‘Game of Thrones’ yang nyata dalam sejarah Nusantara

Rahadian Rundjan

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

‘Game of Thrones’ yang nyata dalam sejarah Nusantara
Game of Thrones begitu memukau. Beberapa elemen di dalam ceritanya paralel dengan sejarah Nusantara di masa kerajaan dan kolonialisme silam.

Sekali lagi, serial televisi Game of Thrones (GoT) mendapatkan apresiasi spektakuler. 

Rangkaian penghargaan yang diterimanya dalam gelaran Primetime Emmy Awards ke-68 pada 18 September 2016 —23 nominasi dan 12 kemenangan— seakan mengekspresikan kegembiraan para penggemar GoT di seluruh dunia. 

Tayangan yang diadaptasi dari novel berseri A Song of Ice and Fire karya George RR Martin tersebut kian mengukuhkan dirinya sebagai budaya populer baru dan waralaba fantasi epik terkini yang memiliki ketenaran internasional, bersanding dengan The Lord of The Rings dan Star Wars.

GoTberlatar belakang dunia fantasi abad pertengahan dan berkisah tentang konflik antar dinasti di benua Westeros untuk mengklaim tahta “the Iron Throne”, puncak kuasa tertinggi dalam kerajaan Seven Kingdoms. 

Ketika Raja Robert dari klan Baratheon wafat, klan Stark dan Lannister berseteru terkait pewaris raja yang sah. Sedangkan di benua Essos, Daenerys Targayen, keturunan klan Targayen yang merupakan pendiri Seven Kingdoms, menghimpun kekuatan untuk merebut kembali tahta yang sebelumnya direbut klan Baratheon. 

Sementara itu, bencana besar mengancam seluruh Westeros dari utara ketika para White Walkers, makhluk kuno dalam legenda, tengah bersiap menyerbu. 

Poster promo GoT menampilkan karakter Eddard Stark dengan moto 'Winter is coming'.

Winter is coming.

Trik-intrik politik istana, pertumpahan darah, sampai dengan seksualitas yang blak-blakan adalah ciri khas GoT. Kontroversial, namun itulah realita yang sebenarnya akan kita sering temui dalam sejarah abad pertengahan. 

Martin memang terinspirasi dari sejarah Eropa kala menulis A Song of Ice and Fire, namun secara umum ada pula beberapa elemen di dalamnya yang paralel dengan sejarah Indonesia. Sebut saja tema besar feodalisme, perbudakan, perang, fanatisme religius, dan lain-lain. 

Namun ada beberapa adegan yang secara spesifik mengingatkan saya akan beberapa episode sejarah kita. Misalnya, kekejaman dan kegilaan Raja Aeris II Targaryen yang membuat Robert Baratheon dan Eddard Stark menyulut pemberontakan mengingatkan dengan kisah pemberontakan Trunojoyo terhadap Sultan Amangkurat I dari Mataram (1674-1679).

Seperti Aeris, kejiwaan Amangkurat I memang tak beres. Ia paranoid, baik kepada kawula istana maupun rakyatnya sendiri. Puncaknya adalah ketika Amangkurat I memerintahkan pembantaian 5.000 sampai 6.000 ulama di Jawa. 

Kesewenang-wenangan inilah yang memicu Trunojoyo, penguasa Madura, mengangkat senjata. Aeris dan Amangkurat I memang sama-sama tewas dalam pemberontakan. Bedanya, jika Robert kemudian berhasil merebut tahta, pemberontakan Trunojoyo harus padam setelah Mataram yang bersekongkol dengan Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC) melakukan serangan balik. Trunojoyo pun dihukum mati oleh Amangkurat II pada 1680.

Patut dicatat pula, VOC dan pundi-pundi uangnya yang mampu mengubah konstelasi politik kerajaan-kerajaan di Nusantara sama dengan peran Iron Bank, yang kerap meminjamkan uang kepada faksi-faksi yang berseteru di Westeros. Seperti kala Stannis Baratheon, adik dan pewaris tahta yang sah setelah Raja Robert mangkat, membangun pasukannya dengan menggunakan uang pinjaman dari Iron Bank.

Jika ingin tahu sengitnya Pertempuran Teluk Blackwater antara armada laut Stannis Baratheon dan pasukan King’s Landing yang dipimpin Tyrion Lannister, tengoklah sejarah Perang Palembang (1819-1821) antara Sultan Mahmud Badaruddin II dan pasukannya yang bertahan di benteng Kuto Besak, tepi Sungai Musi, melawan serbuan armada Belanda pimpinan Baron de Kock. 

Istimewanya, sang sultan juga menggunakan strategi rakit api untuk menghalau kapal-kapal Belanda, walau efeknya memang tidak sedashyat Wildfire, api hijau yang seketika langsung menghancurkan armada Stannis tersebut. Jika King’s Landing bisa bertahan, Kuto Besak justru takluk. Mahmud Badaruddin II dan keluarganya pun diasingkan ke Ternate,  Maluku.

Lalu, bagaimana dengan adegan paling intens, emosional, pemicu sumpah serapah yang terkenal dengan nama “Red Wedding” itu? Plot serupa juga ditemukan di Kesultanan Aceh dalam kisah naik tahtanya Sultan Alauddin Ri’ayat Syah. Kala itu, Aceh tengah berkembang pesat sebagai kota perdagangan dan pengaruh orang kaya, elit-elit dagang, begitu besar sampai mengalahkan wibawa posisi sultan.

Pada 1589, para orang kaya mengangkat Alauddin yang berusia 70 tahun sebagai sultan, karena ia dianggap tidak memiliki ambisi politik di usianya yang senja. Alauddin menerima, dan ia pun mengadakan pesta untuk merayakan pengangkatannya. Para orang kaya dijamu di istana dengan kemewahan, sebelum satu persatu leher mereka digorok atas perintah Alauddin. Setidaknya 200 orang kaya tewas dalam jamuan mematikan tersebut.

Mengapa? Karena Alauddin tahu bahwa golongan orang kaya ingin memperalat dirinya. Terlebih sebagai keturunan dari Ali Mughayat Syah, pendiri Kesultanan Aceh, ia mungkin dendam terhadap golongan orang kaya yang dianggap bertanggung jawab menyusutkan wibawa keluarga kerajaan.

Paparan ini hanya sedikit dari banyak elemen-elemen GoT lain yang dapat ditemui dalam masa lalu kita. GOT adalah bukti bagaimana sejarah dan kegamblangannya dapat menjadi sesuatu yang adiktif jika dikemas dengan populer. Saya rasa, sejarah Perang Mawar (1455–1487) di Inggris yang menjadi basis cerita GoT, kini menjadi lebih banyak dibaca orang-orang dibandingkan di masa-masa sebelumnya.

Dan mengapa kita belum bisa memproduksi tayangan epik fantasi yang luar biasa seperti GoT? Mengingat sejarah Indonesia yang kaya dan layak dipopulerkan. Jawabannya mungkin kegamblangan, kekejaman, dan seksualitas yang sulit diterima pemirsa Indonesia pada umumnya. 

Namun kontroversi adalah risiko yang layak diambil jika ingin membuat karya yang luar biasa, bukan? —Rappler.com

Rahadian Rundjan adalah sejarawan lepas yang tengah menggeluti tema sejarah sains dan teknologi. Kini berdomisili di Bogor dan bisa disapa di @rahadianrundjan.

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!