Merangkul ‘kupu-kupu malam’ melalui rehabilitasi sosial

Fariz Fardianto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Merangkul ‘kupu-kupu malam’ melalui rehabilitasi sosial
Penghuni lokalisasi Sunan Kuning di Jawa Tengah meningkatkan keterampilan demi masa depan

SEMARANG, Indonesia – Suara riuh terdengar di gedung aula Jalan Argorejo, Kalibanteng Semarang, Jawa Tengah, pada Rabu siang, 20 Juli. Di atasnya terpampang plakat besar bertuliskan ‘Resosiliasi/Rehabilitasi’. 

Namun, peserta yang ikut program rehabilitasi ini adalah para perempuan yang saban hari menghuni kawasan resos Argorejo yang dikenal sebagai lokalisasi Sunan Kuning.

“Kalau malam, mereka melayani tamu-tamunya. Tapi kalau pagi atau siang wajib ikut semua program rehabilitasi demi masa depan mereka,” ujar Suwandi, Ketua Resos Argorejo ‘Sunan Kuning’ kepada Rappler.

Tak heran, peserta penyuluhan kebanyakan memakai rok pendek di atas lutut dengan baju ketat. Hal itu terlihat saat seorang petugas Dinas Sosial (Dinsos) memberikan pemahaman kepada perempuan di dalam aula. 

“Mbak-mbak harus sadar apa saja bahayanya jika kita tertular penyakit kelamin. Harus segera diobati agar tidak membahayakan diri sendiri,” kata penyuluh kesehatan itu.

Beberapa perempuan menganggukan kepala seraya membisikan sesuatu kepada temannya. Bagi Suwandi, penyuluhan kesehatan itu penting diikuti anak asuhnya. Sebab, tak selamanya mereka bisa tinggal di resos. 

“Sunan Kuning merupakan tempat yang berbeda dengan lokalisasi lainnya. Kita di sini juga mengentaskan PSK agar mereka dapat hidup lebih baik suatu hari nanti, dan tidak lagi bergelimang dosa,” akunya.

Pilot project pengentasan PSK di Asia Tenggara

Sejak beroperasi melayani bisnis esek-esek, pengelola resos tetap memperbolehkan petugas Dinsos dan KPAI masuk ke dalamnya untuk memberikan beragam pelatihan, penyuluhan, dan tentunya motivasi hidup layak pada masa mendatang.

Dinsos setiap bulan memberi pelatihan kewirausahaan bagi para pekerja seks. Ada pelatihan memasak, membuat roti serta menjahit pakaian.

“Sejak beroperasi pada 1966 silam sampai sekarang, berbagai pelatihan tak pernah berhenti diberikan buat anak asuh di sini. Dan Allhamdullilah, Sunan Kuning jadi percontohan lokalisasi berbasis resosiliasi di Asia Tenggara yang punya manfaat memperbaiki harkat dan martabat pekerja seks,” katanya.

Ia pun telah menanggalkan embel-embel pekerja seks bagi penghuni resos dan menggantinya dengan sebutan anak asuh. “Anak asuh lebih terhormat daripada pekerja seks,” jelasnya.

KPAI, lanjutnya, selama ini terlibat aktif dalam meningkatkan kesadaran akan bahaya hubungan seks tanpa kondom. Alhasil, rangkaian panjang penyuluhan program ‘seks aman’ pun perlahan mulai membuahkan hasil.

Pada tahun ini, misalnya, ia dengan bangga mengatakan angka penularan penyakit raja singa alias GO telah turun drastis hingga melampaui target yang diberikan pemerintah pusat.

“Turun 16,1 persen,” bebernya, seraya menambahkan bahwa untuk angka penularan HIV/AIDS, kini juga berangsur turun.

“Kita bahkan dalam setahun tak pernah menemukan kasus HIV/AIDS di resos. Saya bangga akan hal itu,” paparnya lagi.

Memulangkan PSK rentan penyakit

Baru-baru ini, Suwandi membuat heboh warga resos yang notabene sebagian masih bergulat dalam dunia malam. Ia memulangkan 150 pekerja seks asal Jawa Barat sekaligus. Hal itu dia lakukan untuk memupus anggapan bahwa Sunan Kuning rentan penyakit menular.

“Kita pulangkan (PSK Jabar) karena disinyalir biang penyakit. Kita enggak mau ada satu dua wanita justru menggagalkan program pengentasan yang sedang digalakkan selama ini,” katanya.

PSK dari Bandung, Indramayu, Banten hingga Jakarta, menurut Suwandi, sejak dulu sulit mematuhi aturan sosial. “Soalnya, disuruh nabung enggak mau. Dikasih pelatihan usaha tidak ikut. Ada screening penyakit kelamin juga tidak datang,” keluhnya.

Dengan memulangkan mereka, maka jumlah anak asuhnya kini tinggal 400 orang dari semula 550 orang. “Kita benar-benar ingin mengurangi PSK sehingga tahun depan semoga resos bebas dari PSK dan menjadi lembaga resos yang memadukan peran warga dan bekas PSK sebagai motor kesejahteraan sosial,” imbuhnya.

Dengan kata lain, ia ingin mengentaskan 30-40 persen pekerja seks tiap tahun agar dapat berwirausaha mandiri. Untuk ratusan wismanya nanti diubah jadi pertokoan.

ST, seorang PSK, bercerita bahwa ia nyaman tinggal di Sunan Kuning. Tak pernah ada gesekan horizontal antar pekerja seks, katanya.

“Penyuluhan kesehatan kayak gini saya tetap ikutlah. Biar kita tetap harmonis dengan ketua resos,” ujar ST.

Satu PSK berhasil ‘mencium Kabah’

Kegiatan pengentasan PSK yang telah digalakan sejak puluhan tahun rupa-rupanya mulai membuahkan hasil. Ni’Mah, yang dulu bergelimang dosa, sejak dua tahun belakangan dikabarkan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

“Iya, memang benar saya telah berhaji. Dua kali malahan, karena lima tahun lalu saya juga sudah naik haji, meski berangkatnya sembunyi-sembunyi,” jelasnya.

Gelar hajah pun kini disandangnya. Ucapan syukur tak henti-hentinya keluar dari bibir wanita paruh baya ini saat ditemui Rappler pada Rabu siang. Niatnya berhaji telah terpendam sejak lama saat ia masih melayani hasrat pria hidung belang di wismanya.

“Saya bulatkan tekad naik haji biar hidup saya berubah total. Apalagi, saya sudah tua, mau sampai kapan seperti ini terus sementara anak-anak saya sudah besar semua,” kata perempuan yang kini berkecimpung di ormas Muslimat NU ini.

Ia kini telah mentas dari dunia malam dan beralih ke jalan Allah SWT demi menabung pahala di ahkirat. Lima wismanya kini dikelola kerabatnya. Tiap PSK yang tinggal di wismanya selalu ia dorong untuk menabung supaya punya bekal pulang kampung dan meninggalkan dunia hitam. – Rappler.com


Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!