DPR Papua kecewa dengan Pemda dan Polda Yogyakarta

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

DPR Papua kecewa dengan Pemda dan Polda Yogyakarta
'Tolong jaga rakyat saya baik-baik, sebagaimana saya menjaga rakyat anda di Papua'

JAKARTA, Indonesia – Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPR Papua) mengatakan kecewa dengan pemerintah dan kepolisian daerah Yogyakarta yang tidak mau menjamin keamanan dan keselamatan mahasiswa Papua di Yogyakarta dan daerah sekitarnya.

“Sultan (Hamengkubuwono X) bersedia memberikan jaminan tetapi dengan syarat mahasiswa Papua tidak boleh melakukan demonstrasi menuntut referendum kemerdekaan,” kata Laurenzus Kadepa, anggota DPR Papua dari Partai Nasional Demokrat (NasDem), kepada Rappler pada Senin, 8 Agustus.

Laurenzus dan lima anggota Komisi I DPR Papua yang lain melakukan kunjunngan kerja ke Yogyakarta dari 26 sampai 28 Juli untuk menginvestigasi perisitiwa pengepungan asrama Papua dan diskriminasi rasial terhadap mahasiswa Papua di Yogyakarta pada pertengahan Juli lalu.  

Pada saat anggota Komisi I lain kembali ke Jayapura, Laurenzus memutuskan untuk tinggal beberapa hari lagi di Yogyakarta. Pada Jumat, 29 Juli, politisi NasDem itu berhasil memfasilitasi pertemuan antara Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur Yogyakarta dengan 6 wakil mahasiswa Papua.

Dalam pertemuan tersebut, mahasiswa Papua meminta Sultan menjelaskan komentarnya tentang gerakan separatisme dan jaminan tertulis akan keselamatan dan keamanan mahasiswa Papua di Yogyakarta. Sultan berjanji terbitkan surat jaminan, tetapi mahasiswa Papua menolak persyaratan yang diminta Sultan.

Sebelumnya, pada Rabu, 27 Juli, delegasi DPR Papua bertemu dengan pimpinan Kepolisian Daerah Yogyakarta. Dalam pertemuan tersebut, Laurenzus dan lima anggota Komisi I DPR Papua yang lain, menyampaikan aspirasi yang sama, tetapi Polda Yogyakarta, menurut Laurenzus, juga menolak memberi jaminan.

“Bahkan pimpinan Polda Yogyakarta menyangkal keterlibatan anggota mereka dalam pengepungan asrama mahasiswa Papua,” kata Laurenzus.

Selain anggota DPR, Gubernur Papua Lukas Enembe juga mendatangi mahasiswa Papua di Asrama Kamasan I, Jalan Kusumanegara, Yogyakarta pada Rabu, 3 Agustus. Menurut Laurenzus, pada saat Gubernur Lukas memberi pengarahan kepada mahasiswa Papua, polisi menganiaya seorang mahasiswi Papua.

“Saat gubernur memberikan pengarahan kepada mahasiswa, salah seroang mahasiswi (Papua) dianiaya oleh seroang polisi. Gubernur langsung kecam: ‘Yogya belum aman buat rakyat saya. Bahkan pada saat saya berbicara kepada anak-anak saya, salah satu dari mereka babak belur dianiaya,” Laurenzus mengutip Gubernur Lukas berkata. 

“Kami (DPR Papua) kecewa dengan perlakukan dan tanggapan Pemerintah dan Polda Yogyakarta  terhadap kasus ini,” lanjut Laurenzus.

Dengan tidak adanya jaminan keamanan dan keselematan, kata Laurenzus, mahasiswa Papua sekarang mengambil sikap wait and see apa yang terjadi berikutnya sebelum mengambil keputusan, termasuk apakah mereka perlu kembali ke Papua.

“Sekarang, mahasiswa menunggu seperti apa kondisi ke depannya. Kami anggota DPR Papua menilai tidak ada kepastian keselamatan mahasiswa dan masyarakat Papua di Yogyakarta tetapi kami serahkan semua kepada mahasiswa sendiri untuk mengambil keputusan,” kata Laurenzus.

Ratusan aparat kepolisian, lengkap dengan senjata dan water canon, mengepung asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta dari tanggal 13 sampai 15 Juli lalu. Dalam peristiwa tersebut, sempat terjadi aksi saling mendorong antara mahasiswa dan polisi di depan asrama sebelum polisi berhasil mendorong mahasiswa ke dalam asrama mereka.

Dalam sebuah video yang sempat menjadi viral, seorang mahasiswa Papua ditangkap dan diikat, bahkan diinjak di kepalanya, oleh beberapa anggota lembaga swadaya masyarakat yang ikut memblokir asrama mahasiswa Papua tersebut. Beberapa anggota LSM juga diberitakan melakukan razia terhadap mahasiswa Papua.

Saat ini, ada sekitar 7.000 mahasiswa Papua kuliah di Yogyakarta dan daerah sekitarnya. Beberapa di antara mendapat beasiswa dari pemerintah daerah, tetapi sebagian besar kuliah atas biaya sendiri. 

Polisi tidak pernah menjelaskan secara terbuka alasan pengepungan asrama tetapi diduga berkaitan dengan pertemuan tingkat tinggi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG) di Honiara, Kepulauan Solomon, di mana United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dijadwalkan diterima sebagai anggota penuh organisasi antar pemerintah Melanesia tersebut. MSG memutuskan menunda keputusan mengenai ULMWP sampai pertemuan berikutnya pada September atau Oktober 2016.

Laurenzus mengingatkan keengganan pemerintah dan Polda Yogyakarta untuk menjamin keselamatan mahasiswa Papua bisa membuka peluang konflik yang lebih besar di Yogyakarta dan Papua.

“BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Papua dan Papua Barat sedang melakukan konsolidasi untuk mencari jalan bagaimana memulangkan mahasiswa non-Papua bila mahasiswa Papua di Yogyakarta (dan kota lain di Indonesia) memutuskan untuk kembali ke Papua,” katanya.

Laurenzus juga mengatakan pihaknya telah menyampaikan ke Sultan sikap DPR Papua untuk melindungi warga asal Yogyakarta di Papua.

“Saya bilang, di Papua, tidak sedikit orang Yogya tinggal dan mencari nafkah di sana. Mereka hidup dan beranak cucu tetapi orang Papua tidak mempertanyakan keberadaan mereka. Tolong jaga rakyat saya baik-baik, sebagaimana saya menjaga rakyat anda di Papua,” kata Laurenzus. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!