Kisah Yusuf Adirima, mantan jihadis yang meniti jalan jadi pebisnis

Ari Susanto

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Kisah Yusuf Adirima, mantan jihadis yang meniti jalan jadi pebisnis
Ucup melakukan langkah deradikalisasi yang nyata dengan mengajak mantan napi kasus terorisme untuk berwirusaha.

SOLO, Indonesia – Machmudi Haryono alias Yusuf Adirima, atau biasa disapa Ucup, terlihat sibuk menyiapkan warung makan bistik. Pagi itu adalah pekan awal warung buka setelah hampir sepekan libur pasca-Lebaran.

Warung dengan menu spesial iga bakar yang terletak di tengah Kota Solo itu nyaris tak pernah sepi. Sejak dibuka pukul 11.00, pembeli hilir mudik sejak jam makan siang hingga pukul 21.00. 

Bahkan, selama bulan Ramadan, pengunjungnya membludak dan harus rela antre pada jam buka puasa. Hingga hari Lebaran, warung Ucup tetap ramai. Pada hari biasa, selain melayani pengunjung yang makan di tempat, Ucup juga melayani pesanan nasi kotak untuk seminar dan rapat.

Dalam waktu 4 tahun, bisnis kulinernya kini berkembang di Solo. Bahkan, dari usaha itu, Ucup bisa mengangsur cicilan tiga unit mobil yang kini digunakan untuk mengembangkan bisnis rental mobil di Semarang. 

Ucup merupakan contoh nyata mantan jihadis yang sudah kembali ke masyarakat. Pada tahun 2000 an, Ucup adalah seorang kombatan yang mengikuti pelatihan di Kamp Hudaibiyah di Filipina selatan selama hampir tiga tahun. Pengikut Jamaah Islamiyah itu konon dikenal lebih piawai dari anggota militer dalam menggunakan senapan tempur jenis M16.

“Di sana, M16 tak boleh dilepas atau ditaruh. Makan, salat, tidur, harus tetap menyandang senjata. Sekarang pegang panci, piring, kadang-kadang setir,” kata Ucup berkelakar.

Bom Sri Rejeki

Setelah kembali ke Indonesia, Ucup terlibat dalam kasus Bom Sri Rejeki. Ia ditangkap Densus dan Polda Jawa Tengah dalam operasi penggrebekan di sebuah rumah kontrakan di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII, Semarang, pada pertengahan 2003. Ia ditangkap bersama tiga orang rekannya serumah yang sama-sama berasal dari Jawa Timur. Mereka adalah Joko Ardianto, Suyatno, dan Siswanto. 

Ketiganya kedapatan menyimpan 26 bom rakitan dan amunisi yang menurut pengadilan berbobot lebih dari 60 kilogram. Ahli dari kepolisian memperkirakan daya ledaknya dua kali dari Bom Bali. Bahan peledak untuk bom rakitan itu milik Musthofa alias Abu Tholut, tersangka dalang Bom JW Marriot 2003 yang lebih dulu ditangkap di Bekasi dan diganjar 7 tahun pidana. Dalam pengakuannya, mantan panglima JI Wilayah Sulawesi itu menyebut gudang bomnya berada di Semarang.

Pengadilan menjatuhkan vonis bagi Ucup dan kawan-kawan 10 tahun penjara, tetapi hanya menjalani hukuman 5 tahun 6 bulan karena berkali-kali mendapat remisi. Ia bebas bersyarat pada 2009, namun untuk kembali hidup normal bukan hal mudah.

Stigma eks-teroris yang disandang Ucup masih sulit dihilangkan. Ia sempat ikut kerja di sebuah rumah makan bebek goreng di Semarang, tetapi dipecat oleh bosnya karena ia adalah mantan napi kasus terorisme. Alasannya sederhana, Ucup sering libur kerja karena harus bolak-balik Semarang-Surabaya untuk sekadar lapor ke Polda Jawa Timur.

Memilih berwirausaha

Setelah bingung mencari pekerjaan, Ucup mempertimbangkan untuk mengelola usaha sendiri. Beruntung ia bertemu lagi dengan Noor Huda Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, sebuah lembaga penelitian tentang terorisme, yang pernah mengunjunginya di penjara Kedung Pane, Semarang. Huda yang juga berasal dari Semarang menawari Ucup usaha dan yayasannya akan membantu mencarikan pinjaman modal.

Pengalamannya bekerja di bisnis kuliner membuat Ucup yakin usahanya akan berkembang. Ia sudah belajar banyak tentang bisnis ini dari soal memasak, pengadaan bahan baku, promosi, peluang pasar, hingga pembukuan. Ia mengaku berbisnis bukan hal mudah, apalagi bagi mantan jihadis yang sebelumnya sama sekali tak kenal dunia usaha.

“Tidak sedikit kawan-kawan satu alumni (jaringan jihadis-red) gagal karena kurang berusaha maksimal. Bisnis itu juga jihad, harus bersungguh-sungguh,” ujar Ucup. 

Huda menyewakan tempat, dan mengajukan kredit barang modal untuk membuka warung makan bistik di Semarang. Bisnis ini dikelola empat orang – dua di antaranya mantan jihadis – dengan sistem bagi hasil.

BISNIS KULINER. Tampilan depan Dapoer Bistik Solo yang dikelola oleh Ucup dengan tiga rekannya yang berlokasi di Solo. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

“Salah satu pelanggan setia nasi kotak adalah Polda Jateng, setiap hari pesan banyak, karena saya kenal polisi-polisi di sana sejak jadi tahanan,” kata Ucup.

Ucup kemudian membuka cabang di Solo pada tahun kedua. Sayangnya, di saat yang sama, usahanya pecah kongsi. Kawan-kawannya berpisah karena ingin punya usaha sendiri-sendiri.

Sementara, Ucup sudah terlanjur membuka bisnis rental mobil. Karena tak ada yang mengelola, warung di Semarang terpaksa ditutup. Ia memilih mempertahankan Solo karena selain pasarnya dianggap lebih prospektif, ia juga memiliki banyak teman sesama jaringan mantan jihadis yang ikut membantu bisnisnya, terutama dalam promosi dan pemasaran.

“Saya tinggal datang dan buka warung saja di sini, pemasaran, promosi, penyebaran brosur dilakukan kawan-kawan,” kata Ucup.

Daya tarik bisnis

Kesuksesan bisnis kuliner Ucup dengan omzet harian Rp 3,5 hingga 4 juta – belum termasuk rental mobilnya –  membuat para mantan jihadis tertarik menekuni dunia usaha. Ada yang punya bisnis barang rongsokan di Karanganyar dan sudah bisa membeli mobil pick-up sendiri dari usaha menjual sampah daur ulang. Ada pula yang membuka warung masakan padang di Ngruki.

Ucup pernah menyediakan bisnis bakery untuk para mantan jihadis ini. Tetapi, hingga kini belum berkembang karena butuh pengelolaan yang lebih serius dan orang yang pantang menyerah. 

Mengajak mereka berbisnis, kata Ucup, gampang-gampang susah. Gampang karena mereka sangat tertarik dengan kehidupan ekonomi yang mapan setelah bebas dari tahanan, namun menjadi susah jika mereka tak ulet dan sabar menjalankan usaha.

“Banyak sekali yang menghubungi saya, minta dicarikan pemodal atau diajari usaha, tetapi malu ketemu. Mereka takut keluar dari jaringan dan gabung jadi pebisnis yang dituduh dibiayai Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” ujar Ucup.

“Padahal saya sama sekali belum pernah menerima bantuan modal dari BNPT. Justru saat ini saya ingin minta BNPT untuk meluaskan bisnis ini,” katanya lagi.

Menurut Ucup, selama ini program deradikalisasi BNPT kurang efektif karena hanya memberikan bantuan modal ke beberapa eks-jihadis, tetapi tidak memberikan pelatihan kewirausahaan yang memadai. Misalnya, lembaga anti-teror itu hanya memberi mesin jahit, tetapi tidak mengajari menggunakannya untuk berproduksi, atau mencarikan pasar.

Faktor ekonomi, kata Ucup, adalah salah satu pendorong orang-orang yang menganggur atau memiliki keterbelakangan ekonomi berubah menjadi radikal, jatuh dalam keputusasaan, melakukan amaliyah (aksi) dengan menjadi “pengantin” bom bunuh diri dengan harapan surga dan bidadari.

“BNPT seharusnya serius memberi bantuan dan mengawal bisnis kawan-kawan agar tak bubar jalan dan kembali ke jaringan atau gabung ke Suriah,” kata Ucup.

Tempat bersua eks-narapidana

Warung makan Ucup di Solo kini juga menjadi tempat sejumlah eks-narapidana kasus terorisme untuk bertemu dan memperbincangkan nasib mereka setelah keluar tahanan. Mereka adalah orang-orang yang sudah insyaf dan ingin membangun masa depan keluarganya.

Beberapa yang keluar tahanan ada yang menikah, ada pula yang berpoligami, dan ada pula yang menikahi janda beranak banyak. Mereka baru merasakan jika berani hidup lebih menantang daripada berani mati. Sebab, hidup ternyata penuh tanggung jawab dan harus menghidupi keluarga.

Mantan jihadis dan alumni JI dari Poso, Moro, dan Aceh itu adalah orang-orang yang tidak setuju dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Menurut mereka ISIS yang mengklaim sebagai daulah atau khalifah Islamiyah itu melanggar prinsip jihad, salah satunya karena menganggap muslim yang tidak mendukung IS sebagai murtad-kafir yang darahnya halal ditumpahkan.

Meskipun demikian, kata Ucup, masih ada orang yang tetap menaruh curiga terhadap mereka, termasuk terhadap dirinya. Ia pernah disebut sedang berbisnis sambil menunggu waktu tepat untuk melakukan amaliyah, meledakan bom, melanjutkan misinya yang tertunda. 

TAGLINE. Salah satu tagline yang menjadi pengingat Ucup untuk memilih jalan sebagai pebisnis usai keluar dari penjara akibat kasus terorisme. Dia ingin menciptakan perdamaian melalui makanan. Foto oleh Ari Susanto/Rappler

“Saya sudah tujuh tahun membuktikan, banyak polisi, orang BNPT, kenal saya. Mereka tahu rumah saya, nomor polisi kendaraan saya, dan bisnis saya,” katanya.

“Sebaliknya, justru saya bisa mengajak kawan-kawan jihadis ini kembali ke kehidupan normal, membuka komunikasi, menjembatani mereka. Saya lebih didengar karena kami pernah berada di kehidupan yang sama,” ujarnya lagi.

Apa yang dikatakan Ucup ada benarnya. Siang itu, mobil perwakilan BNPT berhenti di depan warungnya. Ini kunjungan pertama kalinya di warung bistik itu.

Tak lama kemudian, satu per satu mantan jihadis yang juga kawan-kawan Ucup di Solo berdatangan. Mereka sebelumnya meminta Ucup agar mempertemukannya dengan wakil BNPT dari Jakarta untuk mengajukan bantuan modal usaha. 

“Saya hanya memfasilitasi pertemuan mereka, menyediakan tempat, karena mereka percaya (kepada) saya,” ujar Ucup. 

Secara langsung Ucup sudah terlibat dalam upaya deradikalisasi. Ia sering mengunjungi penjara-penjara tempat para jihadis ditahan dan mengajak mereka untuk kembali ke kehidupan normal. 

Bahkan, ia juga pernah memberikan keterampilan memasak dan kuliner kepada 16 tahanan kasus terorisme, memberikan mereka pilihan mencari nafkah jika mereka kelak keluar bui. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!