Apakah pemblokiran Grindr merupakan solusi?

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Apakah pemblokiran Grindr merupakan solusi?
Pemblokiran aplikasi bukanlah solusi. Pemecahan masalah seharusnya menerapkan pidana seberat-beratnya untuk pedofilia

JAKARTA, Indonesia — Roni (bukan nama sebenarnya) asyik menelusuri foto-foto pria yang muncul di layar telepon genggamnya. Sesekali pegawai public relations di perusahaan swasta ini tersenyum.

“Sekarang mencari teman kencan jadi lebih gampang,” katanya kepada Rappler, beberapa waktu lalu. “Hanya modal smartphone dan basa-basi sedikit sudah bisa bertemu calon pacar.”

Roni pun membuktikannya. Ia mengirimkan pesan singkat kepada salah satu pria yang fotonya ada di layar telepon genggam. Kepada pria tersebut ia menulis, “Hi.”

Benar saja. Tak sampai sepeminuman teh, pria tersebut membalas: “Hi juga.”

Roni dan Pria tersebut tak saling mengenal. Namun mereka terhubung dengan aplikasi Grindr. Ini adalah aplikasi untuk mencari teman kencan sesama jenis.

Dengan aplikasi ini Roni bisa mencari teman kencan sesama jenis dengan hanya menggerak-gerakkan jempolnya di layar telepon. Hebatnya lagi, dengan mengaktifkan fitur GPS, aplikasi ini pun bisa mencari calon teman kencan terdekat.

Bagi Roni yang memiliki orientasi seksual terhadap sesama jenis, aplikasi ini memang sangat memudahkannya mencari pasangan.

Namun tak semua pengguna aplikasi Grindr adalah pemburu teman kencan. Ada juga yang memanfaatkanya sekedar untuk mencari komunitas.

Amahl Azwar adalah salah satunya. Penulis dan kolumnis ini mengatakan aplikasi Grindr membantunya “mencari people like me”.

“Saya berusaha menemukan komunitas di mana saya bisa bergaul tetapi masih menjadi diri saya sendiri,” tulis Amahl di kolom opini Rappler beberapa waktu lalu.

Sayangnya, Roni dan Amahl Azwar sepertinya tidak akan lama lagi menikmati Grindr. Sebab Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim) Mabes Polri berniat memblokir aplikasi ini setelah disalahgunakan untuk kasus kriminal.

Pada akhir Agustus lalu, polisi menangkap sindikat penyalur prostitusi anak di bawah umur di Cipayung, Jawa Barat. Dalam penggerebekan tersebut, polisi mengamankan mucikari berinisial AR (41 tahun).

Ia diduga menjual anak-anak tersebut kepada pelanggan dengan harga Rp 1,2 juta. Polisi kemudian mengembangkan kasus ini dengan menangkap tiga mucikari lain plus seorang pelanggan. Jumlah anak di bawah umur yang menjadi korban mereka cukup mencengangkan: 148 anak. (Lini masa kasus prostitusi online)

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Brigjen, Agung Setya, ‎mengatakan salah satu cara yang digunakan AR untuk menjual anak-anak tersebut adalah dengan memakai aplikasi media sosial, salah satunya Grindr.

Atas dasar inilah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri kemudian meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memblokir aplikasi-aplikasi tersebut.

Saat ini Kemenkominfo tengah menganalisa apakah ke-18 aplikasi yang diminta oleh Badan Reserse Kriminal Polri melanggar Undang-Undang Informatika dan Transaksi Elektronik.

“Kalau itu melanggar hukum di Indonesia, kami harap Kemenkominfo bisa lakukan langkah-langkah lebih lanjut,” kata Agung melanjutkan.

Langkah Badan Reserse Kriminal Polri ini didukung anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Reni Marlinawati.

Kemenkominfo, kata Reni, harus bersikap lebih aktif untuk menelusuri konten pornografi. Selain itu pengawasan terhadap konten internet juga perlu diperketat. “Penegak hukum agar menindak tegas prostitusi online berbasis media sosial,” kata Reni.

Namun pengguna Grindr tak tinggal diam. Mereka memprotes rencana penutupan aplikasi. “Berhentilah mencampuri kehidupan pribadi warga negara,” kata Aga, seorang pengguna Grindr, kepada Rappler.

Pria 28 tahun yang bekerja di firma hukum Jakarta ini mengatakan prostitusi online yang melibatkan anak-anak memang salah, namun memblokir Grindr juga bukan solusi tepat. Sebab Grindr hanyalah medium.

“Anda juga bisa menjual anak-anak di Google atau Twitter, kenapa itu juga tidak diblokir juga?” kata Aga.

Desakan agar aplikasi Grindr ditutup, menurut Aga, hanya akan menambah pelik diskriminasi kepada kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgendr (LGBT) di Indonesia.

Sebelumnya Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M. Nasir pernah berencana melarang LGBT masuk di kawasan kampus karena khawatir mereka akan melakukan perbuatan tak senonoh.

Sikap M. Nasir ini ditanggapi dingin oleh peneliti hak LGBT di Human Rights Watch (HRW), Kyle Knight. Kyle mengatakan gelombang anti-LGBT menjadi dahsyat karena tak hanya disuarakan oleh masyarakat, tapi juga oleh pejabat publik.

Aga sendiri menilai solusi dari prostituasi online yang melibatkan anak-anak adalah dengan penegakkan hukum.”Pidana seberat-beratnya untuk pelaku pedofilia,” kata Aga.

Hukuman untuk pelaku pedofilia sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1 tahun 2016, sebagai perubahan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam aturan tersebut disebutkan pelaku pedofilia yang terbukti bersalah bisa dipenjara maksimal 15 tahun. Bahkan jika korban lebih dari satu orang dan mengakibatkan luka berat atau gangguan jiwa, pelaku bisa diancam hukuman mati.

Dalam Perppu itu juga terdapat sanksi tambahan bagi pelaku, yaitu kebiri dengan menggunakan zat kimia dan pemasangan alat deteksi elektronik.

Jika aturan ini benar-benar ditegakkan, sangat mungkin pelaku pedofilia akan berpikir berulang kali sebelum melakukan aksinya. Prostitusi online yang melibatkan anak-anak sangat mungkin juga akan berkurang.

Sehingga Grindr tak perlu diblokir. Pihak Grindr sendiri sampai saat ini belum memberikan respon atas rencana penutupan aplikasi mereka oleh pemerintah.

Rappler telah mencoba menghubungi Grindr untuk meminta keterangan. Namun hingga tulisan ini diturunkan, kami belum mendapatkan jawaban. —Rappler.com

. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!