71 tahun Indonesia merdeka: Masih banyak merasa dijajah

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

71 tahun Indonesia merdeka: Masih banyak merasa dijajah
Apakah kemerdekaan hanya berarti 'bebas dari cengkeraman asing saja'?

JAKARTA, Indonesia — Hari ini, 71 tahun yang lalu, Indonesia menyatakan kemerdekaan dari jajahan bangsa asing. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, mengatakan negara ini tidak lagi terikat dengan apapun juga.

Tidak ada satu ikatan lagi jang mengikat tanah-air kita dan bangsa kita! Mulai saat ini kita menjusun Negara kita! Negara Merdeka,” demikian ucapan Bung Karno dalam pidato kemerdekaan, seperti dikutip dari Kapita Selekta, Seri Pertama, Buku I.

Merdeka, menurut KBBI, memiliki makna “bebas (dari perhambaan, penjajahan, dsb).” Artinya, tak ada lagi orang Indonesia yang menjadi hamba, ataupun hak-haknya dijajah oleh siapapun.

Namun, apakah kemerdekaan hanya berarti ‘bebas dari cengkeraman asing saja’?

Ahmadiyah

Menurut Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), pemerintah masih harus bertanya ulang tentang arti kemerdekaan dan hak rakyat yang merdeka. Terutama, dalam hal kebebasan beragama.

“Bangsa ini harus terus belajar dari para founding father tentang arti persatuan, respek dan menghormati perbedaan sebagai sebuah rahmat dari Tuhan,” kata Juru Bicara dan Sekretaris Pers JAI Yendra Budiana saat dihubungi Rappler pada Senin, 15 Agustus 2016.

Ahmadiyah pertama kali dikenal Nusantara pada tahun 1925, dan semenjak saat itu terus berkembang. “Jumlahnya masih di bawah 1 juta orang, banyak yang tidak mengaku karena takut tekanan sosial,” kata Yendra.

Ketakutan tersebut bukan tak berdasar. Setiap tahunnya, media-media nasional selalu diwarnai berita kekerasan terhadap para jemaah Ahmadiyah. Bahkan ada insiden yang berujung dengan pembantaian dan kematian, seperti di Cikeusik, Banten pada 2011 lalu.

Pemerintah sepertinya tidak menunjukkan sikap tegas dalam melindungi mereka. Pada 2008 lalu, presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono, menerbitkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung yang pada intinya memerintahkan penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatan yang bertentangan dengan Islam.

Saat ini, memang sudah tidak pernah lagi terdengar insiden yang berujung pada hilangnya nyawa anggota JAI. “Dalam hal penanganan keamanan, sudah mulai terasa ada perubahan yang lebih baik di masa Presiden Jokowi (Joko Widodo),” kata Yendra.

Namun, bukan berarti kekerasan dan upaya pengusiran sudah berhenti. Umat Ahmadiyah di berbagai daerah, seperti Bangka, masih diusir dan harus mengungsi. Bahkan pada Mei 2016 lalu, Masjid Ahmadiyah Al Kautsar di Purworejo, Jawa Tengah dijebol orang tak dikenal. Baru-baru ini, upaya membangun masjid Ahmadiyah di Parakansalak, Sukabumi, Jawa Barat juga dihadang pemerintah daerah setempat.

Bagi Yendra dan umat Ahmadiyah lainnya, nikmat kemerdakaan baru dapat mereka rasakan saat benar-benar memperoleh kebebasan beribadah dengan tenang sesuai keyakinan masing-masing. Mereka sadar, perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan hakiki ini masih akan terus berlanjut.

Lantas, apa yang diharapkan para jemaah Ahmadiyah bagi Indonesia pada perayaan kemerdekaan yang ke-71 ini? “Semoga bangsa dan pemerintah RI semakin berkomitmen menjamin dan memenuhi hak-hak kemerdekaan kebebasan beragama sesuai keyakinannya,” kata Yendra.

JAI sendiri akan terus berkontribusi untuk Indonesia dengan mengisi kemerdekaan dalam pemberdayaan masyarakat dan kegiatan sosial kemasyarakatan di tengah situasi apapun. 

Masyarakat Papua

Bagi masyarakat di ujung timur Indonesia, ada perbedaan besar dalam memaknai kemerdekaan. “Kami baru 15-16 tahun merdeka,” kata Aktivis Papua Itu Kita Bernard Agapa saat dihubungi Rappler.

Sesuai dengan New York Agreement yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda pada 15 Agustus 1962, Irian Barat, sekarang Provinsi Papua dan Papua Barat, diserahkan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada 1 Oktober 1962. Pada 1 Mei 1963, wilayah tersebut diserahkan ke Indonesia. Bendera Belanda pun diturunkan dan diganti dengan bendera Merah Putih dan bendera PBB.

Selanjutnya, sesuai dengan New York Agreement juga, Indonesia menyelenggarakan penentuan pendapat rakyat (Pepera) atau referendum bagi masyarakat Irian Barat pada 1969. Hasilnya, rakyat Irian Barat setuju untuk bersatu dengan pemerintah Indonesia. Namun demikian, kelompok pro kemerdekaan menuduh referendum tersebut dilakukan di bawa tekanan dan intimidasi dan tidak melibatkan semua warga Papua.

Walau ‘memilih integrasi’, perlakuan yang diterima oleh masyarakat di daratan cendrawasih sangat berbeda dengan di Jawa, Sumatera, dan pulau lainnya di Indonesia. Pemerintah masih takut dengan ‘gerakan separatis’ hingga berujung pada banyaknya operasi militer di sana. Korban yang jatuh pun tak sedikit, bahkan mencapai ribuan.

Masih lekat di ingatan masyarakat Papua tentang peristiwa ‘Biak Berdarah Juli 1998’, ‘Insiden Merauke Oktober 1999’, ‘Timika Berdarah Desember 1999’, ‘Insiden Nabire  Februari/Maret 2000’, sampai dengan ‘Peristiwa Wayati Fakfak Maret 2000’ serta ‘Insiden Sorong Agustus 2000.’ Hingga 2016 ini pun, tercatat berkali-kali opresi aparat terhadap masyarakat Papua.

Kasus yang paling ramai adalah saat mahasiswa Papua di Yogyakarta dikepung aparat kepolisian dan TNI pada Juli lalu. “Kemerdekaan itu hanya simbolis saja. Tidak ada, hanya simbol,” kata Bernard.

Pemerintah, lanjutnya, belum menunjukkan pendekatan yang manusiawi untuk merangkul masyarakat Papua. Kepala negara terakhir yang melakukan hal tersebut adalah almarhum Abdurrahman Wahid, atau kerap disapa Gus Dur.

Pada 1 Januari 2000, Gus Dur mengembalikan nama Papua, sekaligus menyetujui simbol kultural bendera Bintang Kejora dikibarkan. Perubahan dari Irian ke Papua tentu bukan sekadar perubahan nama. Karena, di balik itu ada pengakuan terhadap martabat dan mengembalikan kebanggaan etnis Papua yang akan memudahkan rekonsiliasi.

Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan PP No. 77 Tahun 2007, melarang penggunaan atribut daerah yaitu bendera Bintang Kejora, simbol Burung Mambruk, dan lagu Hai Tanahku Papua. Setelah itu, upaya perdamaian dan dialog Jakarta-Papua hingga kini belum menemui titik terang.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo pun belum terlalu berbeda. Meski ia menjanjikan perbaikan hubungan dengan masyarakat di Papua, belum ada perubahan yang benar-benar kontras. Papua tetap tertutup bagi jurnalis dan media asing. Bahkan bagi pewarta lokal pun, akses dibatasi hanya dari aparat keamanan dan intelijen.

Masyarakat lokal masih dibatasi aksesnya. Menurut Budayawan Papua John Waromi, tulisan pemuda lokal Papua hanya bisa dinikmati di dalam daerah. “Entah mengapa, media nasional jarang yang mau memuat. Makanya suara kami tak terdengar,” kata dia.

Bahkan, pembangunan berbagai fasilitas dan infrastruktur yang dijanjikan, ternyata malah dinikmati penduduk non Papua di sana. Ketimbang memperhatikan masyarakat lokal di daerah terpencil dan desa, pemerintah lebih memperhatikan area perkotaan yang diduduki kaum elit dan pendatang.

Para penduduk asli tetap harus berhadapan dengan kemiskinan, serta tekanan militer. Sementara mereka yang mencari peruntungan di daerah lain, malah menerima perlakuan rasis.

Bagi Bernard, kemerdekaan baru terasa nyata saat ada penghentian opresi dan penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). “Dibuat pengadilan HAM, juga pendekatan manusiawi yang luar biasa. Tapi sekarang itu kan masih tidak ada,” kata dia.

Militer dan aparat di Papua, lanjutnya, harus menghentikan segala represi dan kekerasan yang masih terus berlanjut. “Bila tidak, saya rasa (kemerdekaan) masih belum,” ujarnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!