Serunya berbincang dengan Reza Rahadian

Yetta Tondang

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Serunya berbincang dengan Reza Rahadian
Saat Reza Rahadian bicara soal kepeduliannya terhadap dunia pendidikan, sosial, lingkungan hidup dan banyak lagi

JAKARTA, Indonesia – Banyak hal yang dibagi oleh seorang Reza Rahadian saat datang menjadi pembicara di acara Social Good Summit 2016 di The Warehouse, Plaza Indonesia, Kamis, 29 September sore ini.

Tak banyak yang mengetahui bahwa selain dikenal sebagai salah satu aktor terbaik di Tanah Air, Reza juga adalah salah satu SDG’s Mover dari UNDP. Reza juga sudah pernah terlibat di proyek Bring Water for Life dari UNDP dan berkesempatan mengunjungi Sumba, Nusa Tenggara Timur.

 

“Saya berangkat ke Sumba bersama Eva Celia. Saya melihat dan ngobrol bersama warga setempat. Banyak fakta menarik juga bagaimana kondisi daerah di Indonesia Timur. Agak ironis karena ternyata kita masih punya banyak daerah yang kekeringan,” kata Reza.

Setelah kunjungannya ke Sumba itu, Reza pun berkisah bahwa banyak orang yang mulai bertanya-tanya dan ingin memberi bantuan juga. “Kalau sudah melihat langsung di lapangan, ada sesuatu yang sebenarnya bisa kita lakukan. Bukan sebuah hal yang rumit. Saya enggak bicara jutaan rupiah, bukan soal uang. Apa yang menjadi kemampuan masing-masing, itu bisa jadi sumbangsih yang tepat.”

Reza menyebut, ada 17 sub sektor yang menjadi poin Sustainable Development Goals UNDP dan semua bisa mengambil bagian di bidang yang dirasa cocok. Seperti Reza, dia mengaku lebih banyak bergerak dari sisi kreatif.

“Mudah-mudahan ini bisa jadi semangat anak muda di Indonesia kalau kita bisa berbuat banyak untuk sesama. Tapi yang mau saya garis bawahi, untuk urusan kesejahteraan, kemanusiaan dan memerangi kemiskinan, saya tidak pernah akan bicara soal agama. Tapi soal tenggang rasa dan kemanusiaan.”

Tahun emas perfilman

 

Bicara soal dunia kreatif, Reza mengamini bahwa tahun ini bisa dikatakan sebagai tahun emas orang kreatif, khususnya perfilman. Ada banyak juga film Indonesia yang mengangkat salah satu atau beberapa isu di 17 poin SDG. Meski begitu, Reza tahu tak mudah untuk mengangkat tema yang banyak dinilai ‘kurang menjual’ ke dalam film.

“Waktu itu saya bikin film Mirror Never Lies, soal penyelamatan lumba-lumba dan biota laut. Jatahnya cuma 5 layar karena itu proyek sukarela tanpa keuntungan. Sebuah charity untuk bikin awareness. Penontonnya tidak lebih dari 40 ribu.”

“Jadi memang tidak mudah menjual film dengan message 17 gol itu unless kita bisa menyelipkan. Sejauh ini ada Laskar Pelangi dan Athirah. Rudi Habibie juga cukup berpengaruh kalau melihat respon positif anak-anak muda,” jelas Reza.

Reza pun berusaha untuk berperan di film yang sedikit banyak menyisipkan pesan positif. “Satu tahun tidak harus lima film tapi at least ada satu film yang bicara soal pendidikan atau kemanusiaan, lingkungan hidup dan lainnya.”

Pentingnya dunia pendidikan

Satu topik yang menjadi concern utama Reza adalah pendidikan. Terutama pendidikan dasar. Reza melihat pengalamannya yang tidak mengenakkan di Sekolah Dasar sebagai bahan refleksi penting untuk melihat sistem pendidikan saat ini.

“Pengalaman saya di SD tidak menyenangkan karena selalu mendapat pressure dari guru.  Hanya karena anak murid kesusahan membayar uang sekolah atau terlambat, semua ditekan. Enggak bisa ulangan dan lain-lain. Saya mengalami itu. Seharusnya itu tidak terjadi. Seharusnya tugas anak cuma belajar,” kata Reza lagi.

Menyinggung soal pendidikan, Reza sempat ditanyai pandangannya soal full day school. Ia pun langsung bereaksi. “Menteri Pendidikan sekarang sudah saya todong mau ketemu tapi belum ketemu. Kalau ketemu saya pengin tahu. Ngapain seharian sekolah?. Full day school enggak menjamin setelah seharian belajar akan jauh lebih pintar.”

Menurut Reza, saat ini mungkin yang sudah dilupakan adalah mengajarkan anak-anak soal moral dan pentingnya ideologi Pancasila. Sepertinya harus kembali ke dasar itu baru semua bisa maju ke depan. “Jadi tidak melulu soal ranking saja.”

Tak hanya soal pendidikan dasar, Reza juga sempat sumbang pikiran soal pendidikan tinggi. Terutama menyoroti fenomena banyaknya mahasiswa Indonesia yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri.

“Kalau negara ini bisa bertanggungjawab dengan dunia pendidikannya, mahasiswa juga enggak mau jauh-jauh dari keluarga juga. Selalu ingin kembali pulang at the end of the day. Cara negara lain memperlakukan mereka setelah lulus, itu yang bikin mereka susah baik ke Indonesia.”

Tapi yang terpenting adalah rasa cinta. “Menanamkan rasa cinta pada pelajaran yang mereka pelajari. Bukan serba wajib harus ini harus itu, sehingga rasa cinta mereka hilang. Saya mempelajari seni peran karena saya cinta. Bagaimana mencintai semua materi pelajaran. Ada hal-hal yang tak harus dipaksa. Hilangkan format memaksa pada anak. Itu kalau saya.”

Pengguna media sosial harus bertanggungjawab

Untuk urusan media sosial, Reza mengaku tidak bisa banyak berkomentar mengingat dirinya bukanlah pengguna aktif media sosial. Bahkan Reza sadar dirinya kerap dibilang kuper alias kurang pergaulan.

“Tidak ada yang salah dengan sosmed. Banyak yang terbantu dengan sosmed. Sebagai media komunikasi itu benar. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana tanggungjawab tiap-tiap individu yang bebas berekspresi. Rasa-rasanya ada yang kebablasan sedikit. Berekspresi harus punya tanggung jawab. Punya etika,” ungkap Reza.

Baginya, cara komunikasi terbaik adalah dengan bertatap muka dan berbicara langsung. “Saya senang ngobrol. Lebih suka interaksi lebih senang ngobrol. Saya enggak betah berlama-lama di device. Saya berkarya hampir 11 tahun dengan atau tanpa sosmed, berjalan saja.”

Satu yang disukai Reza adalah menulis. Bahkan ia mengaku menyimpan jurnal pribadi. “Saya selalu menulis jurnal selama 9 tahun terakhir. Dengan siapa saya bertemu, apa yang saya dapat dari orang itu.  Ada rencana dibuat buku tapi belum tahu kapan. Saya sudah punya partner, Mas Garin Nugroho yang menyambut baik ide saya itu. Mungkin tahun depan. Doakan saja,” kata Reza.

Belum terpikir membangun yayasan sendiri

Ditunjuk sebagai salah satu SDG’s Mover dan memiliki kepedulian besar terhadap banyak hal sosial tak lantas membuat Reza memiliki keinginan untuk merintis yayasan sosial miliknya sendiri.

Menurutnya, masih banyak yang bisa dilakukan saat ini dengan bekerjasama dengan yayasan lainnya. Ia lebih suka membangun jaringan yang baik dengan banyak orang dari banyak bidang untuk mendukung lebih banyak lagi gerakan-gerakan sosial.

Seperti yang dilakukan Reza saat ia mengumpulkan dana untuk kegiatan Bring Water for Life yang digagas UNDP. “Saya bantu sosialisasi, lewat Kitabisa.com juga, terus dibantu exposure media. Tapi yang terbaik, sih, saya langsung memalak teman-teman saya untuk berkontribusi. Terutama setelah saya tahu targetnya apa, butuh berapa, saya lebih gampang minta ke teman-teman.”

Mengumpulkan dana memang tidak mudah. Tapi karena kerja keras dan networking, Reza bisa melakukannya dengan baik. Dalam waktu 4-5 hari saja, ia mengumpulkan Rp 68 juta. “Ada pihak swasta juga yang membantu saat jelang deadline. Akhirnya proyeknya berjalan.”-Rappler.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!