Tokoh lintas agama: Jakarta berubah, atau Papua merdeka

Kanis Dursin

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Tokoh lintas agama: Jakarta berubah, atau Papua merdeka
Pemerinth harus berani berdialog dan merangkul orang-orang Papua di diaspora

JAKARTA, Indonesia – Pemerintah harus mengubah pendekatan terhadap Papua dan diplomasi luar negeri jika tidak ingin provinsi tersebut lepas dari Indonesia, beberapa tokoh lintas agama ingatkan pada Rabu, 5 Oktober.

Pendeta Hendrik Lokra, Direktur Eksekutif Komisi Keadilan dan Perdamaian Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengatakan pendekatan keamanan selama ini membuat masyarakat Papua merasa terasing dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.

“Setiap hari ada pembunuhan. Demo, berapa pun jumlah pesertanya, selalu dihadapi oleh polisi dan tentara bersenjata lengkap, seolah-olah sedang berhadapan dengan musuh di medan perang. Fakta-fakta ini yang membuat orang Papua semakin kehilangan trust kepada Jakarta,” kata Hendrik dalam konferensi pers di Jakarta.

Pada akhir September lalu, 7 negara di Kepulauan Pasifik meminta Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyelidiki dugaan pelanggaran HAM berat di Papua.

Salah satu kritikan mereka adalah penangkapan ribuan aktivis Komite Nasional Papua Barat saat melakukan demo damai menuntut referendum di berbagai kota di Papua dan Papua Barat.

Desakan tersebut mendapat tanggapan keras dari delegasi Indonesia yang mengatakan ketujuh negara tersebut tidak memahami sejarah, situasi, dan perkembangan HAM terkini di Indonesia.

Saat ini, sebuah tim gabungan sedang melakukan investigasi tiga dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, termasuk penembakan warga sipil di Paniai pada 8 Desember 2014. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga sedang menyelidiki kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay pada bulan November 2001.

Sejak penentuan pendapat rakyat atau referendum pada 1969, Papua telah berulangkali menjadi daerah operasi militer untuk mengejar kelompok bersenjata Operasi Papua Merdeka. Laporan mengenai penembakan dan penyiksaan warga sipil sering muncul, tetapi belum satu pun orang yang bertanggung jawab atas kekerasan itu dihukum.

Menurut rohaniwan Katolik Benny Susetyo, pendekatan kekerasan membuat orang Papua merasa “bukan bagian dari Indonesia dan terasing” dan menuntut kemerdekaan.

Dia meminta pemerintah menggunakan pendekatan budaya terhadap masyarakat Papua seperti yang dilakukan mantan presiden Abdurrahman Wahid yang mengganti nama Irian dengan Papua dan mengizinkan “bendera budaya Bintang Kejora” bersanding dengan bendera nasional Indonesia.

“Pendekatan budaya maksudnya berdialog, duduk bersama tokoh Papua, dan melibatkan mereka dalam pembangunan ekonomi dan pendidikan,” kata Benny.

Dia juga meminta pemerintah membentuk tim rekonsiliasi di bawah presiden yang bertugas memulihkan martabat orang Papua lewat pendekatan budaya. 

“Pemerintah harus berani berdialog dan merangkul orang-orang Papua diaspora. Mungkin sikap mereka keras, mungkin (mereka) menuntut merdeka, mungkin suara mereka lantang menuntut penyelesaian masalah HAM, tetapi kalau kita dengar dengan hati dan mau memahami mereka, mereka akan melunak,” kata Benny.

Menurut Benny, diplomasi luar negeri Indonesia untuk masalah Papua harus mengutamakan dialog dengan negara-negara lain. “Tidak boleh sepelekan negara lain walau mungkin mereka kecil. Dalam diplomasi, Indonesia harus melakukan persuasi dan meyakinkan negara-negara lain bahwa memang benar ada masalah (HAM di Papua) tetapi sedang ditangani oleh pemerintah,” kata Benny.

(BACA: Pelanggaran HAM di Papua diungkit kembali di Sidang Majelis Umum ke-71 PBB)

Sementara itu, Humas PGI Jeirry Sumampow mengatakan maraknya pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat, antara lain, disebabkan oleh perbedaan cara pandang terhadap apa yang terjadi di dua provinsi tersebut.

Pemerintah, menurut Jeirry, selalu melihat demonstrasi di Papua dari kacamata subversi sehingga harus menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan.

“Ini yang membuat banyak yang tidak masuk akal. Demo oleh 5 atua 10 orang dijaga ratusan polisi dengan senjata lengkap, padahal orang-orang Papua masih trauma dengan polisi dan tentara,” kata Jeirry.

Dia mengingatkan negara asing akan terus memantau kondisi HAM di Indonesia, terutama di Papua.

“Di sini kita melihat fenomena sidang PBB. Sebelumnya, jarang (ada negara) yang terang-terangan mengkritik Indonesia dalam kaitan Papua. Dulu, isu Papua diangkat oleh lembaga swadaya masyarakat atau gereja. Tetapi sekarang, negara-negara (di Kepulauan Pasifik) mengambil inisiatif untuk membawa masalah Papua ke PBB,” kata Jeirry. 

Pelanggaran HAM

Selain mengubah pendekatan terhadap Papua, Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti meminta pemerintah menyelesaikan secara tuntas berbagai pelanggaran HAM di Papua, terutama dugaan pelanggaran HAM sejak Presiden Joko “Jokowi” Widodo dilantik pada Oktober 2014.

Menurut Ray, intensitas pelanggaran HAM pada era reformasi ini memang cenderung menurun dibandingkan pada zaman Orde Baru tetapi belum ada penangan serius oleh pemerintah.

“Belum ada satu pun kejadian pelanggaran HAM di Papua yang betul-betul selesai secara tuntas oleh pemerintah, padahal eskalasinya menurun,” kata Ray.

Menurut Ray, Presiden Jokowi mempunyai modal politik untuk menyelesaikan masalah Papua karena sebagian besar masyarakat Papua mendukung dia dalam pemilihan presiden tahun 2014 lalu.

Masyarakat Papua, kata Ray, percaya Jokowi bisa menyelesaikan masalah mereka. Sayangnya, dengan semangat “kerja, kerja, kerjanya”, Jokowi mengabaikan masalah hukum dan HAM di Papua.

“Memang benar Papua harus dibangun, tetapi harus ada jaminan bahwa kita (orang Papua) tidak lagi diteror secara psikologis dan ada jaminan kebebasan menyampaikan pendapat,” katanya. – Rappler.com

 

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!