SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
SURABAYA, Indonesia – Lemahnya pengawasan terhadap limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) memberi peluang kepada perusahaan pengolah membuang limbah di daerag perumahan dan bahkan daerah militer, kata Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi.
“Malah ditengarai transporter yang beroperasi juga bodong alias tidak memiliki surat izin transporter,” kata Prigi kepada Rappler pada Senin, 18 Juli.
Kewenangan untuk menangani limbah B3 masih dipegang pemerintah pusat, melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sehingga Badan Lingkungan Hidup Daerah tak bisa berbuat banyak dalam mengawasi pengelolaan limbah B3 di daerah mereka.
Hal ini diperparah dengan pengawasan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang hanya dilakukan setiap enam bulan sekali.
Berdasarkan hasil investigasi dua lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan yaitu Telapak dan Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), setidaknya ada beberapa pelanggaran terhadap pengelolaan limbah B3 di daerah.
Pertama, jasa pengangkutan limbah B3 tidak menunjukkan identitas limbah B3 yang seharusnya pada tiap kendaraan, misalnya beracun, infeksius, mudah terbakar, kimia, asam dan lain sebagainya. Selain itu, di setiap kendaraan pengangkut itu seharusnya mencantumkan nomor telepon perusahaan, nama perusahaan dan jenis bahan B3 yang diangkut.
Pelanggaran kedua bisa dilihat dari lokasi penimbunan dan ijin penimbunan. Sebenarnya, di Jawa Timur tidak ada lokasi resmi yang mendapatkan ijin penimbunan B3 karena penetapan lokasi penimbunan membutuhkan biaya yang mahal. Ini tentu saja akan berdampak pada tingginya biaya pengangkutan B3.
Para pemilik industri umumnya mencari jasa pengangkutan dan pengolahan yang murah. Namun sayangnya para penyedia jasa pengolahan limbah umumnya tidak mengolah atau memanfaatkan limbah B3, namun hanya membuang secara open dumping atau menimbunya secara ilegal.
Hasil investigasi Ecoton dan Telapak juga menemukan jika pembuangan limbah B3 itu tak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di daerah militer tetapi secara terbuka dekat dengan lokasi pemukiman warga.
Hal ini, menurut Prigi, disebabkan karena minimnya pengetahuan warga soal limbah B3. Warga malah menerima limbah B3 jenis fly ash dan bottom ash ini sebagai bahan urugan rumah di beberapa desa di Lakardowo, Dawarblandong dan beberapa lokasi di wilayah Gresik.
“Untuk itu Telapak dan Ecoton mendesak agar dilakukan penataan ulang tata kelola B3 di Jawa Timur karena kini diketahui banyak limbah B3 dari Kalimantan dan Bali dimasukkan ke Jawa Timur. KLHK juga harus bertanggungjawab atas dampak lingkungan dan dampak kesehatan yang mulai dirasakan oleh masyarakat Jawa Timur,” kata Prigi. – Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.