SUMMARY
This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.
JAKARTA, Indonesia — Sri Sukanti dijadikan “ianfu” sejak ia berusia 9 tahun.
Kisahnya, dan 12 perempuan Indonesia yang masih bertahan hidup setelah dipaksa atau ditipu menjadi pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang pada masa penjajahan sekitar 70 tahun silam, diceritakan kembali lewat pameran seni bertajuk Kitab Visual Ianfu dan dokumenter berjudul Mataoli.
“Dia itu memang luar biasa banget. Bagaimana Sri Sukanti mampu, mau menghadapi masa lalunya,” tutur Eka Hindra, peneliti dan pembela hak ianfu.
Diceritakannya, ia menggendong Sri Sukanti ke lantai dua Gedung PakPak, Gundih, Purwodadi, Jawa Tengah. Di sanalah Sri Sukanti dahulu diperkosa tentara-tentara Jepang.
“Saya hanya ingin mendorong para penyintas itu healing, untuk berani menghadapi tempo yang paling dahsyat dalam hidup, karena saya percaya mereka harus mendapatkan pengampunan dari diri sendiri,” tutur Eka dengan suara bergetar.
“Mereka masih belum mendapatkan keadilan, dan itu yang membuat saya 17 tahun berada di samping mereka. Karena saya bukan cuma ingin mendidik diri saya sendiri, tapi saya juga ingin mendidik generasi di bawah saya.
“Saya tahu, saya sudah menghitung, bahwa dua, tiga tahun dari sekarang, generasi di bawah saya enggak akan pernah ketemu mereka secara fisik, enggak mungkin,” ujar Eka, mengingatkan bahwa usia perempuan termuda yang dijadikan ianfu adalah sekitar 80 tahun dan sebagian eks-Ianfu yang dikenalnya telah meninggal.
Tidak diperhatikan negara
“Pemerintah Indonesia? Tidak melakukan apa-apa. Bahkan, uang kerahiman para penyintas dikorupsi oleh pemerintah Indonesia,” kata Eka tentang apa yang telah dilakukan pemerintah bagi para penyintas.
“Pada tahun ’97 itu pernah diumumkan pemerintah Jepang memberikan dana santunan untuk para korban sebanyak dua juta Yen, tapi para korban enggakpernah menerima itu,” ucap Eka, yang pernah mendatangi Kementerian Sosial dan menemukan laporan itu.
“Dan itu enggak pernah dipublikasikan secara transparan bahwa pemerintah mendapat bantuan yang segitu banyak, ratusan juta (rupiah). Tapi enggak ada satu pun ianfu yang terima. Itu saya bisa jamin, kalau enggak, saya enggak akan 17 tahun sama-sama mereka,” ungkapnya.
”Pemerintah Indonesia? Tidak melakukan apa-apa. Bahkan, uang kerahiman para penyintas dikorupsi.”
Eka sempat menemukan mantan ianfu yang dirawat di panti lanjut usia (lansia), tapi itu pun karena ia digolongkan sebagai “lansia terlantar,” bukan karena haknya sebagai perempuan yang dahulu dipaksa memuaskan kebutuhan seksual tentara Jepang.
Padahal, panti itu dibangun dengan dana Jepang, yang menurut Eka, “Sebetulnya bukan untuk [membuat] panti. Enggak ada yang mau tinggal di panti. Mardiyem [salah satu eks-Ianfu yang diwawancara Eka, -red] pernah bilang, kami merasa dibuang kalau tinggal di panti.”
Perempuan yang menemani para ianfu sejak 17 tahun silam ini pun melanjutkan, “Apakah mereka [pemerintah Indonesia] ketika membuat agreement dengan pemerintah Jepang mendengar suara korban? Enggak. Apakah kemudian pemerintah bertanya kepada korban, apa yang dibutuhkan?
“Melainkan pemerintah Indonesia hanya diam-diam mengambil uang itu, dan kemudian dijadikan proyek […yang…] sama sekali tidak mengikutsertakan publik, apalagi korban.”
Pemerintah Jepang
Eka menguraikan pula, “Untuk mengunci rapat soal kejahatan perang, pemerintah Jepang kemudian secara cerdik membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral.
“Korea Selatan mereka kunci dengan perjanjian tahun ’65, dengan China tahun 1972, dengan Indonesia tahun 1956; di mana dalam perjanjian itu sama sekali tidak dihitung kerusakan hak asasi manusia, termasuk ianfu, romusha, dan heiho,” kata Eka merujuk pada buruh kerja paksa (romusha) dan tentara didikan Jepang (heiho).
Perempuan yang menyatakan memiliki perjanjian itu dan telah mempelajarinya ini menguraikan, isi perjanjian hanya membahas kerusakan material, dan kesepakatan bahwa kontraktor-kontraktor Jepang datang membangun Indonesia, dengan hasil seperti Hotel Indonesia, dan pusat perbelanjaan Sarinah di Jakarta dan Ambarukmo di Yogyakarta.
“Jadi sebetulnya uangnya lari lagi ke pemerintah Jepang,” kata Eka.
Apa yang diinginkan perempuan eks-ianfu?
“Mereka cuma ingin tidak dilupakan. Kenapa enggak ingin dilupakan? Karena mereka ingin, apa yang mereka alami, itu enggak terjadi di masa yang akan datang,” ucap Eka, menambahkan bahwa ia tidak bisa menggeneralisir semua eks-ianfu, tetapi secara umum itulah yang mereka inginkan.
Eka beserta teman-temannya memproduksi dokumenter Mataoli. Film yang mengangkat kisah 13 eks-ianfu itu belum selesai diproduksi, karena berbagai faktor, termasuk faktor finansial.
Bersama Dolorosa Sinaga dan perupa-perupa Indonesia, Eka juga membuat pameran bertajuk Kitab Visual Ianfu.
”Seiring dengan waktu yang terus berputar, juga harapan yang kian memudar. Para korban Ianfu menunggu tiap detiknya agar terbebas dari segala mimpi buruk yang dialami, sampai harapan itu akhirnya benar-benar mati.” — Ayu Maulani
Dolorosa mengatakan, pameran Kitab Visual Ianfu bertujuan, “Membuka ruang-ruang percakapan bagi generasi muda tentang sejarah, khususnya yang dibungkam pemerintah. Supaya sejarah Ianfu tidak hilang ditelan bumi.”
Pameran karya 12 perupa ini diadakan di Galeri 6 Cemara, Jakarta Pusat, hingga Minggu, 27 Agustus. Selanjutnya, mereka juga akan membawa karya-karya ini untuk pameran di Seoul, Korea Selatan, serta Nan Jing, Tiongkok.
Dolorosa, yang berencana mencetak lebih banyak buku katalog Kitab Visual Ianfu serta mengadakan tur pameran, menambahkan mereka akan mengadakan crowdfunding guna mendanai upaya mereka mengingatkan masyarakan dan pemerintah Indonesia serta Jepang akan bagian dari sejarah yang telah dibungkam selama sekitar 70 tahun ini. —Rappler.com
Add a comment
How does this make you feel?
There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.