Salah satu alasan adanya sekolah dan siswa yang menganggap pendekatan kekerasan dalam MOS diperlukan adalah “dendam sejarah”, kata Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto, melalui siaran pers.

Dendam sejarah yang dimaksud yaitu ketika kakak kelas “balas dendam” dengan memperlakukan adik kelas sebagaimana mereka dahulu diperlakukan.

Ada pula yang memandang MOS sebagai kesempatan mengerjai siswa baru, dan ada yang beranggapan pendekatan kekerasan bermanfaat untuk membentuk mental adik kelas.  

“Pandangan demikian tidak boleh terjadi. Kekerasan tidak bersenyawa dengan pendidikan maka tidak boleh ada muatan kekerasan dalam bentuk apa pun dalam MOS,” kata Susanto. 

Maka, KPAI mengimbau sekolah-sekolah Indonesia melaksanakan MOS tanpa kekerasan verbal, psikis, seksual, dan fisik. Sebaliknya, MOS perlu dirancang dengan cara yang membangkitkan karakter unggul siswa, bukannya menekan potensi majemuk siswa. 

“MOS juga harus dipastikan aman dan nyaman bagi semua anak. Sekolah harus memastikan tidak ada kultur senioritas yang memicu kekerasan dalam pelaksanaan MOS,” ujar Susanto.  

Jenis kegiatan yang umum dilakukan di MOS

“Seragam” yang dikenakan anak-anak yang di-MOS ditentukan penyelenggara MOS dan biasanya terdiri dari beragam atribut. 

Beberapa contoh “kostum MOS” yaitu topi segitiga dari karton, topi dari bola plastik yang dibelah dua, rambut yang dikepang sejumlah bulan lahir dan diberi pita warna-warni, kalung rantai permen, ikat pinggang dari rafia, kaus kaki bola beda warna, gelang kaki yang dirangkai dari rafia dan lonceng, serta papan pengenal nama dari karton maupun anyaman karton.  

Tas yang dibawa saat MOS juga biasanya dibuat dari karung beras atau karung goni atau kardus dengan tali dari rafia, walau detailnya berbeda-beda tergantung pelaksana MOS.

Latihan baris-berbaris layaknya untuk upacara bendera adalah bagian umum dari MOS, dan biasanya dilakukan saat matahari terik; walau beberapa penyelenggara MOS melatih baris-berbaris di daerah teduh atau tidak melakukan kegiatan ini sama sekali.  

Bekal yang disantap saat MOS umumnya ditentukan penyelenggara MOS dan diberitahu dalam teka-teki, seperti buah permisi (mangga), nasi 457354 (goreng), sayur NaCl (asin), dan batu bata Italia (wafer tango). Beberapa pelaksana MOS melakukan tukar bekal alias bekal yang dibawa seorang siswa akan disantap siswa lain dan sebaliknya. 

Hukuman yang diberikan pada siswa yang melanggar ketentuan atau lupa membawa perlengkapan MOS bergantung pada penyelenggara MOS, mulai dari dihukum berdiri, disuruh menyanyi dengan huruf yang diganti, merayu (gombal) kakak kelas, hingga dibentak-bentak di hadapan peserta MOS lainnya. 

Peserta MOS juga biasanya diminta membuat surat cinta bagi kakak kelas dan mengumpulkan tanda tangan kakak kelas. Sebelum memberi tanda tangan, beberapa kakak kelas kadang mengerjai peserta MOS, seperti meminta mereka menyanyi atau merayu kakak kelas lain. 

Menjelang akhir MOS, atau sekali per hari, ada “sesi” ketika peserta MOS dimarahi, baik untuk pelanggaran aturan MOS maupun kesalahan yang sengaja dicari penyelenggara MOS.  

MOS yang ideal

Tujuan MOS, sebagaimana dipaparkan sebuah sekolah menengah kejuruan, yaitu memperkenalkan siswa baru pada lingkungan fisik sekolah, komponen sekolah termasuk aturan-norma-budaya-tata tertib sekolah serta seluruh kegiatan di sekolah termasuk kegiatan ekstrakurikuler. 

MOS juga diniatkan menjadi ajang melatih disiplin, ketahanan mental, mempererat tali persaudaraan, dan semua orang di lingkungan sekolah, seperti guru, kakak kelas, dan staf. 

Peraturan Kadisdik DKI Jakarta, no. 56 tahun 2010, mengatur bahwa semangat dan prinsip MOS adalah 5M yaitu Mudah, Meriah, Murah, Massal, dan Mendidik; serta dilakukan di sekolah pada tiga hari pertama masuk sekolah dan selama jam belajar. —Rappler.com 

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!