Polemik kriminalisasi zinah pada ketahanan keluarga

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Polemik kriminalisasi zinah pada ketahanan keluarga
Pihak terkait melihat adanya keberpihakan hakim terhadap pihak pemohon dalam persidangan ini.

 

JAKARTA, Indonesia – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang uji materi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan nomor perkara 46/PUU-XIV/2016. Agenda pada Kamis, 8 September 2016, ini adalah mendengarkan keterangan dari pihak terkait.

Sebanyak 3 lembaga mengajukan diri untuk memberikan pandangan, yakni Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Yayasan Peduli Sahabat, dan Persatuan Istri Islam (Persistri).

Yang pertama memberi kesaksian adalah KPI, diwakili oleh Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartika Sari.

Di hadapan majelis hakim konstitusi dan pemohon, Dian menyampaikan adanya inkonsistensi permohonan yang diajukan dengan semangat yang melandasi. “Justru kalau mempidanakan perzinahan, ketahanan keluarga akan hancur,” kata Dian.

Berdasarkan pengalaman KPI yang mendampingi perempuan-perempuan yang pasangannya berzinah, kebanyakan memilih untuk tidak menempuh jalur hukum. Mereka lebih memilih jalur rekonsiliasi internal.

KPI kemudian mengemukakan pertimbangan dari perempuan-perempuan tersebut. Pertama, adanya ketergantungan ekonomi; menjaga perasaan dan pertumbuhan emosional anak; dan relasi dengan keluarga besar.

“Kalau pezina dipidanakan, stigma sebagai penjahat juga akan berdampak pada keluarganya,” kata Dian. Mereka tak lagi dilabeli pendosa, melainkan penjahat, dan akan dikucilkan oleh masyarakat, bahkan berpotensi kehilangan pekerjaannya.

Dari situ, lanjut Dian, perekonomian keluarganya akan hancur dan justru membuat struktur yang sudah ada menjadi hancur. Belum lagi kalau sampai dipenjara, mengingat kondisi dan iklim lembaga pemasyarakatan di Indonesia masih tidak kondusif.

Karena itu, mereka merekomendasikan supaya MK menolak perubahan atas Pasal 284 KUHP yang mengatur perzinahan. Sikap serupa mereka ambil untuk Pasal 292 yang mempidanakan perbuatan cabul sesama jenis pada anak-anak. Pemohon berharap pasal dapat diperluas hingga mencakup orang dewasa.

Kesewenangan

Dian juga menyoroti potensi pemanfaatan perubahan pasal untuk kepentingan pribadi. Menurut dia, akan ada pihak-pihak yang memanfaatkan hal ini untuk fitnah, hingga menghancurkan reputasi.

“Seperti saya tidak suka dengan seseorang, atau mau merebut pasangannya. Ya saya laporkan saja dia, kemudian saya rebut pasangannya,” kata Dian.

Selain itu, terkait urusan zinah dan moral seperti ini tidak seharusnya dipidanakan. Dian menilai sudah ada pendidikan lewat sekolah ataupun agama untuk urusan moral.

“Tidak perlu semuanya dipidanakan, lah,” kata dia.

Meski demikian, Persistri dan Yayasan Peduli Sahabat berpandangan lain. Mereka menilai tetap perlu ada payung hukum yang menaungi zinah, hingga urusan LGBT.

Ketua Umum Persistri Titin Suprihatin mengatakan perzinahan dan hubungan sesama jenis telah menjadi teror bagi ketahanan keluarga yang berkualitas. Menurut dia, mempertahankan KUHP saat ini sangat bertentangan dengan UUD 1945.

“Banyak masyarakat mempertanyakan kenapa KUHP yang tidak sesuai nilai luhur tidak diubah?” kata dia.

Bila majelis hakim menolak, lanjut Titin, sama saja dengan membenarkan perilaku zinah luar nikah, juga menyukai sesama jenis.

Zinah, lanjut dia, juga berkontribusi pada timbulnya prostitusi, hingga pembunuhan terhadap perempuan.

Sementara Ketua Yayasan Peduli Sahabat Agung Sugiarto mengatakan, perlu ada pembatasan terhadap propaganda LGBT. Lembaganya yang mendampingi para penyuka sesama jenis hingga ‘dapat kembali menyukai lain jenis’, menilai propaganda LGBT ‘meresahkan’ klien mereka.

“Bisa lewat video, atau iklan di media sosial. Ini tak bisa dilarang karena tak ada payung hukumnya,” kata Agung.

Atas kesaksian tersebut, majelis hakim kemudian mempertanyakan nilai-nilai etika dan moral terutama kepada KPI. “Seandainya suami atau istri anda yang berzina, bagaimana sikap anda?” tanya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.

Namun, tanggapan pihak terkait akan diberikan secara tertulis. Sidang akan dilanjutkan pada Kamis, 22 September 2016 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli dari pihak terkait.

Keberpihakan hakim



Secara terpisah, Dian melihat adanya keberpihakan hakim terhadap pihak pemohon dalam persidangan ini. “Kalau melihat tadi hakim mengatakan dirinya sebagai perancang RUU KUHP, dan semangatnya ‘sama dengan permohonan pemohon’,” kata dia.

Hakim yang dimaksud adalah Patrialis Akbar. Menurut Dian, hal tersebut tidak pantas dilakukan di Mahkamah Konstitusi.

Dian menilai ada masalah besar yang tengah dihadapi lewat uji materi ini, yakni upaya mengajukan hukum agama sebagai hukum nasional. “Dia memang pijakannya agama, tetapi mau dijadikan hukum nasional,” kata Dian.

Hal tersebut sangat rawan, mengingat Indonesia bukan milik satu agama tertentu saja. Namun, Titin membantah hal tersebut.

“Negara ini memang bukan negara Islam, tapi dengan nafas dan doa para ulama, Indonesia bisa merdeka. Jangan sampai masih terpengaruh asing,” kata dia.

Bagaimanapun juga, dalam Pasal 1 UUD 1945 ayat 3, Indonesia disebut sebagai negara berlandaskan hukum konstitusional, yang telah disepakati bersama. Bukan atas desakan pihak ataupun kaum dengan kepentingan tertentu.-Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!