Full Day School: Membayangkan kembali menjadi anak sekolah

Zika Mandiri

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Full Day School: Membayangkan kembali menjadi anak sekolah

ADENG BUSTOMI

Cobalah ingat bagaimana rasanya menjadi anak ketika seusianya. Jangan sampai dia menjadi apa yang Anda inginkan karena dia akan menyalahkan Anda ketika masa depan yang Anda siapkan untuknya hancur berantakan


Suatu hari di sebuah kantor di bilangan Jakarta:

Pekerja 1: Eh, udah dengar soal full day school?

Pekerja 2: Udah, gila apa anak gue seharian di sekolah? Bisa ngebul (berasap) dia.

Pekerja 3: Iyam gila. Gue pulang kan mau ketemu dia. Masa gue pulang dia udah tepar. Kagak, ah!

Sepertinya percakapan macam ini jadi sering terdengar ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru, Muhadjir Effendy, mencetuskan ide belajar sehari penuh (full day school) untuk tingkat SD dan SMP. 

(BACA: Pro dan kontra program penambahan jam sekolah)

“Dengan sistem full day school ini, secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja,” kata Muhadjir saat melontarkan wacana full day school tersebut beberapa waktu lalu.

Beberapa orangtua yang saya ketahui terlihat menentang usul ini. Alasannya karena kasihan pada si anak, akomodasi sekolah yang belum memadai, dan tenaga pengajar yang belum seprofesional itu untuk mewadahi anak seharian.

Namun kemudian Muhadjir meralat pernyataannya sendiri. Ia mengatakan bahwa “sebenarnya ini masih ide saja”.

Tapi, mari kita lihat kira-kira apa dampaknya bagi anak itu sendiri, jika rencana ini benar diterapkan. Anda masih ingat kenangan bersekolah di masa SD dan SMP? Saya, seperti sebagian besar masyarakat Indonesia, berasal dari sekolah negeri. 

Kenangan terbaik saya saat masa SD adalah bermain, belajar menari, dan guru yang namanya masih saya ingat sampai sekarang.

“Jangan sampai dia menjadi apa yang ANDA inginkan karena, percayalah, dia akan menyalahkan Anda ketika masa depan yang Anda siapkan untuknya hancur berantakan.”

Dulu, salah satu guru SD saya pernah bilang, bahwa guru SD adalah guru yang namanya tidak akan pernah dilupakan oleh seorang anak. Kenapa? Karena kita bersamanya selama enam tahun di saat pertumbuhan otak sedang di masa emas.

Pulang sekolah, saya masih sempat makan siang, istirahat. Sorenya bermain sepeda, malam harinya belajar. Masuk SMP, kenangan terbaik saya adalah geng cewek yang persahabatannya bertahan hingga sekarang, kenal lawan jenis, dan takut sama yang namanya matematika. 

Dari dua tingkat pendidikan di atas apakah kesamaannya? Interaksi sosial. Saya masih bisa berinteraksi layaknya anak pada usianya. Interaksi itu yang mendasari “sekolah dunia sesungguhnya” hingga saat ini. 

Saya jadi bisa tahu mana teman yang baik, mana yang hanya mencari keuntungan, dan mana yang bisa menjadi seseorang yang membawa saya jadi sosok lebih baik lagi.

Sekolah itu enggak melulu soal edukasi formal mengenal Sin Cos Tan dan variabelnya dengan sudut kemiringan. Karena terbukti bahwa mereka yang sukses di luar sana adalah mereka yang pintar mengelola emotional quotient-nya (EQ) dibanding mengedepankan intelligence quotient (IQ).

Contohnya bos Facebook, Mark Zuckerberg, yang drop-out dari Universitas Harvard. Dia sempat digugat rekan-rekannya sendiri dalam hal hak cipta Facebook. Interaksi negatif ini membawanya mengelola Facebook lebih baik lagi dan menyumbangkan 99% pendapatan Facebook (sekitar US$45 juta) ke badan amal. EQ mengalahkan IQ!

Buat saya, contoh anak yang imbang dalam mengendalikan IQ dan EQ adalah Azka Corbuzier — anak semata wayang mentalis Deddy Corbuzier. Mata saya berkaca-kaca ketika melihat dia membuat video kehidupannya sebagai anak hasil perceraian, yang diberi judul Story of a Broken Home Kid

Dengan goresan kekanakan, Azka menceritakan itu dalam bentuk kartun yang dipahami anak seusianya. Tapi maknanya bikin kedua orangtuanya, dan para orangtua lainnya, nangis bombay lihat anak sekecil itu paham rasanya hidup di dunia perceraian.

Buat Anda pembaca, coba tanyakan ke diri Anda sendiri, apakah seluruh ilmu yang Anda dapat di sekolah dulu benar-benar bisa diterapkan ke pekerjaan Anda sekarang? 

“Oh, saya mau ke Kemayoran tapi ongkosnya kurang. Kalau begitu saya pakai rumus Phytagoras biar ongkosnya cukup,” kata hati Anda yang langsung dikeplak sama otak. 

Ingat jugakah Anda dengan betapa menakutkannya suatu mata pelajaran yang Anda benci? Saya lemah dalam dunia eksakta dan ketakutan setengah mati tiap kali ulangan.

Pernah saya paksakan diri untuk belajar habis-habisan karena terancam nilai merah di rapor. Yang ada saya ngos-ngosan dan otak terasa panas (saya bukan kesurupan, tapi kelelahan).

Nah, bayangkan pelajaran yang Anda takuti itu dikalikan dua dalam sehari. Jangan salahkan jika nantinya banyak anak SD dan SMP yang sudah tahu bolos karena sudah keburu ciut menuju sekolah. 

Ada satu rekan sesama orangtua yang pernah berbagi mengenai sekolah anaknya. Si rekan memasukkan anak ini ke sekolah terpadu dengan target luar biasa untuk sekelas SD, masuk jam 06:45 dan selesai pukul 15:00.

Tapi kemudian dia bilang anaknya selalu mengeluh sakit perut setiap mau berangkat. Awalnya dikira sakit sungguhan. lama-lama seperti mencari alasan. Namun sesungguhnya dia stres karena harus berada di tempat yang mewajibkannya “pintar”.

(BACA: Permohonan anak SMP kepada Menteri Muhadjir)

Coba Anda yang berada di posisinya. Tiap hari mesti ketemu atasan yang mewajibkan Anda presentasi di depan klien berbahasa Urdu dan wajib mendatangkan rupiah ke kantung perusahaan. Apa enggak sembelit tiap mau berangkat?

Empati… belajarlah empati. Cobalah ingat bagaimana rasanya menjadi anak ketika seusianya. Tumpas habis ajaran jadul yang mengharuskan Anda belajar keras. 

Kini saatnya belajar cerdas. Pilih metodologi yang tepat bagi anak Anda dan imbangi dengan interaksinya ke lingkungan.

Biarkan dia berkembang sesuai dengan talentanya. Jangan sampai dia menjadi apa yang ANDA inginkan karena, percayalah, dia akan menyalahkan Anda ketika masa depan yang Anda siapkan untuknya hancur berantakan. 

Doakan saya agar berhasil menerapkan ini ke darah daging saya sendiri. Amin! —Rappler.com

Zika adalah seorang web-editor yang pernah menjajal tiga media nasional di Indonesia. Ia bermimpi mau punya SPBU sendiri sebelum minyak dunia habis dan nyaris mendapat titel kutu buku sejati.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!