Indonesia

5 Temuan penting Tim Gabungan Pencari Fakta testimonial Freddy Budiman

Santi Dewi

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

5 Temuan penting Tim Gabungan Pencari Fakta testimonial Freddy Budiman

ANTARA FOTO

Selama bekerja 1 bulan, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) belum menemukan aliran dana dari terpidana mati Freddy Budiman ke para pejabat BNN, Polri dan TNI

JAKARTA, Indonesia – Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh Mabes Polri pada Kamis, 15 September mengungkap 5 temuan penting usai mengumpulkan data untuk membuktikan testimonial yang pernah disampaikan oleh terpidana mati, Freddy Budiman. Tim yang dipimpin oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komjen Pol Dwi Priyatno, telah bekerja sejak tanggal 9 Agustus lalu dan berakhir pada 9 September.

Sebelum memaparkan hasil temuannya, salah satu anggota yakni Direktur Setara Institute, Hendardi menyebut hasil temuan mereka bukan berupa penyelidikan dan penyidikan pro yustisia.

“Ini merupakan pengumpulan fakta yang akan dipakai oleh Kapolri sebagai pengguna untuk mengambil langkah-langkah strategis terkait temuan-temuan TGPF,” ujar Hendardi ketika memberikan keterangan pers di Rektorat PTIK, Kebayoran Baru, pada Kamis, 15 September.

Anggota tim lainnya yakni Effendi Gazali, menyebut temuan mereka dapat dipercaya lantaran dilakukan secara independen. Dalam beberapa kesempatan, bahkan mereka diizinkan tidak didampingi personil kepolisian untuk menggali keterangan semua narasumber yang ada.

“Jadi, proses di dalam sangat independen. Kami memperoleh jaminan dan Kapolri dan pimpinan tim, sehingga bisa memperoleh pengakuan genuine,” katanya lagi.

Berikut 5 temuan penting dari TGPF:

1. Haris Azhar tidak keliru mengutip informasi dari Freddy Budiman

Dalam waktu yang sangat pendek yakni hanya satu bulan, TGPF berhasil meminta keterangan dari 64 individu. Mereka terdiri dari 40 orang eksternal Polri seperti petugas lembaga pemasyarakatan (Lapas), kalapas, karyawan dan unsur-unsur lain serta 24 orang internal dari Polri.

Direktur Setara Institute, Hendardi, menjelaskan untuk mendapatkan keterangan yang kongkrit, tim sampai harus melakukan simulasi bagaimana saat Freddy bertemu Ketua KontraS, Haris Azhar tahun 2014 lalu.

“Ini menjadi penting, karena yang disampaikan oleh Haris Azhar bersumber dari kesaksian Freddy Budiman, lalu disebar luaskan melalui media sosial pada tanggal 28 Juli,” kata Hendardi. (BACA: Curhatan Freddy Budiman sebelum dieksekusi: Pernah suap personil Polri dan BNN)

Berdasarkan rekonstruksi itu disimpulkan bahwa apa yang disampaikan oleh Haris di media sosial, dikutip secara benar dari Freddy. Walaupun, menurut Hendardi, apa yang disampaikan Freddy belum tentu bisa diklaim sebagai suatu kebenaran.

Namun, tim menyayangkan mengapa Haris baru menyampaikan testimonial justru 3 hari sebelum gembong narkoba itu dieksekusi.

“Sebab, jika disampaikan dari jauh hari, maka tim bisa menggali lebih jauh keterangan dari Freddy. Selain itu, Freddy masih hidup, sehingga lebih mudah untuk dikonfirmasi,” ujarnya lagi.

2. Belum ditemukan aliran dana dari Freddy ke para pejabat

Dalam informasi yang ditulis oleh Haris di media sosial, disebut ada aliran dana dari Freddy ke beberapa pejabat seperti Polri, TNI dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Menurut Effendi Ghazali, selama 30 hari bekerja, tim belum menemukan adanya aliran dana dari Freddy ke para pejabat itu.

Informasi tersebut juga sudah dicek melalui data yang disampaikan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Kapolri, Tito Karnavian. Tim juga sudah memeriksa pledoi yang pernah disampaikan oleh pengacara Freddy. Hasilnya, tidak pernah ada cerita mengenai aliran dana.

Isi pledoi yang disampaikan oleh pengacara Freddy hanya meminta keringanan hukuman.

Sementara, dari temuan TGPF, ada satu aliran dana yang diterima oleh seorang perwira menengah kepolisian berinisial KPS dari tersangka kasus narkoba, Akiong. KPS menerima aliran dana sebesar Rp 668 juta.

“Akiong ini merupakan tersangka lain yang tidak ada hubungan dengan dugaan aliran dana Freddy Budiman. Metodenya, dengan cara mengambil uang dari rekening bank lalu ditransfer ke money changer, seakan mau membeli uang asing, lalu dibatalkan. Uangnya ditarik senilai Rp 668 juta,” kata Effendi di tempat yang sama.

KPS, ujar Effendi melanjutkan, sudah mengakui adanya aliran dana tersebut.

“Dia kini tengah diperiksa oleh Propam Mabes Polri,” katanya.

Proses penggalian informasi yang dilakukan TGPF juga menemukan ada 5 indikasi aliran dana yang diterima oleh personil Polri. Nominalnya bervariasi yakni Rp 25 juta, Rp 50 juta, Rp 75 juta, Rp 700 juta dan di atas Rp 1 miliar.

“Tetapi, sekali lagi, aliran dana tersebut bukan berasal dari Freddy Budiman,” tutur Effendi.

3. Tidak pernah ke Tiongkok

Dalam pengakuannya, Freddy mengaku pernah ikut mendampingi pejabat BNN ke Tiongkok untuk menunjukkan di mana lokasi pabrik narkoba yang produknya dia impor ke Indonesia. Namun, menurut salah satu anggota Kompolnas, Poengky Indarti yang ikut di dalam TGPF, justru menemukan fakta sebaliknya.

“Kami telah menanyakan kepada adik dan teman-teman Freddy. Menurut mereka, Freddy tidak pernah ke Tiongkok, bahkan punya paspor pun tidak. Dia juga tidak bisa berkomunikasi dalam Bahasa China dan tidak memiliki koneksi dengan produsen narkoba di sana,” tutur Poengky di tempat yang sama.

Untuk bisa menjalankan usahanya, kata Poengky, Freddy menggunakan pihak ketiga untuk berkomunikasi.

“Bahkan, impor narkoba yang dipesan Freddy ada yang belum dibayar oleh Freddy. Artinya, narkoba itu tiba dulu di Indonesia, baru kemudian uang dikirim ke Tiongkok,” tutur dia.

4. CCTV di lapas masih terpasang

TGPF juga berkunjung ke Lapas Batu di Nusakambangan, di mana Freddy sempat ditahan. Mereka meninjau secara langsung ruang kepala lapas, sel tempat Freddy ditahan dan area tempat pemasangan kamera pengawas (CCTV).

“Ketika kami datang, CCTV itu masih terpasang,” kata Effendi.

TGPF juga bertemu mantan kepala lapas Nusakambangan, Liberty Sitinjak yang kini bertugas di Nusa Tenggara Timur (NTT). Sitinjak mengungkap ada satu tim yang pernah berkunjung ke Nusakambangan dan terkejut ketika melihat area lapas telah dipasangi CCTV.

“Saat itu, Sitinjak mengaku baru saja selesai beribadah dan tidak disalami oleh tim tersebut. Mereka mengatakan 4 dan 6 kata penting: ‘kami jadi kehilangan kendali’ dan ‘pake pasang-pasang CCTV segala sih’”, tutur Effendi menirukan kalimat Sitinjak.

Lalu, siapa individu yang mengatakan hal itu? Menurut Effendi data tersebut hanya dipegang oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

“Pak Sitinjak mengaku bekerja dalam sebuah institusi yang terstruktur. Sehingga, dia sudah melaporkan itu ke atasannya. Identitas individu itu, kini ada di tangan Menkum HAM,” katanya.

TGPF juga menemukan fakta Kemkum HAM sempat merekam video testimonial dari Freddy 24 jam sebelum dia dieksekusi regu tembak. Semula, petugas Kemkum HAM enggan mengungkap hal itu.

“Tetapi, usai dilakukan pendekatan secara kualitatif selama 90 menit, mereka perlahan-lahan mau berbicara. Kami sudah menonton video itu setelah menyalin dari Kemkum HAM,” tutur pria yang juga menjadi pengajar di Universitas Indonesia itu.

Selain Kemkum HAM, keluarga Freddy juga sempat merekam video pada Kamis, 28 Juli. Bahkan, berdasarkan keterangan adik Freddy, Jhony Suhendar yang juga ditahan karena kasus narkoba, kakaknya sempat membuat surat wasiat. Sayang, surat wasiat itu belum diserahkan oleh pihak keluarga sampai saat ini.

“Padahal, keluarga sudah menjanjikan akan menyerahkan surat wasiat pada tanggal 8 September. Tapi, hingga saat ini, kami belum terima,” tuturnya.

5. Praktik tukar kepala

Di saat TGPF mencari informasi untuk membuktikan testimonial Freddy, justru mereka menemukan fakta lainnya. Ternyata, ada satu terpidana mati yang dijebak oleh Freddy.

Menurut Effendi, Freddy pernah meminta tolong kepada seorang individu bernama Teja agar ketika bertemu orang lain di sebuah restoran untuk mengaku sebagai Rudi.

“Tujuannya, agar orang lain yang sesungguhnya bernama itu bisa lepas. Akhirnya, Teja diproses karena terkait dengan temuan ekstasi sebanyak 1,4 juta pil,” ujar Effendi.

Dari yang semula hanya berstatus saksi, status Teja malah ditingkatkan menjadi tersangka lalu terdakwa. Selama menjalani proses peradilan, Teja justru tidak dibantu oleh Freddy. Beberapa pihak yang ditemui TGPF juga sudah membenarkan cerita itu.

“Freddy justru tidak membela dan malah menjebloskan Teja,” tutur dia.

Yang lebih parah, jaksa dalam kasus itu meminta bayaran dan istri Teja untuk menemaninya karaoke.

“Tetapi, uang yang diberikan ternyata tidak sesuai, maka Teja pun dijatuhi hukuman mati. Orangnya masih ada dan kini ditahan di Lapas Cipinang,” ujar Effendi.

Kendati tidak terkait secara langsung dengan testimonial Freddy, namun TGPF telah meminta agar Polri menyelidiki kembali kasus Teja. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!