6 alasan mengapa kita seharusnya berterima kasih pada Awkarin

Putri Widi Saraswati

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

6 alasan mengapa kita seharusnya berterima kasih pada Awkarin
Disclaimer: Tulisan ini bisa dikategorikan ke dalam nyinyir. Jarang-jarang saya menulis nyinyiran seperti ini. Maklum amatir, baru mulai membangun reputasi.

Menurut hemat saya, berkaca dari segala percakapan dan opini yang ramai berseliweran di dunia maya, sudah seharusnya kita berterima kasih pada Awkarin, alias Karin Novilda, seorang remaja perempuan 18 tahun yang menjadi selebgram, vlogger, dan salah satu dari sederet #RelationshipGoals remaja masa kini.

Bukan, bukan karena Awkarin sendiri secara personal telah memberikan hadiah buat kita, para penonton dan komentatornya di dunia maya (seperti anggota band yang melempar kaos bau keringat dari atas panggung lalu semua orang berteriak, “Kyaaaaa….”)

Bukan juga karena saat melihat Awkarin yang gaul, segar, dan kinyis-kinyis, semangat masa muda kita kembali lagi. Tapi karena ternyata kehadiran dan eksistensi Awkarin dalam jagat dunia maya tak berbatas ini telah memberi banyak pelajaran kepada kita yang lebih dewasa darinya.

Jarang-jarang, kan, ya, anak remaja bisa ngasih pelajaran ke orangtua. Itu kalau yang tua tidak gengsi menerima. Tapi saya yakin, para pembaca Qureta ini adalah orang-orang yang sungguh dewasa, legowo, adil, bijaksana, dan tidak baperan.

Dan, kalau menurut saya, kira-kira seperti inilah beberapa pelajaran yang sudah diberikan eksistensi Awkarin kepada kita. Kalau ada yang mau menambahkan, monggo, ada ruang kosong di kolom komentar.

1. Bahwa kita ternyata masyarakat yang hobi mempermalukan orang

Pernah dengar kata “slut-shaming”? Kalau memakai bahasa gampangnya, slut-shaming artinya sama dengan prinsip, “Kalau ada perempuan yang berpakaian/melakukan/mengucapkan A/B/C, artinya dia cewek murahan.”

Wajar, sih, kalau belum pernah dengar. Konsep slut-shaming adalah konsep yang pertama kali saya dengar dari artikel-artikel feminisme. Dan sampai hari ini, mengaku feminis di masyarakat ini masih sering menyebabkan kamu dianggap entah brutal atau tidak tahu kodrat.

Intinya, alih-alih mengajarkan respek pada setiap orang dan dan pilihan-pilihan yang mereka ambil atas tubuh atau hidup mereka, slut-shaming mengajarkan untuk merendahkan dan mempermalukan orang lain, terutama perempuan secara seksual, memberinya stigma atau prasangka berdasarkan subyektivitas dan hal-hal yang superfisial saja.

Sedihnya, slut-shaming sering kali tampak benar, wajar, atau logis untuk dilakukan. Hanya karena semua orang lain juga melakukannya.

Contoh slut-shaming ada banyak; bahkan bisa oleh kaum perempuan kepada sesama perempuan. Misalnya, kita melihat berita tentang seorang selebriti yang sering mengenakan pakaian terbuka. Tak jarang keceplosan dari mulut kita komentar negatif tentang tubuh, pakaian, relasi pribadi, atau bahkan moral sang selebriti.

Atau, di jalan kita berpapasan dengan mahasiswi yang mengenakan pakaian ketat. Kadang bisa terlintas dalam pikiran kita, jangan-jangan mahasiswi ini “ayam kampus”. Atau, ketika melihat berita pemerkosaan yang mendeskripsikan pakaian si korban, kita berpikir, ‘Wah, pantas saja diperkosa, jalan sendirian pakai pakaian begitu’.

Dengan adanya media sosial seperti Instagram, media yang dipilih Awkarin untuk berekspresi, slut-shaming menjadi sesuatu yang semakin mudah dan “wajar” dilakukan di ruang publik. Soalnya nikmat, sih, memang, menyelipkan komentar bernada slut-shaming di bawah foto seorang perempuan yang tidak pernah kita kenal dan tidak pernah kita ajak ngobrol satu kali pun. Apalagi beramai-ramai. Lho, semua orang melakukannya juga, kok.

Nanti tinggal bilang, “Ya, salah dialah, posting foto-foto begitu. Perempuan, kok, tingkahnya begitu. Ya, pantas aja haters-nya banyak dan di-bully. What goes around comes around, lah.”

Moral itu, kan, kesepakatan bersama. Dan makin banyak artinya makin benar. Ya?

Lalu kira-kira apa, ya, pesan moral yang bisa didapat dari perilaku slut-shaming? 

2. Bahwa kita ternyata masyarakat yang seksis – dan rasis

Lema “seksis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi daring ternyata tak dapat ditemukan. Saya beralih ke aplikasi kamus bahasa Inggris, mencari padanannya yaitu “sexist” – tidak dapat ditemukan juga.

Akhirnya setelah tanya Mbah Google, saya menemukan “seksisme” di Wikipedia. Artinya “diskriminasi dan/atau kebencian terhadap seseorang yang bergantung terhadap seks, tetapi juga dapat merujuk pada semua sistem diferensiasi pada seks individu”.

Sembulet-mbuletnya redaksi Om Wiki, saya berkesimpulan bahwa “seksis” artinya mendiskriminasi orang hanya berdasarkan jenis kelaminnya, baik dalam pikiran, sikap, maupun perbuatan.

Seksisme adalah sesuatu yang seringkali dilakukan begitu saja tanpa disadari, saking sudah mengakarnya cara berpikir yang seksis di masyarakat. Dan seksisme adalah sesuatu yang tak rasional.

Berkata bahwa hanya perempuan yang bisa melahirkan (bisa, ya, bukan harus), misalnya, itu tidak seksis. Tapi menganggap bahwa hanya laki-laki yang bisa jadi presiden di negara ini, itu seksis (mau bilang patriarkis tapi nanti dimarahi, kok apa-apa salah patriarki?).

Saya sering menemukan orang-orang, biasanya perempuan, yang ­ngefans pada aktor-aktor luar negeri berbadan bagus. Kalau aktor-aktor bule itu punya akun Instagram dan suka mem-postingfoto-foto seminude sebagai ekspresi hasil latihan fisik mereka, pasti ada saja yang follow diam-diam untuk dilihat dari waktu ke waktu. Lumayan, menyegarkan pandangan. My guilty pleasure, katanya.

Coba kalau yang melakukan hal yang sama – mengekspresikan (atau “memamerkan”, menurut istilah kekinian beberapa kalangan) tubuh – adalah makhluk seperti Awkarin atau Mulan Jameela, orang-orang yang sama itu bisa jadi dalam hati menyumpahi, “Apaan, sih, ini, perempuan pamer-pamer keseksian begini maksudnya apa? Nggak pantes! Vulgar!”

Sekali lagi, mereka bahkan nggak kenal pada siapa pun itu yang punya akun Instagram. Tapi, ya, enteng saja. Tubuh perempuan, terutama perempuan Indonesia yang berakhlak beragama, pokoknya harus ditutupi soalnya vulgar dan membawa laknat. Tubuh perempuan = seks = maksiat.

Padahal, kata salah seorang menteri di Malaysia saat dimintai pendapat soal pencekalan konser Selena Gomez di negara itu gara-gara sang penyanyi dianggap terlalu seksi, “Keseksian itu ciptaan Tuhan dan sifatnya subyektif.” Nah lo! 

3. Bahwa kita ternyata masyarakat yang cepat lupa – boro-boro mau memahami

Kalau Anda masih bisa mengingat-ingat, flashback ke masa remaja, saya cukup yakin Anda setuju pada satu hal: jadi remaja itu susah.

Keinginan untuk diterima oleh teman-teman sebaya adalah kehausan yang mahadahsyat. Untuk bisa menjadi gaul, diterima (dan dikagumi) oleh teman-teman sejenis kelamin, dicintai (dan diingini) oleh teman lawan jenis kelamin, dianggap sama dan setara atau bahkan lebih hebat – hal-hal seperti itu menjadi dorongan yang terus-menerus dalam hidup seorang remaja.

Di Amerika, bullying (bahasa Indonesianya “perisakan” atau “perundungan”) karena dianggap “berbeda” atau “aneh” sering menyebabkan remaja yang dirisak bunuh diri. Bukannya mau cari simpati, tapi saya punya pengalaman pribadi soal ini. Waktu SMP-SMA, saya dirisak karena digosipkan lesbian. Jangankan berteman, orang mau mengajak saya dansa di acara retret tahunan kelas saja tampangnya sudah jijik duluan.

Lalu datanglah seorang cowok dari jagat mIRC. Kenalan, jadian via SMS, pacaran selama dua tahun lebih. Pacar serius pertama saya. Bagi saya saat itu, dialah satu-satunya orang yang mau menerima saya apa adanya. Biarpun dia posesif. Biarpun dia melakukan sex abuse. Pokoknya dia tali penyelamat harga kehidupan saya.

Sampai akhirnya dia minta putus, dan malamnya saya menelan 20 butir obat merk “P” dengan niat untuk mati. Untung gagal.

I never told my parents about any of it – or of him – because I couldn’t talk to them.

Bodoh? Murahan? Nggak punya harga diri? Mungkin. Tapi jadi remaja itu ribet. Rumit. Susah. Kadang jadi neraka. Kadang begitu gila sampai kamu mencari cara yang paling available untuk bisa menjalaninya.

Apalagi kalau tidak ada yang mengajak atau menyediakan diri untuk bicara. Alih-alih, malah menceramahi dari A sampai Z. Seolah remaja adalah makhluk bloon yang tidak bisa (diajak) berpikir sendiri.

Dan setelah terlalu lama jadi orang dewasa, ternyata kita cepat lupa apa rasanya jadi remaja. 

4. Bahwa kita ternyata masyarakat yang superfisial.

Poin keempat ini disusun dengan mengandaikan hipotesis sebagian orang benar – yakni bahwa Awkarin adalah bagian dari gerombolan remaja dangkal masa kini yang ingin populer secara instan dengan hal-hal superfisial, antara lain umbar gaya pacaran dan penampilan seksi.

Kalau hal tersebut benar, maka Awkarin sudah belajar dengan baik dari budaya populer kita.

Satu. Siapa, sih, yang nggak kepingin terkenal dengan cepat di Indonesia ini? Ajang pencarian bakat dengan rating tinggi bermunculan, menjanjikan popularitas instan – tak peduli nanti tenggelamnya juga instan. Media-media daring berlomba-lomba memasang judul berita yang sensasional untuk menaikkan page view – tak peduli nyambung atau tidak dengan isi berita, benar atau tidak kontennya.

Dua. Siapa, sih, yang nggak punya hobi membahas hal-hal yang superfisial di Indonesia ini? Pemilihan presiden yang lalu, ada, lho, yang bersemangat membahas capres anu pakai tangan sebelah mana untuk beraktivitas. Lalu, biasanya penampilan religius selalu dianggap naik tingkat ke segalanya yang baik dan karena itu tak berpenampilan religius berarti lebih tak baik – yang tak mengenakan atribut religius dirisak secara halus, sementara Ratu Atut dan Jonru tetap eksis.

Tiga. Siapa, sih, yang masih demen baca sebelum komentar atau berpikir sebelum berbuat di Indonesia ini? Kalau baca artikel-artikel yang “kontroversial” di dunia maya, di bawahnya ada saja deretan komentar yang marah-marah tapi ora nyambung. Belum cara paling trendi mencerdaskan bangsa: bagikan tautan artikel, kalau nanti ditanya kebenarannya tinggal bilang, “Nggak tahu. Saya cuma share.” (Habis itu artikelnya di-reshare puluhan kali.)

Orang heboh mengurusi para pemilik media sosial yang memasang foto seksi di akun masing-masing – akun masing-masing, lho, bukan akun prostitusi terselubung. Atau pada selebriti yang melepas hijab mereka. Atau yang pindah agama. Tapi sedikit sekali yang peduli bahwa pernikahan anak masih dilindungi hukum di negara ini. Saya, kok, gilo sendiri.

5. Bahwa kita ternyata masyarakat yang berstandar ganda – kalau bukan hipokrit

Seorang teman di Twitter, 32 tahun, perempuan, sudah berkeluarga, mengomentari fenomena tulisan-tulisan yang membedah kelakuan Awkarin dengan, “Kayak pacaran pada zamannya cuma pegangan tangan doang. :D”

Seorang teman saya yang lain, sekitar 3 tahun lebih muda dari yang pertama, bahkan berkomentar begini, “Padahal, saya SD tahun 1998, temen saya udah kayak Karin itu. Cuma nggak ada media sosial aja. Mereka yang nggak nyadar itu idupnya di hutan, ya?”

Waktu kita remaja, gaya pacaran seperti Awkarin sebetulnya sudah bisa ditemukan. Banyak, malah. Hanya, karena belum ada media sosial, hal-hal seperti itu tidak terlalu tampak oleh kita, sekaligus tidak terlalu mudah untuk dikomentari.

Saya belum pernah jadi orangtua, tapi saya sudah pernah jadi remaja. Zaman saya remaja, belum ada Twitter, Instagram, apalagi Ask.fm. Adanya cuma mIRC dan Friendster. Oh, sama Yahoo Messenger. Apa kabar Yahoo, ya, sekarang? Friendster, sih, sudah lama kiamat.

Nah, kalau bicara soal mIRC, pasti pada tahu: di sana ada banyak modus untuk mencari partner seksual. Mulai dari chat sex, phone sex, sampai kopi darat. Caranya gampang: pasang saja ID “menarik” seperti ce_horny atau bahkan sekadar ce_cari_co, lalu masuk ke chat room publik, pasti langsung banyak sapaan bergairah muncul di layar komputermu.

Itu waktu saya SMP-SMA. Waktu sebelum saya, zaman belum ada internet, mungkin medianya stensilan atau karya-karya Enny Arrow the legend.

Apakah bedanya remaja sekarang (baca: generasi Awkarin) dan remaja dulu (baca: kita) soal itu? Sama saja. Bedanya hanya kecepatan akses. Remaja dulu membaca stensilan. Remaja sekarang membaca internet.

Setiap generasi remaja pada dasarnya selalu memiliki masa-masa seperti itu. Hormon adalah kekuatan yang luar biasa bagi remaja. Saya baru saja memberikan materi edukasi seksual pada anak-anak SMP kelas 7-8 yang sedang Pramuka, dan bahkan lagu-lagu yang mereka nyanyikan untuk sesi rekreasi ada yang bernuansa seksual!

Sesungguhnya justru karena dorongan alamiah remaja inilah, sangat penting untuk memberikan edukasi seksual yang komprehensif, benar, dan terbuka pada mereka. Nyatanya, kurikulum pendidikan kita masih nol besar soal itu. Materi pendidikan reproduksi hanya berkisar pada anatomi alat reproduksi yang rumit serta gambar-gambar mengerikan penyakit kelamin. Oh, plus surga dan neraka. Teknis yang membingungkan dan menakutkan.

Tidak ada ajaran agar menghargai dan menghormati kepemilikan tubuh. Tidak ada pemahaman tentang seks yang aman dan kontrasepsi – sosialisasi kondom malah dituduh menebar maksiat. Tidak ada dorongan untuk relasi berpacaran yang kuasanya seimbang.

Padahal foto-foto “berpacaran vulgar” Awkarin bisa digunakan untuk memberikan pendidikan seksual sederhana. Misalnya, mengajarkan anak bahwa dia tidak harus melakukan aktivitas seksual hanya demi cinta dari pasangannya kelak. Mengajarkan anak agar menghormati tubuh pasangannya. Mengajari anak tentang consent.

Pengalaman pribadi, sejak saya remaja sampai sekarang, butuh sekian ronde eksperimen hidup (yang tidak semuanya menyenangkan) sebelum saya belajar tentang konsep-konsep yang penting tentang seks dan hubungan romantis ini. Itu pun belajar sendiri, karena tertarik pada feminisme. Dan sekarang, setelah saya menginjak late 20s, keadaan rupanya masih sama saja.

Menakut-nakuti, melarang, dan melaknat memang selalu lebih mudah dan enak daripada memberikan pemahaman dan dialog yang realistis. 

6. Bahwa kita ternyata masyarakat yang demen mengurusi dalaman orang lain tanpa mengerti duduk perkaranya – oh, ini mah sudah jelas, ya?

Seperti disclaimer yang sudah saya berikan di awal, tulisan ini bisa saja Anda kategorikan sebagai nyinyir. Tapi saya kira bolehlah sekali-sekali kita berlatih nyinyir yang beda dari biasanya. Kan, bosan ngomongin aib orang dari sudut pandang yang itu-itu saja. Sesekali nyinyirin diri sendiri….

Sekali lagi, seperti sebagian besar dari mereka yang membicarakan dirinya, saya tidak kenal Awkarin. Saya entah dengan hidupnya, orangtuanya, keluarganya, boro-boro isi kepalanya. Maka itu tulisan ini tidaklah ditujukan untuk membahas Awkarin sendiri. Jauh lebih asyik mengamati kelakuan kita semua saat menonton dia.

Jadi, kenapa seharusnya kita berterima kasih pada Awkarin? Ya, itu tadi. Karena remaja perempuan yang “labil” ini ternyata sudah berhasil mengajari kita kebenaran sebuah peribahasa yang sejak SD kita pelajari, yang barangkali kita sudah lupa maknanya.

Peribahasa apa? Apa lagi kalau bukan “buruk muka cermin dibelah”….

—Rappler.com

Putri Widi Saraswati adalah seorang penggemar membaca, menulis, dan wacana aneh-aneh — misalnya humanisme dan kesetaraan gender. Bukan penggemar berat tren moralitas kekinian —sayangnya, ia seorang dokter.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!