Pro dan kontra program penambahan jam sekolah

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pro dan kontra program penambahan jam sekolah

ANTARA FOTO

"Saya lakukan demi generasi bangsa yang lebih bagus. Kalau ini masih belum bisa saya akan cari pendekatan lain."

JAKARTA, Indonesia – Nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi ramai diperbincangkan masyarakat lantaran rencananya menambah jam belajar di sekolah hingga pukul 4 sore. Ide ini menimbulkan reaksi yang rata-rata menolak.

“Sebenarnya ini masih ide saja,” kata Muhadjir saat berbincang dengan wartawan di Jakarta pada Selasa, 9 Agustus 2016. Namun, ia tetap memantau reaksi masyarakat untuk dijadikan bahan pertimbangan.

Landasan ide

Muhadjir, yang baru dua pekan menggantikan Anies Baswedan, mengatakan ide penambahan jam ia dapatkan dari Nawacita. “Saya ini kan pembantu presiden, harus laksanakan visi presiden. Programnya tertuang di Nawacita,” kata dia.

Salah satunya adalah pendidikan karakter dan budi pekerti, yang mencakup 80 persen. Sementara 20 persennya pengetahuan. Seluruhnya ada18 butir yang isinya seperti kepribadian, olahraga, hingga agama.

“Melihat itu saya merasa perlunya perpanjangan waktu di SD dan SMP,” kata dia. Rencananya, para pelajar akan berada di sekolah hingga pukul 16:00, atau tepat saat orang tua mereka selesai bekerja.

Muhadjir menegaskan, perpanjangan waktu ini tidak melulu diisi oleh pelajaran, melainkan pendidikan karakter, bahasa, rohani, dan lain-lain. “Kurikuler menggembirakan yang bisa merangkum tujuan 18 karakter itu,” kata dia.

Pengaruh buruk

Muhadjir ingin menjadikan sekolah sebagai rumah kedua bagi anak-anak. Cara ini diharapkan dapat menjauhkan mereka dari pengaruh buruk lantaran longgarnya penjagaan.

“Kalau orang tua belum pulang tapi anak sudah pulang sekolah, kan tidak ada yang menjaga. Daripada keluyuran ke mal, saya ingin sekolah jadi rumah kedua bagi anak-anak,” kata dia.

Selain itu, penambahan jam ini juga bisa mempermudah guru-guru mendapat sertifikasi. Mereka dimudahkan untuk memenuhi persyaratan tatap muka 24 jam dalam sepekan.

Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud Sumarna Surapranata mengatakan lembaganya tengah mempertimbangkan ekuivalensi jam pertemuan di luar kelas. “Kayak guru matematika, nanti dia tidak hanya mengajar matematika, tapi bisa jadi wali kelas,” kata dia.

Selain itu, para guru bisa juga menjadi instruktur nasional ataupun memberikan pelatihan. Ekuivalensi jam tersebut tengah dirumuskan dalam bentuk Permendikbud.

Sementara Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Disdakmen) Hamid Muhammad mengatakan tengah melirik fasilitas pendidikan lain. “Seperti misalkan les, dan kalau masyarakat punya alternatif lain yang tengah berkembang boleh- boleh seja,” kata dia.

Menurut dia, masyarakat seharusnya jangan fokus pada isu penambahan jam sekolah, tetapi penguatan pendidikan karakter anak-anak.  “Daripada waktunya diisi hal-hal yang tidak baik,” kata dia.

Mengapa sulit?

Meski demikian, Muhadjir ternyata belum melakukan kajian menyeluruh terkait penambahan jam ini. “Masih sebatas ide saja, kami lempar dulu ke masyarakat untuk tahu reaksinya, nanti setelah ini akan kami bicarakan juga dengan pakar,” kata dia.

Masih banyak hal yang harus dipertimbangkan, seperti fasilitas pendidikan. Data tahun 2015 lalu menyebutkan, sebanyak 149.552 ruang kelas SD dan SMP di seluruh Indonesia dalam keadaan rusak.

Jangan bayangkan kondisi tersebut di daerah terpencil saja. Bahkan di Jakarta pun, 48,2 persen atau 823 gedung sekolah berada dalam keadaan tidak layak pakai.

Belum lagi, permasalahan tenaga pengajar yang hingga saat ini masih kurang terutama di daerah terpencil.

Terhadap masalah ini, Muhadjir mengatakan akan meminta Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) untuk melakukan pemetaan. Selanjutnya, data yang diterima akan diolah untuk mengambil langkah selanjutnya.

“Nanti tugasnya termasuk mengatur masa depan sekolah dan mengelola program tambahan itu,” kata dia. Muhadjir menambahkan kalau ia tak keberatan bila kelak ide ini dianggap tak sesuai dan batal direalisasikan.

Menurut dia, penambahan jam sekolah ini hanya merefleksikan apa yang sudah tertuang di Nawacita. “Saya lakukan demi generasi bangsa yang lebih bagus. Kalau ini masih belum bisa saya akan cari pendekatan lain,” kata dia.

Penolakan masyarakat

Ide ini baru sebatas dilontarkan dari mulut, namun masyarakat bereaksi keras sekali. Sebuah petisi penolakan pun dibuat oleh Deddy Mahyarto Kresnoputro, berjudul “Tolak Pendidikan ‘Full Day’/Sehari Penuh di Indonesia.”

Ia mengomentari sejumlah alasan Muhadjir, dengan alternatif lain. “Terima kasih atas concern-nya bapak, tapi kalau hal ini yang perlu belajar adalah orang tuanya, untuk mengarahkan anak agar tidak terjerumus ke hal-hal yang bersifat negatif,” tulisnya.

Di negara maju, Deddy melanjutkan, sekolah-sekolah justru mengurangi waktu belajar, tidak memberikan pekerjaan rumah, dan berfokus pada pembangunan karakter. 

Saat ini, sudah ada 20.820 orang yang menandatangani petisi tersebut. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!