ICW: Tren hukuman koruptor semakin ringan dari tahun ke tahun

Jennifer Sidharta

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

ICW: Tren hukuman koruptor semakin ringan dari tahun ke tahun

ANTARA FOTO

Rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya 2 tahun 1 bulan penjara selama periode Januari hingga Juni 2016

JAKARTA, Indonesia — Dari tahun ke tahun, lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) memantau bilamana hukuman koruptor semakin ringan.

Berdasarkan pantauan ICW selama Januari hingga Juni 2016, rata-rata vonis terdakwa korupsi hanya 2 tahun 1 bulan penjara.

Selama periode itu, ICW mencatat ada 325 perkara korupsi dengan 384 terdakwa dengan detil: 

  • 243 perkara – Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
  • 67 perkara – Pengadilan Tinggi
  • 15 perkara – Mahkamah Agung (Kasasi maupun Peninjauan Kembali)

Dari 325 perkara yang dipantau ICW, nilai kerugian negara yang timbul sekitar Rp 1,5 triliun (Rp 1.499.408.896.636,-) dan US$ 219.770.392 (hampir Rp 3 miliar atau Rp 2.916.353.101.840). 

Ada juga suap sejumlah Rp 1.025.000.000, US$272.000, SG $182.700, yang jika ditotal sekitar Rp 6,4 miliar (Rp 6.415.030.638). 

Sementara jumlah denda adalah sekitar Rp 30 miliar (Rp 30.055.000.000) dan jumlah uang pengganti yang harus dikembalikan para koruptor sekitar Rp 456 miliar (Rp 456.138.028.928).

Bukan tren baru

Hal tersebut diungkapkan oleh peneliti ICW, Aradillah Caesar.

“Kita melihat [tren hukuman koruptor yang ringan] terjadi sudah dari dulu sebetulnya, tapi memang tidak kita masukkan, karena apa? Dokumentasinya sulit dicari,” kata Aradillah kepada Rappler, Selasa, 31 Agustus.

“Tren vonis dua tahun, rata-ratanya, tidak jauh beda dari 2012 sampai 2016, tentu kita bisa tarik kesimpulan 2011, 2010, 2009, 2008 trennya juga tidak terlalu jauh berbeda. Ada di sekitar keputusan ringan saja,” kata Arad.

“Tidak mungkin, kan, kalau misalnya di 2010, 2011, 2009, keputusannya berat-berat semua, tiba-tiba 2012 keputusannya ringan?” ujarnya.

“Pasti ada fenomena tertentu, dan fenomena itu tidak pernah ada di tahun 2012. Jadi bisa kita simpulkan, tren keputusan [hukuman] kasus korupsi rendah, sudah terjadi jauh-jauh hari, jadi sejak awal,” katanya.

Catatan ICW tentang tren korupsi di Indonesia 

Dari hasil pantauan sejak Januari 2012 hingga Juni 2016, ICW menemukan 7 permasalahan utama, yaitu: 

1. Hukuman bagi pelaku korupsi semakin ringan dan menguntungkan koruptor

“Bisa jadi hal ini dikarenakan hakim lebih cenderung menjatuhkan hukuman minimal dalam ketentuan Pasal 2 (4 tahun) dan pasal 3 (1 tahun). Vonis hakim yang ringan untuk koruptor pada faktanya hanya akan menguntungkan dan mengurangi efek jera terhadap pelaku,” kata Aradillah.

“Menghukum koruptor seberat-beratnya sudah menjadi jargon semata saat ini, karena prakteknya hakim justru menghukum koruptor dengan seringan-ringannya.” 

2. Jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan ringan 

“Menjadi kurang tepat jika dalam merumuskan tuntutan jaksa cenderung menuntut hukuman paling ringan tanpa perhitungan yang tepat. Dalam tren vonis masih banyak ditemukan disparitas penuntutan. Dalam hal ini masih banyak terdakwa yang dituntut jauh berbeda namun kerugian negara yang ditimbulkan hampir serupa,” kata Aradillah. 

3. Pengenaan denda pidana serta uang pengganti korupsi tidak maksimal 

“Besaran vonis berupa uang pengganti yang harus dikembalikan oleh para koruptor sebesar Rp 456.138.028.928 adalah kurang dari 30 persen dari jumlah kerugian negara yang timbul yaitu Rp 1,5 triliun,” kata Aradillah, merujuk pada data Januari 2016 hingga Juni 2016. 

4. Disparitas putusan 

“Pertama, disparitas putusan pada akhirnya akan mencederai rasa keadilan masyarakat. Disparitas membuat putusan pengadilan menjadi diragukan publik. Hal ini disebabkan karena perkara yang serupa diputus berbeda. Dalam konteks korupsi, disparitas membuka peluang memutus perkara korupsi dengan kerugian negara besar untuk diputus lebih ringan dibandingkan perkara dengan nilai kerugian negara kecil,” kata Aradillah. 

“Kedua, dalam kondisi yang ekstrim, disparitas putusan bisa terjadi karena adanya transaksi jual-beli putusan. Hal ini dikarenakan hakim yang memiliki kemandirian dan independensi dapat memutus sebuah perkara korupsi sesuka hatinya tanpa pertimbangannya yang dapat dipertanggungjawabkan.”

5. Aktor yang paling banyak terjerat korupsi adalah pegawai negeri sipil dan swasta 

“Kedua aktor yang mendominasi putusan pengadilan tipikor mengindikasikan adanya persoalan serius terkait hubungan kedua aktor tersebut dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan,” kata Aradillah. 

6. Tuntutan dan hukuman berupa pencabutan hak masih minim 

“Pengadilan Tipikor dan kejaksaan harus memulai untuk menuntut dan menjatuhkan pidana tambahan baik berupa pencabutan hak politik, pencabutan hak remisi serta dana pensiun,” kata Aradillah. 

7. Pengelolaan informasi di Mahkamah Agung belum memadai 

“Dalam tren vonis masih banyak ditemukan pengadilan yang tidak memperbarui putusan dalam perkara korupsi. Selain persoalan lambannya kinerja pengadilan dalam keterbukaan informasi persoalan lain yang dihadapi adalah masih banyak ditemukan putusan yang tidak terbaca seluruh bagian atau sebagian dari putusan,” kata Aradillah.

—Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!