Putusan IPT 1965: Dongeng Lubang Buaya hingga keterlibatan negara asing

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Putusan IPT 1965: Dongeng Lubang Buaya hingga keterlibatan negara asing
Hal-hal yang perlu kamu tahu dari hasil putusan IPT 1965: propaganda Lubang Buaya hingga keterlibatan 3 negara asing

JAKARTA, Indonesia – Putusan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 yang dibacakan pada Rabu, 20 Juli mengungkap sejumlah pelanggaran kemanusiaan yang terjadi terhadap ratusan ribu rakyat Indonesia pada zaman itu. Tak hanya 9 dakwaan yang diajukan jaksa, majelis hakim IPT bahkan menambahkan satu dakwaan baru.

Berikut hal-hal yang kamu perlu tahu tentang pelanggaran-pelanggaran tersebut:

Pembunuhan sistematis dan meluas

Dalam putusannya, Ketua Majelis Hakim IPT Zak Yacoob menyebutkan ada pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, penyiksaan, penghilangan paksa, hingga genosida. Semuanya dilakukan dengan sistematis.

“Berdasarkan dokumen yang diserahkan saksi, ahli, dan jaksa, terbukti adanya komando dari pusat yang menyeluruh hingga ke level-level bawah (daerah),” kata Yacoob. Komando ini sendiri turun dari jenderal militer yang tengah berkuasa saat itu, Suharto.

Hakim asal Afrika Selatan ini juga menyoroti identitas para korban. Selama ini, pemerintah terus menekankan kalau pembantaian massal tersebut merupakan upaya untuk menggagalkan makar dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa G30S/PKI, di mana 7 jenderal menjadi korban, juga kerap disebut sebagai pemicu.

Faktanya, majelis hakim menemukan kalau korban telah sangat meluas. “Tidak diarahkan ke orang-orang tertentu, tetapi meluas,” kata dia.

Selain anggota PKI atau organisasi sayapnya, banyak korban penangkapan maupun pembunuhan belakangan diketahui merupakan simpatisan Presiden Sukarno, anggota Partai Nasional Indonesia, maupun Partindo. Yacoob menyatakan ada indikasi kalau peristiwa pembantaian ini memiliki motif politik.

Salah satu penyintas, Sri Sulistyawati membenarkan hal tersebut. Ia harus menghabiskan 11 tahun di penjara lantaran dituduh sebagai anggota Gerwani, salah satu sayap PKI. Nyatanya, ia adalah seorang loyalis Sukarno dan tidak telribat dalam organisasi tersebut.

Dalam wawancara terpisah, Sri mengatakan ia sempat ditanyai tentang peristiwa Lubang Buaya. Padahal, dia tidak tahu lokasi tempat tersebut.

Korban lain, Legimin, yang juga tak terlibat dalam PKI atau organisasi lainnya ikut diangkut karena tetangganya menempelkan atribut komunis di dinding rumahnya. “Kalau tidak ya ada motif sakit hati, ada yang mendompleng,” kata dia.

Demikian juga sastrawan Martin Aleida, yang ditahan karena media tempat ia bekerja sebagai jurnalis dicap sebagai corong partai merah. “Banyak tentara itu tidak mengerti,” kata dia.

Salah satu jaksa, Bahrain, mengatakan komando yang sumir juga turut berperan dalam pembantaian terbesar dalam sejarah bangsa Indonesia ini. Saat itu, tidak ada instruksi jelas tentang bagaimana memperlakukan para anggota PKI dan lain-lainnya.

“Tidak jelas, seperti kalau misalkan ‘amankan’, apakah hanya ditahan atau dibunuh?” kata dia. Situasi yang serba spekulatif seperti ini akhirnya dimanfaatkan segelintir pihak untuk kepentingan tertentu.

Propaganda palsu

Yacoob juga menyebutkan propaganda palsu dan masif oleh pemerintah terhadap anggota PKI saat itu. “Peristiwa Lubang Buaya itu propaganda,” kata dia.

Hal ini juga disambut oleh Martin Aleida, yang mengatakan peristiwa tersebut palsu. Salah satu contohnya adalah kisah Gerwani yang menari-nari dan menyilet kemaluan para jenderal sebelum dibunuh.

“Mana ada Gerwani yang seperti itu. Tentara saat itu menginterogasi anak usia 13 tahun, mana bisa usia segitu masuk Gerwani,” kata dia. Belum lagi, stigma seperti ‘cap Gerwani’ dan lain-lain.

Bahrain juga menyoroti soal hasil otopsi jenasah 7 jenderal. “Bekas tembakan memang ada, tetapi yang lainnya? Apa hasil otopsi pernah diumumkan?” kata dia.

Pemerintah perlu menginvestigasi ulang, dan memaparkan secara jujur tentang apa yang terjadi pada malam naas tersebut. Apakah memang para jenderal tewas di tangan PKI, atau ada pihak lain yang sengaja menimpakan kesalahan.

Yacoob mengatakan stigma dan propaganda ini berdampak pada para penyintas. Mereka mendapatkan tanda khusus sebagai eks-tapol, yang berujung pada kesulitan mendapatkan pekerjaan. Tak hanya mereka, keluarga dan kerabat juga ikut terseret.

Belum lagi terhadap kaum perempuan. Ujaran kebencian terhadap Gerwani saat itu sekaligus menghilangkan nilai kemanusiaan, yang berujung pada legitimasi kekerasan seksual. “Bahkan menihilkan keadilan bagi penyintas,” kata dia.

Keterlibatan asing

Yacoob menyebut Amerika, Inggris, dan Australia terlibat dalam pembantaian ini. Negeri Paman Sam memberi dukungan kepada militer Indonesia, tanpa mengindahkan fakta adanya pembunuhan massal atas anggota atau simpatisan PKI dan keluarganya. 

“Bukti paling jelas adalah mereka merilis daftar nama pejabat PKI yang memudahkan penangkapan atau pembantaian atas nama-nama tersebut,” kata Yacoob. 

Sementara Inggris dan Australia disebut melakukan kampanye propaganda palsu yang terus berulang, meskipun terjadi pembunuhan massal secara terang.  “Pemerintah negara-negara ini padahal tahu lewat jalur diplomatik dan laporan media,” kata Yacoob.

Beberapa contoh yang dimaksud adalah laporan harian The Age (Melbourne) pada Januari 1966 oleh Robert Macklin.

“Kami melihat empat desa di mana semua lelaki dewasa telah dibunuh. Kami melihat kuburan massal di mana dalam tiap kuburan itu dipenuhi sampai 10 komunis laki-laki dan perempuan setelah mereka ditusuk hingga meninggal,” tulisnya, yang menyaksikan pembantaian dengan istrinya.

Pada 4 Maret 1966, The Boston Globe menerbitkan sebuah komentar oleh wartawan terkenal Joseph Kraft: “Indonesia, negara terpadat kelima di dunia, telah menjadi ajang pembunuhan skala besar yang terus belanjut –sekitar 300.000 orang dibunuh sejak November tapi di sini, pembantaian itu tidak membangkitkan perhatian.” 

Pada April 1966 kepala koresponden asing The New York Times, C. L. Sulzberger, mengatakan pembunuhan di Indonesia sebagai “salah satu pembantaian paling kejam dalam sejarah,” menyaingi pembantaian “Armenia oleh Turki, kelaparan di Kulaks oleh Stalin, genosida kaum Yahudi oleh Hitler, pembunuhan Muslim-Hindu yang mengikuti pembagian India, pembersihan besar-besaran setelah Komunisasi di Tiongkok” dalam hal skala dan kebiadaban.

Laporan lainnya dibuat oleh wartawan senior Amerika Seymour Topping di koran yang sama pada Agustus 1966. Ia mengamati bahwa “eksekusi biasanya dilakukan oleh militer di Jawa Tengah dan Bali dan bahwa masyarakat di Jawa Tengah dan Bali dihasut oleh tentara dan polisi untuk membunuh.”

Bahrain mengatakan ada indikasi kepentingan politik dari Inggris dan Amerika Serikat pada saat itu, namun ia enggan membeberkan detailnya. “Australia (ikut terlibat) karena ia sekutu Amerika,” ujarnya.

Selama persidangan IPT, negara-negara yang disebutkan – termasuk pemerintah Indonesia -tidak ada yang hadir. “Meski sudah kami undang,” kata Yacoob.

Terhadap fakta ini, Nursyahbani mengatakan kalau IPT 1965 tidak hanya mengharapkan permintaan maaf. “Lebih dari itu, kami juga menginginkan pertanggungjawaban hukum,” kata dia.

Rekomendasi

IPT memberikan tiga rekomendasi dari hasil putusan pengadilan rakyat ini:

Pertama, pemerintah Indonesia agar segera dan tanpa pengecualian meminta maaf pada semua korban, penyintas dan keluarga mereka atas tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara dan tindakan kejahatan lainnya yang dilakukan negara terkait peristiwa 1965.

Kedua, menyelidiki dan menuntut semua pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

Ketiga, memastikan akan adanya kompensasi yang setimpal dan upaya ganti rugi bagi semua korban dan penyintas. -Rappler.com

Simak laporan Rappler mengenai IPT 1965:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!