Menteri K Shanmugam: Kami tak membatasi warga Singapura ke Batam

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Menteri K Shanmugam: Kami tak membatasi warga Singapura ke Batam

EPA

Rencana serangan teror ke Singapura sudah diendus sejak tahun 2002 lalu. Oleh sebab itu Singapura terus meningkatkan kerja sama dengan Indonesia

BALI, Indonesia – Pemerintah Singapura mengatakan mereka tidak membatasi warganya untuk berkunjung ke Kepulauan Batam pasca rencana serangan ke Marina Sand Bay oleh kelompok Katibah Nusantara pimpinan Gigih Rahmat Dewa, berhasil diungkap oleh Polri. Alih-alih membatasi, Singapura memilih untuk meningkatkan kerja sama mereka dengan otoritas berwenang di Indonesia untuk mencegah aksi serupa bisa kembali terjadi.

“Saya pikir apa yang terjadi di Batam merupakan yurisdiksi dari otoritas di Indonesia. Tetapi, memang Batam menjadi salah satu destinasi favorit bagi warga Singapura. Kami belum ada di tahap yang membatasi pergerakan mereka menuju ke Batam,” ujar Menteri Dalam Negeri Singapura, K. Shanmugam yang ditemui Rappler usai mengikuti KTT International Meeting on Counter Terrorism (IMCT) di Nusa Dua, Bali pada Rabu, 10 Agustus.

Shanmugam mengatakan dengan saling berbagi informasi intelijen di antara otoritas kedua negara memudahkan mereka untuk menahan pelaku yang diduga berencana atau terkait tindak terorisme. Isu tersebut penting untuk dibahas, lantaran tidak ada satu pun negara yang saat ini kebal dari tindak kejahatan terorisme.

Shanmugam mengaku memperoleh pemaparan singkat dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam pertemuan bilateral Indonesia dengan Singapura. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang politik, hukum dan keamanan, Wiranto.

“Kami berdiskusi mengenai latar belakang kejadian tersebut dan membahas hal-hal yang bisa dikerjakan bersama oleh kedua negara,” tutur pria yang sebelumnya pernah menjadi Menteri Luar Negeri tersebut.

Singapura menyadari pentingnya peran Indonesia dalam mengatasi tindak teror. Sebab, jika Indonesia dalam keadaan yang tak aman, maka hal tersebut bisa turut berpengaruh kepada Negeri Singa.

“Kami juga membahas mengenai fenomena ribuan orang dari kawasan Asia Tenggara yang memutuskan untuk berperang di Timur Tengah. Kami berdiskusi bagaimana kedua negara mengatasi hal itu, jika mereka kembali ke tanah airnya? Bagaimana kedua negara bisa memonitor pergerakan mereka?,” tutur Shanmugam.

Menurut Shanmugam, kerja sama di antara kedua negara untuk membahas isu terorisme bukan satu hal yang baru. Terlebih saat ini taktik dan sifat dari tindak terorisme semakin berkembang, sehingga perlu diatasi dengan cara yang berbeda pula.

“Di sini lah konferensi semacam ini berperan untuk menyatukan orang-orang, mendiskusikan apa yang telah terjadi di kawasan Asia Tenggara terkait tindak kejahatan terorisme,” katanya lagi.

Sayangnya, Shanmugam tidak bersedia mengungkap lebih jauh informasi apa saja yang diberikan kepada Indonesia lantaran hal tersebut menyangkut hal operasional.

Belum temukan alat peledak

Densus 88 Antiteror menangkap 6 orang terduga anggota kelompok Katibah Nusantara pada Jumat, 5 Agustus di beberapa tempat yang berbeda di Kepulauan Batam. Kelompok yang dipimpin oleh Gigih Rahmat Dewa itu memiliki keterkaitan dengan Bahrun Naim, orang yang selama ini dituding menjadi dalang teror bom Jakarta.

“GRD diduga juga menjadi penerima dan penyalur dana untuk kegiatan radikalisme. GRD dan Bahrun Naim juga pernah merencanakan untuk meluncurkan roket dari Batam dengan tujuan Marina Sand Bay, Singapura,” ujar Kadiv Humas Mabes Polri, Boy Rafli Amar melalui keterangan tertulis pada Jumat, 5 Agustus.

Namun, hingga saat ini, polisi belum berhasil menemukan alat peledak dan roket yang diduga akan diluncurkan ke Negeri Singa. Personil Densus 88 masih terus menelusuri barang bukti termasuk roket tersebut.

Pihak kepolisian juga telah menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana yang disebut diperoleh dari Suriah untuk serangan teror itu. Sebab, aliran dana tersebut juga digunakan untuk memberangkatkan WNI ke Suriah dan bergabung dengan kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Bukan rencana pertama

Pengamat terorisme dari Yayasan Prasasti Perdamaian, Taufik Andrie mengatakan rencana serangan kelompok militan dari Indonesia ke Singapura sudah sejak lama diketahui. Memnurut data yang dia peroleh, rencana itu sudah ada sejak tahun 2002 lalu.

“Mereka menjadikan Singapura sebagai target, karena Negeri Singa merupakan bagian dari negara koalisi yang ikut memerangi ISIS. Dukungan yang diberikan oleh Singapura bukan dalam bentuk pengiriman pasukan, tetapi bisa berupa dana, tenaga medis dan tenaga ahli,” kata Andrie yang dihubungi Rappler melalui telepon pada Selasa, 9 Agustus.

Bahkan, di kalangan kelompok militan, ujar Andrie, Singapura kerap disebut sebagai “Israel” di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut menjadikan ancaman teror ke Singapura cukup tinggi.

Namun, Andrie juga menyoroti agar para pemimpin negara mulai mencermati perubahan pola serangan yang digunakan oleh ISIS, khususnya sejak beberapa kota yang vital di Irak dan Suriah berhasil direbut pasukan pemerintah.

“Mereka mengubah pola serangan dari ekspansi teritorial menjadi ofensif tetapi langsung mengenai jantung lawan. Salah satu caranya yakni dengan menyebar para prajuritnya ke Benua Eropa dan Afrika. Cara ini digunakan untuk melawan serangan-serangan taktis oleh lawan,” tutur Andrie memberikan penjelasan.

Selain itu, ISIS kini tidak lagi selalu menebar teror dengan menggunakan alat peledak.

“Mereka bisa menebar teror itu dengan menggunakan pisau,” katanya.

KTT IMCT ditutup secara resmi pada Rabu sore, 10 Agustus di Sofitel, Nusa Dua, Bali oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dari KTT itu dihasilkan pernyataan bersama yang disebut Denpasar Statement. – Rappler.com

BACA JUGA:

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!