Indonesia tolak hasil keputusan IPT tragedi 1965

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Indonesia tolak hasil keputusan IPT tragedi 1965
"Apa urusan dia? Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin orang lain dikte bangsa ini," ujar Luhut

JAKARTA, Indonesia – Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengeluarkan keputusan final yang menyebut pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab terhadap 10 tindak kejahatan HAM berat. Para korban serta aktivis yang menyaksikan siaran rekaman pembacaan putusan bersama bertepuk tangan mengetahui hasil sidang.

Tak hanya 9 dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut, IPT bahkan menambahkan satu kejahatan lain, yakni genosida. “Kami tak menyangka hasilnya akan sangat positif,” kata koordinator IPT 1965 Nursyahbani Kantjasungkana di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta pada Rabu, 20 Juli.

10 tindak kejahatan HAM berat yang dibacakan Ketua Hakim IPT 1965 Zak Yacoob yakni pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain dan genosida. Semua tindak kejahatan itu, katanya dilakukan kepada warga Indonesia secara sistematis, diam-diam dan meluas.

Penyerahan ke lembaga berwenang

Meski demikian, hasil keputusan IPT ini tidak memiliki dampak hukum maupun pidana. “Sifatnya lebih political shaming secara internasional saja,” kata Nursyahbani.

Dengan cara ini diharapkan petinggi dunia akan menekan Pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan permasalahan HAM yang sudah 50 tahun merundung negaranya.

Salah satu langkah yang akan dilakukan aktivis IPT 1965 adalah menyerahkan putusan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM); Komnas Perempuan; Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Kementerian Hukum dan HAM; Kementerian Luar Negeri; serta Dewan Perwakilan Rakyat.

Nursyahbani berharap rekomendasi ini dapat mendorong Kejaksaan Agung harus bertindak atas laporan Komnas HAM tahun 2012 untuk melakukan penyelidikan atas apa yang dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di tahun 1965 dan sesudahnya. “Dari penyelidikan itu jadi rekomendasi, yang kemudian bisa berujung pengadilan HAM,” kata dia.

Hal serupa juga harus dilakukan terhadap rekomendasi Komnas Perempuan tentang penyelidikan penuh oleh Pemerintah Indonesia dan juga pemberian kompensasi utuh bagi korban penyintas dari kekerasan seksual dan keluarga mereka.

Nursyahbani juga berencana mendesak Persatuan Bangsa-bangsa (PBB) untuk membahas perkara 1965 dalam sidang Dewan HAM mereka. “Kami akan minta perwakilan Dewan dari Asia, Afrika, dan negara Skandinavia yang peduli masalah HAM untuk menyampaikan hal ini,” kata dia.

Sejauh ini, dua nama yang sudah tercetus adalah Kamboja dan Norwegia. Namun, prioritas utama mereka adalah penyelesaian dengan pemerintah terlebih dulu.

Polemik permintaan maaf

Meski demikian, Menkopolhukam Luhur Binsar Panjaitan menolak hasil putusan IPT 1965.

“Apa urusan dia? Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin orang lain dikte bangsa ini,” kata dia di Istana Negara ketika dimintai komentar. Menurut dia, pemerintah memiliki cara sendiri dalam hal penyelesaian konflik 1965 ini.

Jauh sebelum hasil putusan IPT terbit, Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga menegaskan tak akan meminta maaf pada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menjadi korban pembantaian massal.

Bagaimanakah tanggapan para penyintas tragedi 1965 terhadap sikap pemerintah ini? Ternyata ada beragam suara yang muncul.

Sri Sulistyawati, seorang penyintas yang dituding sebagai anggota Gerwani dan harus menghabiskan 11 tahun di dalam penjara, menganggap pemerintah sedang ‘lempar batu sembunyi tangan.’ Pemerintah tak seharusnya meminta maaf kepada partai, tetapi ke para korban yang masih harus menanggung akibatnya.

“Pembunuhan itu hal yang biadab. Kalau memang salah, maka tunjukkan apa,” kata dia.

Legimin, penyintas lain yang menghabiskan 14 tahun sebagai tahanan politik di Pulau Buru, menyuarakan hal serupa. Menurut dia, banyak yang ditangkap tanpa ada kaitan sama sekali dengan PKI.

“Saya dulu bekerja sebagai pegawai bank di Jakarta, tiba-tiba diciduk karena tetangga saya menempelkan sesuatu beratribut PKI di rumah. Padahal saya tak ada hubungan,” kata dia. Bila tak mau meminta maaf, para korban juga menuntut supaya pelaku kejahatan duduk berdiskusi dengan mereka untuk menunjukkan apa saja kesalahan yang telah diperbuat.

Namun, Bisri bin Mohammad, korban lain, mengatakan pemerintah tak perlu meminta maaf. “Yang penting para korban direhabilitasi saja sehingga kami bisa mendapatkan hak-hak kembali,” kata dia.

Penangkapan semena-mena ini juga menjadi salah satu sorotan IPT, sebab para korban diciduk tanpa surat penangkapan. Mereka juga tidak pernah diadili untuk mendapatkan kejelasan atas apa yang mereka lakukan hingga bernasib seperti itu.-Rappler.com

Simak laporan Rappler mengenai IPT 1965:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!