Philippine basketball

Ketika mantan teroris dan korban bom bersahabat dan jadi agen perdamaian

Yuli Saputra

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Ketika mantan teroris dan korban bom bersahabat dan jadi agen perdamaian
'Dengan badannya yang besar, Mas Ali mengangkat saya sambil mengatakan, hari ini saya nambah satu saudara lagi dan itu kamu Feb'

 

BANDUNG, Indonesia – Jantung Febby Firmansyah Isran seakan berhenti berdetak ketika mendengar nama Ali Fauzi, adik teroris Amrozi, hadir di acara SAVE (Summit Against Violent Extremism) di Dublin, Irlandia, yang juga dihadirinya.  Febby yang menjadi korban bom JW Marriot 2003 silam tidak pernah menyangka akan bertemu dengan salah satu dedengkot pelaku terror di Indonesia.

Perasaannya berkecamuk antara dendam, marah, dan tertantang.  Febby merasa tertantang membuktikan janjinya sendiri untuk memaafkan teroris, meski ledakan bom telah merusak tubuhnya dan nyaris membatalkan pernikahannya.

“Dalam hati, saya berkata, lo omdo (omong doang), pencitraan mau maafin atau beneran?” ungkap Febby saat menceritakan pengalamannya di acara Talk The Peace di Pendopo Kota Bandung, Jalan Dalem Kaum pada Sabtu, 6 Agustus 2016.

Febby menjawab tantangan itu dan meminta bertemu dengan Ali Fauzi, ahli merakit bom yang juga pentolan Jamaah Islamiyah (JI).  Pertemuan mereka kemudian menjadi awal dari persahabatan yang bermakna.

Bagi Ali Fauzi, pertemuan dengan Febby adalah sebuah pukulan telak.  Hatinya seperti ditusuk-tusuk saat melihat kondisi tubuh Febby yang saat itu belum pulih benar.  Pertama kalinya, ia menyaksikan bagaimana bom hasil karya murid dan sahabatnya itu telah merusak tubuh Febby sedemikian rupa.  Saat itu, Ali hanya bisa menangis.

“Mungkin dua jam saya menangis.  Saya merangkul  Mas Febby.  Hati saya, saya gak bisa mengungkapkan, seperti ditusuk-tusuk jarum.  Saya istighfar terus.  Kalau saya bawa piring untuk nampung air mata, mungkin penuh, basah,” ujar Ali dalam kesempatan yang sama.

Melihat Ali menangis, Febby hanya terdiam membisu.  Ia sama sekali tidak mengerti apa yang membuat mantan teroris itu menangis.  Tapi perasaan berkecamuk yang ada dalam dirinya, sirna.  Ia hanya merasakan dorongan untuk memaafkan  Ali. 

“Saya mengatakan, saya sudah memaafkan dia.  Dengan badannya yang besar,  Mas Ali mengangkat saya sambil mengatakan,  hari ini saya nambah satu saudara lagi dan itu kamu Feb.  Kata-kata itu tidak pernah saya lupakan sampai saat ini,” tutur Febby

Ali merasa mendapat kekuatan kembali, ketika tanpa diminta, Febby memaafkan dirinya dan juga pelaku terror lainnya.  Kata-kata maaf itu semakin meyakinkan Ali bahwa apa yang ia dan teman-temannya lakukan itu salah.

“Di situ kemudian saya semakin punya keyakinan, apa yang dilakukan kawan-kawan sebuah kesalahan dan kekeliruan, dan tugas kita adalah meluruskan mereka,” ujar  mantan anggota teroris dari kelompok Moro Islamic Liberation Front (MILF) itu.

Jika Ali semakin mendapat kekuatan untuk bertaubat, maka Febby merasa terbebas dari perasaan dendam dan marah. Pria 39 tahun itu berhasil mengalahkan tantangan yang akhirnya berbuah nikmatnya memaafkan.

“Intinya ketika kita memaafkan seseorang, yang bahkan menyakiti hati kita ataupun mencelakai kita, itu sesuatu hal yang nilainya paling tinggi.  Memang susah, tapi ketika kita sudah melepaskan itu, percayalah, gak ada di dunia ini yang lebih nikmat daripada memaafkan seseorang.  Tapi semua itu diawali dengan cinta sesama dan perdamaian,” kata Febby.

Atas nama cinta sesama dan perdamaian pula, Ali dan Febby kemudian bersahabat dan menjadi agen perdamaian.  Ali, si teroris taubat, mengkampanyekan perdamaian  bersama Aliansi Indonesia Damai (AIDA) dan aktif menjadi pembicara yang di beberapa acara bertemakan perdamaian dan deradikalisasi.  Sedangkan, Febby semakin gencar menyerukan pesan-pesan perdamaian melalui Asosiasi Korban Bom Terorisme Indonesia (ASKOBI) yang didirikan pada 2009. Sebagai salah seorang korban aksi teror, Febby  tak menginginkan ada korban-korban lainnya.

Mereka berdua juga terlibat sebagai peacemaker di Peace Generation (PeaceGen), sebuah organisasi  yang terus mengkampanyekan perdamaian kepada generasi muda.  Oleh PeacGen, Ali dan Febby diduetkan untuk berbagi pengalaman di acara Talk The Peace, From Stranger to Partner, di hadapan puluhan anak-anak muda.  Melihat keakraban mereka yang dulu berseberangan, rasanya perdamaian sudah nampak di pelupuk mata.

PeaceGen, mencetak agen perdamaian

PeaceGen dibentuk pada 2007 oleh Irfan Amalee dan Eric Lincoln.  Sama seperti Ali dan Febby, Irfan dan Eric memiliki latar belakang yang berbeda.  Irfan seorang Indonesia muslim, sedangkan Eric seorang Amerika Kristen yang sudah 25 tahun tinggal di Indonesia.

Irfan yang mayoritas bertemu dengan Eric yang minoritas menjadi awal mula munculnya ide membentuk sebuah komunitas yang mengusung perdamaian.  Sebagai seorang minoritas, Eric pernah merasakan ketidakadilan.  Sedangkan Irfan merasakan kegelisahan karena Islam sering diidentikkan dengan agama yang penuh dengan kekerasan, padahal Islam adalah agama yang damai.

Kegelisahan itu kemudian mereka obrolkan dalam setiap kesempatan bertemu yang akhirnya mengerucut pada ide membentuk komunitas  perdamaian dengan nama Peace Generation.  Selanjutnya, mereka membuat modul perdamaian berlandaskan pengalaman yang mereka miliki.  Eric seorang konselor antikekerasan, antigank, dan narkoba saat di Amerika, sedangkan Irfan seorang penulis buku anak.  Mereka membuat modul 12 nilai perdamaian untuk dipahami dan dipraktikkan.  Duabelas nilai perdamaian itu adalah menerima diri, menghapus prasangka, keragaman etnis, keragaman agama, laki-laki dan perempuan, kaya miskin, kelompok eksklusif, merayakan keragaman, memahami konflik, menolak kekerasan, mengakui kesalahan, dan memaafkan.

“Pada umumnya semua sekolah, orang, dan pemerintah mau menciptakan kesejukan (perdamaian).  Itu  motivasinya tinggi, hanya tidak tahu caranya.  Itu sebabnya PeaceGen menawarkan modul  12  nilai ini,” kata Eric dengan logatnya yang masih kental.

Modul 12 nilai perdamaian yang dibuat Irfan dan Eric telah diajarkan di hampir seluruh pulau di Indonesia.  Bahkan,  ada peserta yang datang dari negara lain, seperti Filipina dan Amerika Serikat.

Sejak 2007 hingga sekarang, sudah 5 ribu guru yang mengikuti training.  Sementara di kalangan anak muda, sebanyak 25 ribu orang telah dilatih untuk menjadi agen perdamaian.

Lima tahun ke depan, Irfan dan Eric menargetkan ada 100 ribu anak muda yang menjadi agen perdamaian.  Anak-anak muda, terutama pelajar SD dan SMP, menjadi sasaran program pelatihan ini karena lebih mudah mengubah pola pikirnya.

Strategi itu, menurut Irfan, juga dilakukan oleh teroris dalam merekrut “pasukannya”.  Karena itu, PeaceGen mengkonternya dengan memperbanyak agen perdamaian dari kalangan anak muda.

“Teroris itu sasarannya anak muda melalui social media dan sekarang penyebarannya lebih massif.  Jadi kalau tidak ada gerakan yang mengkonter itu, ini akan menjadi bergerak bebas.  Makanya, target kita selain kualitas, kuantitas juga,” jelas Irfan.

Untuk mencetak agen perdamaian, PeaceGen memiliki sejumlah program, yaitu Peacesantren, Peace Gen Teacher Training, Training of Trainer for Agent of Peace, dan Peace Gen Kids. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!