Senyap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Senyap pelaksanaan hukuman mati di Indonesia
Beberapa terpidana mati yang sudah dieksekusi masih mengajukan grasi ke presiden. Sementara, kejanggalan dalam pelaksanaan hukuman mati malah luput dari pemberitaan

JAKARTA, Indonesia – Menyambut jatuhnya peringatan 14 tahun Hari Anti Hukuman Mati Sedunia pada 10 Oktober, KontraS dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta merilis data tentang pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Baik dari segi keadilan proses hukum, hingga pemberitaan media.

“Perlu ada evaluasi pelaksanaan eksekusi mati, karena aparat hukum diam-diam menikmati (eksekusi mati) sambil memberikan jasa proteksi bagi sindikat kejahatan,” kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik KontraS Putri Kanesia di Jakarta pada Sabtu, 8 Oktober.

Selain itu, ada juga fakta kalau beberapa terpidana mati dijatuhi vonis tanpa mengetahui apa kesalahan mereka atau diadili tanpa melalui proses yang sepatutnya.

Anak di bawah umur

Sejak Februari 2015, KontraS telah mendampingi terpidana mati asal Nias, Yusman Telaumbanua. Ia adalah korban rekayasa kasus dan penyiksaan Polri yang divonis mati oleh PN Gunungsitoli pada 2013 lalu.

“Dari advokasi tersebut, ditemukan bukti baru (novum) yang menunjukkan usia Yusman masih di bawah umur, 16 tahun,” kata Putri.

Persoalan usia ini baru terungkap setelah Yusman mengikuti pemeriksaan radiologi forensik Tim Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Bandung pada November 2015.

Saat itu, ditengarai usia Yusman baru 18,4-18,5 tahun; yang artinya baru dianggap dewasa. Pada saat ditangkap, Yusman memang tak tahu menahu kejadian apa yang menimpanya.

Ia dan kakak iparnya Rusula Hia ditangkap atas tuduhan pembunuhan terhadap 3 orang. Padahal, Yusman dan kakaknya merupakan saksi dari pembunuhan tersebut.

Namun, polisi menangkap dan menyiksa keduanya, dan saat itu Yusman dipaksa mengaku sudah cukup umur dengan iming-iming hukuman diringankan. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) juga ia tandatangani tanpa tahu isinya, karena tak ada pendamping hukum dan tak bisa membaca.

Pada 23 Juni 2016, KontraS mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke PN Gunungsitoli dan setelah dinyatakan lengkap, sudah dikirimkan ke Mahkamah Agung.

“Yusman masih menunggu hasilnya,” kata Putri.

Kejanggalan

Tak perlu menilik kasus-kasus lama. Dalam eksekusi mati Jilid III yang berlangsung pada akhir Juli lalu, rupanya, beberapa terpidana tengah mengajukan grasi ke presiden.

“Terpidana mati yang sedang mengajukan grasi dan belum ada Keputusan Presidan tentang penolakan permohonan grasi tidak dapat dieksekusi,” kata Putri sambil menyebut hal ini tercantum dalam Pasal 13 UU Grasi.

Mereka adalah Freddy Budiman, Seck Osmane, dan Humprey Jefferson. Hingga saat ini pun, kuasa hukum ketiganya belum mendengar apakah klien mereka dikabulkan grasinya atau tidak, meski nyawa sudah melayang oleh peluru tajam.

Pihak keluarga juga sangat sulit untuk bertemu terpidana mati.

“Mereka dibatasi hanya sekali dalam sehari, bahkan hanya keluarga inti dan satu orang kuasa hukum saja yang dapat menemui terpidana mati,” kata Putri.

Kondisi sel yang menjadi tempat terakhir para terpidana mati di Nusakambangan pun tak layak huni. KontraS mengetahui saat pelaksanaan, lokasi sel isolasi banjir hingga sepaha orang dewasa karena hujan deras. Hal tersebut melanggar Pasal 7 ICCPR dan Pasal 1 CAT.

Pemerasan

Pada tanggal 7 Oktober lalu, KontraS mendapati surat tertulis yang aneh dari terpidana mati Teja Harsoyo. Seorang yang mengaku Jaksa Penuntut Umum bernama Amril memaksa Teja untuk menandatangani sebuah surat pernyataan.

“Suratnya tanpa kop, dan isinya jika Teja tidak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) maupun grasi, artinya putusan sebelumnya sudah inkracht (tetap),” ujar Putri.

SURAT ILEGAL. Seorang yang mengaku Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta terpidana mati menandatangani surat pernyataan terkait grasi dan PK yang tak ada di UU. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

 

Ia juga diminta membayar uang sebesar Rp 130 juta.

KontraS menyebut surat tersebut aneh karena salah menyebut lokasi tempat Teja ditahan dan tak pernah ada hukum manapun yang memuat batas waktu pengajuan PK dan grasi. Keanehan tersebut akan dilaporkan kepada Komisi Kejaksaan.

“Yang harus ditelusuri adalah apakah ada terpidana mati lain yang mendapatkan surat serupa,” kata Putri sambil menyebut tindakan tersebut adalah ilegal dan sewenang-wenang.

Media tak kritis

Dari keanehan yang dipaparkan KontraS, AJI Jakarta justru menyatakan keheranan dengan luputnya pemberitaan media.

“Entah bagaimanapun sikapnya terhadap hukuman mati, media tetap harus skeptis,” kata Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim.

Koordinator Riset AJI Jakarta Ikhsan Raharjo mengatakan ada 4 media yang menentang eksekusi mati dan hanya 1 yang mendukung. Namun, suara menentang justru semakin pelan menjelang dilaksanakannya eksekusi.

“Dari yang sebelumnya mengkritisi, jadi seperti corong pemerintah,” kata dia.

Selain itu, isu ini juga baru hangat kembali saat ada tanda-tanda Kejaksaan Agung akan menembak mati para terpidana.

Padahal, ada banyak hal yang dapat disoroti. Seperti bagaimanakah keadilan yang diterima para terpidana sebelum, saat, dan sesudah menerima vonis; juga seberapa efektifkah hukuman ini dalam mencapai tujuannya.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo menginstruksikan hukuman mati bagi penjahat narkoba karena ingin memerangi maraknya tindak kriminal tersebut di Indonesia. Namun, berbagai pemberitaan menyebutkan tak pernah ada efek yang signifikan.

GRAFIK VONIS HUKUMAN MATI. Sumber dari data KontraS.

ASAL NEGARA TERPIDANA MATI. Data dari KontraS.

“Perlu dilihat, hukuman mati ini untuk meningkatkan popularitas demi menutup kegagalan di bidang lain. Banyak jaksa yang ditangkap karena kasus kriminal juga,” kata Hasim.

Eksekusi mati tak lagi menyangkut masalah hukum juga kepentingan politik dari pemerintah yang berkuasa hingga pejabat kejaksaan. Terlepas apapun sikap suatu media terhadap hukuman mati, mereka tetap harus kritis dan skeptis. Bukan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya.

Ia juga menyoroti betapa bungkamnya media terhadap kebisuan pemerintah terkait eksekusi mati. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab seperti status permohonan grasi hingga mengapa ada terpidana mati yang ditembak dan lolos dari eksekusi di menit terakhir.

“Sampai sekarang Jaksa Agung juga belum menjelaskan kenapa membiarkan 10 orang dari Jilid III kemarin dilepaskan, kan?” kata Hasim.

Bahkan, lolosnya salah satu terpidana mati, Zulfikar Ali, baru diberitahukan kepada keluarganya lewat Kedutaan Besar Pakistan.

AJI Jakarta merekomendasikan media untuk memberi ruang pemberitaan lebih banyak, terutama bagi vonis mati yang bermasalah selama proses hukum. Pemerintah juga didesak untuk mengakhiri kebisuan informasi dan bersikap lebih transparan.

Pertimbangan untuk melanjutkan atau meniadakan vonis mati menjadi penting, mengingat hingga Oktober 2016 ini sudah ada 104 negara yang menghapuskan hukuman tersebut. Indonesia adalah salah satu dari 25 negara yang masih menerapkannya, dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. -Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!