Profil: Shierly Megawati Purnomo, cahaya kebajikan dari keheningan

Kafil Yamin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Profil: Shierly Megawati Purnomo, cahaya kebajikan dari keheningan
'Bahkan sehelai daun yang sedang melambai-lambai memberi manfaat dan memainkan sebuah peran'

 

BANDUNG, Indonesia – Hidup berkecukupan. Badan sehat. Keluarga terurus baik. Tinggal berujar ala pemeran film-film Hollywood: Everything is fine, sambil menebar senyum. Bukan?

Kalau sekedar berujar begitu, sambil tersenyum, ya bisa saja – dan gampang. Tapi keresahan dalam hati tak hilang oleh kepura-puraan seperti itu.

“Saya resah. Saya benar-benar resah. Tak tahu mengapa,” kata Shierly Megawati Purnomo, pendiri dan pengelola EcoLearning Camp di kawasan Dago, Bandung.

Lalu terpikir olehnya bahwa mungkin keresahan itu disebabkan karena ia jauh dari agama. Ia pun berusaha menjadi seorang penganut agama Katolik yang baik, dengan melaksanakan semua kewajiban ritual agama.

Tapi itu tak banyak mengurangi keresahannya. Pertanyaan yang paling menyiksa dirinya adalah: “Apa manfaat aku untuk kehidupan?”

Apa yang lebih menyiksa dari perasaan tidak berguna?

Dalam permenungan, ia melihat sekelilingnya: Pohon, angin, serangga, burung dan aneka satwa; semua memberi sumbangsih pada hidup beserta keindahannya.

“Bahkan sehelai daun yang sedang melambai-lambai memberi manfaat dan memainkan sebuah peran,” kata istri Alex AP Iskandar ini.

Hei, bukankan ini berarti Tuhan sedang mengatakan sesuatu padanya? Melalui alam sekeliling? Tiba-tiba ia merasa semua yang terjadi di sekelilingnya sebagai keajaiban. Dan betapa ia merasa selama ini telah mengabaikannya dan melewatkannya begitu saja.

“Saya merasa kurang memberi kepada kehidupan, kepada sesama makhluk. Saya selama ini hanya memikirkan kenyamanan diri sendiri. Dan ini sumber keresahan saya,” cerita ibu dari Maria Alexandra, 18 tahun, dan Benedict Rafael, 15 tahun, ini.

Alam mengajarkan kasih tanpa pamrih; menumbuhkan berbagai kebutuhan manusia. Sejak saat itu, ia seperti ‘dibangunkan’. Ia mulai mendengar bahasa alam, merasakan sedih dan gembiranya. Ia berguru kepada alam.

Jiwa yang sudah tercerahkan ini kemudian bergetar, dan gelombangnya bertemu dengan gelombang-gelombang yang mencari frekuensi yang sama, frekuensi kasih dan kebajikan. Wanita kelahiran 1967 ini pun berkenalan dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan tokoh spiritual dunia, antara lain Thich Nath Hanh.

Tentu, frekuensi itu pun mempertemukannya dengan teman-teman seiring di dekatnya, yang kemudian berhimpun di Eco Learning Camp yang didirikannya pada 2002.

Kini, Eco Camp makin hari makin banyak didatangi orang-orang yang mencari kesejatian hidup. Tempat orang belajar memahami bahasa keheningan, bersukacita tanpa keriuhan, berekspresi tanpa menyakiti, beramal tanpa kejumawaan.

Seperti diungkapkan Shierly, Eco Camp adalah “tempat untuk mengubah tanah kering berbatu penuh sampah dan debu, menjadi tanah yang gembur dan subur. Sehingga bila benih kebaikan ditabur, tumbuhlah bunga-bunga kebaikan yang elok semerbak mewangi.”

Eco Camp tampaknya telah menjadi tungku yang terus menyala, menghasilkan makin banyak makanan dan perjamuan jiwa yang menyehatkan. Dan makanan jiwa ini terus menyebar dan meluas, bersama energi kebajikan yang terkandung di dalamnya.

Tungku itu terus menyala, menimbulkan kehangatan kasih di antara sesama makhluk Tuhan. – Rappler.com.

BACA JUGA

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!