Aturan penggunaan pengeras suara untuk masjid versi pemerintah

Rappler.com

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Aturan penggunaan pengeras suara untuk masjid versi pemerintah
Dari tuntunan Nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muadzin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

JAKARTA, Indonesia – Gara-gara ada warga yang protes kerasnya suara dari sebuah masjid di Tanjung Balai, Sumatera Utara, terjadi kerusuhan yang memicu pengrusakan sejumlah rumah ibadah, pada Sabtu, 30 Juli, akhir pekan lalu. 

Tidak ada korban jiwa dalam insiden ini.

Protes terkait dengan pengeras suara di rumah ibadah bukan terjadi kali ini saja. Tahun lalu, menjelang bulan puasa Ramadan, Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta ada fatwa yang mengatur penggunaan pengeras suara di masjid. 

Dalam pidato pembukaan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia di Pondok Pesantren Attauhidiyah, Tegal, Jawa Tengah, pada 8 Juni 2015 lalu, Kalla mengangkat permasalahan penggunaan pengeras suara masjid yang, menurutnya, terkadang semena-mena.

Menurutnya pria yang akrab disapa JK itu, pemutaran kaset pengajian menjelang waktu salat melahirkan “polusi suara”.  

Lalu, sebenarnya bagaimana aturan pengeras suara di masjid, langgar, dan musala?

Direktorat Jenderal Bidang Masyarakat Islam, Kementerian Agama, telah mengeluarkan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala. 

Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau musalla. 

Berikut adalah aturan-aturannya:

1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muadzin, imam salat, pembaca Al-Qur’an, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat. Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah, atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali adzan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang, bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan Nabi, suara adzan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muadzin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Sebagaimana dimuat dalam situs resmi Kementerian Agama, instruksi tersebut juga mengatur tata cara pemasangan pengeras suara baik suara saat salat lima waktu, salat Jumat, juga saat takbir, tarhim, dan selama Ramadan.

Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam pada 1978 itu juga memuat aturan cukup teknis. Misalnya, yang dimaksud dengan pengeras suara adalah:

“Perlengkapan teknik yang terdiri dari mikrofon, amplifier, loud speaker, dan kabel-kabel tempat mengalirnya arus listrik”.

Di dalam lampiran instruksi tersebut juga disebutkan bahwa:

“Syarat-syarat penggunaan pengeras suara antara lain adalah tidak boleh terlalu meninggikan suara do’a, dzikir, dan salat”.

Lebih lanjut dalam lampiran tersebut dikatakan juga bahwa:

“Pada dasarnya, suara yang disalurkan ke luar masjid hanyalah adzan sebagai tanda telah tiba waktu salat”.

Aturan penggunaan pengeras suara masjid pada waktu tertentu secara terperinci adalah sebagai berikut:
 
A. Waktu Subuh

  • Untuk membangunkan kaum Muslimin yang masih tidur, membersihkan diri, untuk persiapan kaum Muslimin dalam menunaikan salat subuh dana lainnya. Pengeras suara boleh dipergunakan selama 15 menit sebelum waktu salat subuh untuk pelaksanaan kegiatan-kegiatan lainnya.
  • Kegiatan membaca Al-Qur’an bisa menggunakan alat pengeras suara keluar. Dan tidak diperbolehkan untuk menyalurkannya ke dalam karena akan mengganggu orang yang sedang beribadah di dalam masjid.
  • Pengeras suara digunakan ketika adzan subuh dan diarahkan ke luar masjid.
  • Pelaksanaan salat subuh, pelaksanaan kegiatan kuliah subuh dan yang lainnya bisa menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama’ah) dan hanya ke dalam saja.

B. Waktu dzuhur dan salat Jumat

  • Diperbolehkan mempergunakan pengeras suara, diisi dengan bacaan Al-Qur’an, 15 menit menjelang waktu dzuhur dan salah Jumat, ditujukan ke luar.
  • Mempergunakan pengeras suara bilamana adzan apa bila telah tiba waktunya.
  • Pembacaan bacan-bacaan, pembacaan do’a, pembacaan pengumuman, khutbah Jumat dan lain-lain mempergunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

C. Ashar, maghrib, dan isya

  • Menggunakan pengeras suara keluar untuk pembacaan Al-Qur’an, 5 menit sebelum adzan. 
  • Ketika waktu salat tiba, muadzin melakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
  • Setelah pelaksanaan adzan, kegiatan menggunakan pengeras suara ke dalam, sebagaimana waktu yang lainnya.

D. Takbir, tarhim, dan Ramadan

  • Kegiatan takbir hari raya Idulfitri, takbir hari raya Iduladha dilakukan dengan menggunakan pengeras suara ke luar.
  • Kegiatan tarhim yang berupa do’a boleh menggunakan pengeras suara ke dalam. Sedangkan pelaksanaan tarhim dzikir tidak boleh menggunakan pengeras suara.
  • Pada hari-hari di bulan Ramadan, baik siang maupun malam pelaksanaan kegiatan tadarus Al-Qur’an menggunakan pengeras suara ke dalam.

E. Upacara hari besar Islam dan pengajian

  • Pelaksanaan tabligh/pengajian rutin menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam dan tidak untuk ke luar, terkecuali acara tabligh atau pengajian dalam peringatan hari besar Islam menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke luar. 

Aturan di atas hanya mengatur pedoman dasar penggunaan pengeras suara masjid, tanpa ada ketentuan saksi di dalamnya. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!