Relokasi tanpa dialog ala Jakarta

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Relokasi tanpa dialog ala Jakarta

ANTARA FOTO

Keberatan warga tak hanya pada proses pra dan saat relokasi dilakukan. Ada juga yang mengeluhkan kompensasi yang diberikan.

JAKARTA, Indonesia – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menggelar diskusi mengenai relokasi yang tengah gencar dilakukan di Jakarta. Bersama dengan warga, perwakilan pemerintah daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), mereka membicarakan tentang keadilan HAM bagi warga korban.

“Seharusnya Pemerintah Provinsi sudah memikirkan HAM para warga dari sebelum, saat, dan sesudah penggusuran,” kata Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas di kantornya pada Kamis, 15 September 2016. Ia melihat ada perbedaan yang kontras dari Pemprov saat ini dibanding periode sebelumnya, ataupun dengan daerah lain.

Tanah Abang dan Gang Dolly

Hafid menceritakan pengalamannya mendampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menutup lokalisasi Gang Dolly. Saat itu, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini berkali-kali turun ke lapangan dan berdialog langsung dengan penghuni yang ada.

Cara serupa juga diterapkan Presiden Joko Widodo saat ia masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012 lalu. Saat hendak merelokasi pedagang di Tanah Abang, Jokowi tak segan-segan menemui dan duduk bersama mereka.

“Dengan cara itu relokasi bisa berjalan damai,” kata Hafid.

Keterlibatan tersebut yang tak lagi dilihatnya sekarang.

Anggota DPRD DKI Syarif membenarkan ucapan Hafid dengan menceritakan pengalamannya. Politisi Partai Gerindra ini turun melihat relokasi warga di Rawajati beberapa waktu lalu.

Menurut dia, tak ada pemimpin kegiatan tersebut yang terlihat. “Saya cari Walikota, tidak ada, katanya lagi menemani istrinya operasi. Sampai Camat juga tidak ada, cuma ada aparat,” kata dia.

Syafri menilai cara tersebut menunjukkan tak adanya niatan Pemprov untuk berdialog dengan warga. “Ditutup aksesnya,” kata dia.

Proses sosialisasi dan kompensasi

Dalam kesempatan tersebut, warga juga menyampaikan aspirasi mereka kepada wakil Pemprov yang hadir. “Kami tidak tahu tiba-tiba saja keluar SP1, dibilang bukan tanah kami, padahal sudah puluhan tahun kami tinggal di situ,” kata Rahma Diani, yang mengaku sebagai warga dari Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara.

Namun, mereka dipersulit untuk mendapat sertifikat dan surat tanah. Padahal, bila sudah menempati suatu daerah selama lebih dari 20 tahun, maka warga berhak untuk mempunyai hak milik.

Ia juga mengkritik cara Pemprov mengusir warga dari tempat tinggal mereka. Rahma mengatakan, ada 4.300 aparat yang turun, gabungan dari TNI, Kepolisian, dan Satpol PP, dan mengepung warga.

“Buat apa coba seperti itu? Kami ditekan dan dipaksa pergi,” kata dia.

Keberatan warga tak hanya pada proses pra dan saat relokasi dilakukan. Ada juga yang mengeluhkan kompensasi yang diberikan.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama memang memberikan unit di rusunawa bagi warga ber-KTP Jakarta yang kehilangan rumahnya. Namun, banyak yang mengeluhkan kondisi rusun yang tidak layak tinggal.

Salah satu eks-warga Kalijodo, Leonard Eko Wahyu, menjabarkan kondisi rusun yang didapat rekan-rekannya. “Kalau yang di Marunda, mau ke Jakarta saja bisa 3,5 jam sendiri. Itu juga ada unit yang atapnya bocor, sampai, maaf, tahi aja netes,” kata dia.

Hal tersebut, katanya disebabkan Pemprov yang terburu-buru melakukan relokasi saat lokasi tinggal pengganti belum siap. Menurut dia, wajar bila banyak warga korban yang keberatan untuk dipindahkan.

Bahkan, hingga saat ini pun masih banyak warga yang memilih tinggal di tenda daripada pindah ke rusunawa. Pemandangan ini tampak di bekas Kampung Akuarium, maupun Kalijodo.

Total angkanya bisa mencapai ratusan Kepala Keluarga (KK). Leo mengklaim ada 390 KK yang tinggal di kolong jembatan tol seberang Kalijodo.

Rahma sendiri adalah salah satu yang memilih untuk bertahan di tenda-tenda masyarakat bekas Kampung Akuarium. “Saya merasa itu tanah saya kok,” kata dia.

Hak warga

Menurut Hafid, pemerintah tidak boleh langsung lepas tangan seusai relokasi. Mereka harus memastikan 7 hak terpenuhi, yakni: akses makanan, lokasi layak tinggal, ada pakaian, tidak ada barang yang hilang, hak anak untuk sekolah, pemisahan keluarga, dan pemulihan trauma psikis.

“Kalau ada yang kehilangan tempat kerjanya juga harus diganti,” kata dia. Ia sendiri menilai tidak semua kompensasi yang diberikan oleh Pemprov saat ini sudah memenuhi persyaratan tersebut.

Namun, menurut Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kota Jakarta Utara Dewi Sartika hal tersebut sudah dilakukan di setiap relokasi. Pemberitahuan dilakukan secara berkala dan Pemkot pun memfasilitasi dialog dengan warga.

“Setelah relokasi juga kami memberikan makan 3 kali sehari bagi warga korban,” kata dia. Pernyataan ini pun disambut riuh bantahan warga. Mereka menuding Pemkot berbohong.

“Makanan dari mana, ke siapa!? Kami tak pernah terima!” teriak Rahma. Namun, pihak Pemkot enggan menanggapi protes warga ini.

Kasus-kasus relokasi yang ada saat ini memang tengah menjadi polemik tersendiri. Banyak yang mengatakan warga yang menolak tak tahu terima kasih, sementara mereka yang menjadi korban memiliki pertimbangan tersendiri. Bagaimanapun juga, tetap menjadi kewajiban pemerintah untuk menjamin keberlangsungan hidup warganya, siapapun dan apapun statusnya. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!