Bisakah mereka mendengung dengan hati?

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Bisakah mereka mendengung dengan hati?
Perlukah figur media sosial memberi tahu kalau mereka adalah buzzer?

 

JAKARTA, Indonesia – Pekan lalu, tagar #NoWitchHuntKarHut sempat bertengger cukup lama di daftar topik populer twitter. Ratusan, bahkan mungkin ribuan cuitan memuat tagar tersebut, yang pada intinya membahas soal kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Karena topik pembakaran hutan ini tengah seksi kembali, tentu ribuan pasang mata yang menyaksikan cuitan para selebriti ini, sontak menyambar. Ada yang mencuit ulang (retweet) hingga membuat cuitan sendiri dengan mencantumkan tagar #NoWitchHuntKarHut itu.

Intinya, begitulah cara tagar ini menjadi viral dan melesat naik ke daftar topik terpopuler.

Tagar yang tak lazim

Sewaktu melihat tagar tersebut, saya sendiri iseng meng-klik. Pertama, karena istilahnya aneh. Witch hunt.

Menurut kamus Cambridge, frasa ini memiliki makna ‘upaya mencari dan menghukum orang-orang yang memiiiki opini berbeda dan disebut berbahaya bagi masyarakat.’

Biasanya trending topic twitter di Indonesia itu memakai istilah yang menurut saya kampungan. Seperti LoveEga, Awkarin, Sidang Kopi Bersianida, Hidup Tidak Seanjing itu dan istilah lain yang tidak secanggih witch hunt. Saya pribadi tidak yakin mayoritas masyarakat twitter lokal paham frasa tersebut.

Jadi pasti ada apa-apanya.

Berikutnya, makna. Secara harafiah, tagar ini bermaksud supaya orang-orang tidak mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab membakar hutan. 

Setelah mencoba baca satu dua cuitan yang memuat tagar tersebut, ternyata arahnya adalah ‘menyelematkan’ korporasi sawit ataupun kertas yang selama ini dituding sebagai para pembakar hutan. Ada yang mencoba giring opini kalau ada ‘pihak lain’ yang bertanggung jawab selain korporasi.

Lah, kok, ya, freak? Pas pemerintah lagi memproses hukum 30 perusahaan pembakar hutan dan negeri tetangga kita juga mau main hakim sendiri terhadap 6 direktur perusahaan dengan dosa senada, kok, ini malah mau menuding jari ke pihak lain…

Membicarakan unpopular opinion, saya jadi berpikir justru orang-orang yang nge-twit topik ini yang harusnya diburu.

Temui para ‘penyihir’

Singkat cerita, akun @_haye_ pun membongkar seluk beluk viral-nya tagar tersebut. Ternyata, ada satu pihak yang membayar satu agensi tertentu untuk mengerahkan buzzer alias pendengung supaya pesan mereka tersampaikan. 

Apalagi kalau bukan supaya masyarakat berhenti menuding korporasi sebagai pelaku pembakar hutan dan mencari pihak lain. Setelah tuntas, maka pendengung yang berpartisipasi akan mendapat fulus sebagai ganjaran. Jadi motivasinya bukan kesadaran sosial.

Desakan @_haye_ pun berbuah sejumlah ‘pengakuan dosa’ dari buzzer yang terlibat. Ada yang memutuskan untuk menghapus cuitan mereka atau meminta maaf pada publik. Bahkan, ada yang memutuskan untuk tutup akun.

Dari kejadian ini, kemudian muncul perdebatan soal profesi buzzer dan hati nurani. Kok bisa, ada yang tega kampanye tanpa memedulikan mereka yang sesak nafas dan kehilangan banyak hal gara-gara kepentingan beberapa pihak saja?.

Urusan perut dan nurani

Buzzer atau influencer sendiri sebenarnya belum dikategorikan sebagai profesi resmi. Mereka adalah figur internet yang memiliki pengikut puluhan hingga ratusan ribu. Kisarannya kalau dirupiahkan, setara makan siang sederhana di warung tegal, hingga segelas ice coffee latte di kafe gaul ibu kota.

Biasanya, para selebtweet ini punya pekerjaan lain yang tidak berhubungan dengan kampanye di media sosial. Duit dari bikin trending topic twitter hanyalah bonus saja.

Tentu ada juga yang menjadikan profesi ini sebagai sumber pendapatan utama. Apapun topik yang dipopulerkan, pasti disambar demi memenuhi pundi-pundi. Tinggal pengguna twitter lain saja yang menebak-nebak, apakah cuitan tersebut tulus dari hati, atau karena ada uang menanti di akhir?.

Saya sendiri iseng bertanya pada sejumlah influencer terkait guideline mereka dalam bekerja. Apakah harus menonjolkan perbedaan proyek bayaran dan yang tulus dari hati? Atau biarkan saja masyarakat dalam bayang-bayang?.

Jawabannya berbeda-beda. Seorang buzzer yang meminta identitasnya dirahasiakan memberitahu saya kalau semua kembali ke pribadi masing-masing dan tidak ada yang bisa berbicara atas nama yang lainnya. “Soalnya memang belum ada aturan bakunya,” katanya.

Namun ia sendiri memilih untuk ‘memperingatkan’ cuitannya mungkin bermuatan advertorial.

Pendengung lain, Aulia Masna, melihat penambahan di biodata tidak akan berdampak banyak. “Belum cukup karena yang dilihat orang adalah post-nya, bukan profil pengirim,” kata dia.

Ia sendiri tidak mempublikasikan dirinya sebagai seorang buzzer, karena memang mendengung ia lakukan hanya sebagai pekerjaan sampingan. Pemilik akun @amasna ini hanya mengambil proyek yang menurutnya ‘nyaman’ dan berjalan selaras dengan pandangannya. Sebelum menyetujui berdengung untuk klien tertentu, ia mencari tahu terlebih dulu latar belakang mereka.

“Jadi saya menjadi peserta yang terinformasi, saya juga jadi bisa menjawab saat ada orang yang bertanya terkait produk ataupun kampanye ini sendiri,” kata dia.

Aulia melihat banyak influencer yang hanya berbicara tentang suatu produk, tanpa pengetahuan mendalam. Mereka hanya bergantung pada apa yang tertera di briefing. “Ini sangat disayangkan,” kata dia.

Menurut dia, hal ini juga lah yang terjadi pada kasus #NoWitchKarHut lalu. Ada dua kubu yang berseberangan, satu meminta maaf karena lalai dan tidak mencari info terlebih dulu; tapi ada juga yang tetap bersikukuh membela diri dan bahkan menyerang mereka yang mempertanyakan acuan moral saat berdengung.

Upaya pemberian garis pembeda tengah berlangsung di luar negeri. Meski bukan kepada influencer twitter tetapi di Instagram. Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat meminta selebriti seperti Kim Kardashian untuk mulai mencantumkan tagar #ad atau #spon di setiap gambar yang merupakan iklan. Dengan demikian, publik tidak akan ‘tertipu’ dan mengira Kim serius menyukai suatu produk.

Perlukah hal senada diterapkan untuk para aktivis jempol di twitter? Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Semua kembali ke kebijakan masing-masing.

Lantas, kalau Anda terjebak dalam kampanye isu yang salah, maka apakah bisa menyalahkan para buzzer? Saya pikir tidak.

Mereka hanya bergaung sesuai permintaan klien, titik. Dampaknya bagaimana? Itu urusan belakangan. Kalau sadar, syukurlah. Kalau tidak, ya, mau apa? Mereka cuma menjalankan kerjanya, kok.

Kadang, urusan fulus dan hati nurani tak dapat berjalan bersama. Harus ada satu yang dikorbankan.

Kalau kamu, kira-kira yang manakah?-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!