Buah simalakama di balik kenaikan cukai tembakau

Sakinah Ummu Haniy

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Buah simalakama di balik kenaikan cukai tembakau

EPA

Apa saja yang menjadi pertimbangan dalam menentukan tarif cukai tembakau?

JAKARTA, Indonesia — Hingga kini, sistem penetapan tarif cukai tembakau masih kerap menjadi perbincangan. Sebagian pihak menganggap regulasi yang berlaku saat ini belum mampu memberikan keadilan khususnya bagi para pelaku industri.

Namun ada pula pihak yang menilai cukai masih harus ditingkatkan agar rokok tidak mudah untuk dijangkau. Selain itu, mereka juga berpikir dampak buruk bagi kesehatan dapat diminimalisir.

Apa itu cukai?

Menurut definisi dalam Undang-undang No. 39 tahun 2007, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang yang memiliki sifat tertentu.

Cukai dikenakan pada barang yang konsumsinya dianggap perlu untuk dikendalikan dan peredarannya diawasi. Selain itu, barang yang memiliki dampak negatif bagi masyarakat serta pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan, juga dikenai cukai.

Di Indonesia, cukai dikenakan pada barang mengandung alkohol atau etanol, minuman beralkohol, serta produk hasil tembakau.

Saat ini di negara lain, cukai telah menjadi lebih dinamis. Barang yang dipungut oleh cukai tak berkutat hanya pada rokok atau alkohol. Tapi juga pada emas, permata, minuman berenergi, bahkan pada bahan bakar.

Yang dipertimbangkan dalam penentuan tarif cukai tembakau

Menurut penjelasan Kasubdit Tarif Cukai Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Sunaryo, dalam sebuah diskusi publik bertema “Sistem progresif: Alternatif kebijakan tarif cukai hasil tembakau” di Jakarta, kebijakan terkait cukai harus merujuk pada beberapa sasaran.

Besaran tarif cukup harus mempertimbangkan aspek pengendalian, tenaga kerja, dampak ilegal, serta penerimaan negara.

Sunaryo menyebut, jika dilihat dari sisi pengendalian jumlah produksi, sistem tarif cukai yang berlaku saat ini telah mampu mengendalikan jumlah konsumsi tembakau.

Pada tahun 2013, jumlah produksi rokok mencapai 345,89 miliar batang. Jumlah tersebut menurun sedikit pada 2014 menjadi 344,52 miliar batang. Tahun 2015 jumlah tersebut naik menjadi 348,10 miliar batang. Sedangkan tahun ini, diprediksi akan mencapai 348 miliar batang.

“Memang tidak turun drastis, tapi paling tidak tingkat pertumbuhan yang terkendali itu adalah bagian dari keberhasilan,” tutur Sunaryo pada Rabu, 5 Oktober. 

Faktor lainnya yang menjadi pertimbangan Dirjen Bea dan Cukai adalah untuk menjaga target inflasi APBN agar terpenuhi.

“Apapun yang kita lakukan, kita juga harus ukur pertimbangan makro,” kata Sunaryo.

Faktor tenaga kerja juga menjadi pertimbangan tersendiri. Apalagi industri rokok melibatkan sekitar 5,8 juta tenaga kerja.

Usulan tarif progresif untuk cukai tembakau

Dalam diskusi publik yang diadakan Koran Tempo, perwakilan perusahaan Wismilak sebagai salah satu pelaku industri tembakau kelas menengah, Surjanto Yasaputra, mengemukakan usulan yang dapat menjadi alternatif dalam pengenaan cukai pada tembakau.

Bagi perusahaan yang telah go public sejak tahun 2013 itu, pengenaan tarif cukai yang berlaku saat ini menyulitkan mereka untuk berkembang. 

“Kami kesulitan untuk berkembang karena untuk sistem tarif yang sekarang kurang sesuai untuk perusahaan yang masih menengah dan belum besar,” tutur Surjanto.

Surjanto menawarkan sistem tarif progresif yang dilihat dari jumlah produksi yang terus berubah. Tarif cukai yang diberlakukan akan bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produksi.

Namun menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM, A. Tony Prasetiantono, sistem yang ditawarkan Wismilak tersebut sulit untuk diterapkan.

“Menurut saya secara ide bagus, tapi pelaksanaannya di lapangan agak susah,” ujar Tony.

Menurut Tony, sistem progresif ini dapat menimbulkan kerawanan terhadap akuntabilitas dari para pelaku industri.

Hal serupa juga dikemukakan oleh Sunaryo. Menurutnya akan sulit bagi konsumen dan regulator untuk mengetahui jumlah produk tembakau yang dihasilkan.

“Visibilitas dari sisi administratif sangat rumit dengan sistem ini. Jadi dari kontrol agak sulit, dari pelunasannya juga agak sulit,” katanya.

Mengapa sulit menemukan regulasi yang tepat untuk cukai tembakau?

Berdasarkan penjelasan Tony Prasetiantono, tarif cukai yang ditetapkan untuk 2017 sebesar 10,54% sebenarnya sudah cukup baik. Tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi.

Namun jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, Indonesia masih memiliki ruang untuk meningkatkan cukai tersebut.

Meskipun begitu, pemerintah tidak dapat menaikkan tarif cukai secara drastis karena akan berdampak pada penerimaan cukai tembakau secara keseluruhan.

Pemerintah tidak boleh menaikkan cukai sembarangan karena dia harus memperhitungkan kalau sampai elastis nanti penerimaan cukai berkurang,” kata Tony.

Menentukan regulasi dan tarif cukai yang tepat sulit karena menyangkut berbagai pihak yang bersebrangan.

“Di satu pihak pengen kesehatan, di satu pihak pengen nambah pemasukan pemerintah,” ujar Tony.

Tony pun mengumpamakan regulasi ini seperti buah simalakama.

“Saya kira langkah pemerintah saat ini sudah cukup baik dalam arti memaksa iklan rokok berkurang, kasih gambar seram. Tapi di sisi lain kita tidak bisa menutup mata ada hampir 6 juta orang yang terkait di bisnis rokok mulai dari petani sampai pengecer,” tuturnya panjang lebar.

Seluruh pihak juga tidak bisa menutup mata bahwa faktanya, industri tembakau telah menghasilkan cukai yang naik setiap tahunnya, dan sekarang sudah sampai 142 triliun

“Itu jumlah yang sangat signifikan.” —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!