Mempertanyakan nasib kaum LGBTIQ di Indonesia

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Mempertanyakan nasib kaum LGBTIQ di Indonesia
Profiling LGBTIQ mulai bergeser, dari 'pendosa' menjadi 'kelompok berbahaya' yang rawan dikriminalisasi.

JAKARTA, Indonesia – Nasib warga homoseksual di Indonesia semakin dipertanyakan. Berbagai diskriminasi, intimidasi, hingga kekerasan yang mereka alami tak dibarengi dengan upaya perlindungan yang memadai.

Ketua Forum LGBTIQ Indonesia Yuli Rustinawati memasukkan fakta tersebut ke dalam laporan Tinjauan Universal Berkala (UPR) ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2017 mendatang.

“Dalam hal ini negara banyak melakukan kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap orang-orang LGBT,” kata dia pada Kamis, 13 Oktober lalu.

Yuli mengatakan pemerintah telah melanggar 7 pasal dalam Deklarasi Universal HAM. Pertama, adalah hak yang sama di mata hukum; rasa aman; kebebasan berekspresi; kebebasan berserikat; pekerjaan layak; bebas dari diskriminasi; dan penyelesaian efektif.

Potret kehidupan

Sejak 8 bulan belakangan, Yuli melihat adanya peningkatan agresivitas terhadap warga LGBTIQ. Berdasarkan data yang dikumpulkannya, 83 persen LGBTIQ di Indonesia pernah mengalami kekerasan.

“Dari psikis, ekonomi, sampai kekerasan seksual,” kata dia.

Penyebabnya adalah homoseksualitas yang masih dilihat sebagai penyimpangan, melanggar agama, hingga pandangan ekstrem kalau mereka tidak layak hidup. Kalau ada LGBT yang melapor sebagai korban kekerasan, lanjutnya, bahkan dipertanyakan apakah laporannya benar atau tidak.

Profiling LGBTIQ juga mulai bergeser, dari ‘pendosa’ menjadi ‘kelompok berbahaya’ yang rawan dikriminalisasi,” kata Yuli.

Salah satu contoh nyata yang ia sebutkan adalah permohonan uji materi yang tengah berlangsung di Mahkamah Konstitusi.

Hal ini diperparah dengan pernyataan pejabat yang seolah membenarkan kekerasan tersebut. Belum lagi, peraturan daerah (Perda) yang mendiskriminasi mereka.

Seperti Perda Provinsi tentang Pemberantasan Maksiat (No. 13/2002) di Provinsi Sumatera Selatan misalnya, menggolongkan homoseksual dan anal seks oleh laki-laki sebagai perbuatan tidak bermoral, seperti halnya prostitusi, perzinahan, perjudian dan konsumsi alkohol. Selain itu, masih ada 14 aturan di daerah lain yang bersifat serupa.

Ia tak lupa menyertakan para transgender yang juga kerap menjadi bulan-bulanan. Seperti kejadian baru-baru ini, ketika pesantren transgender di Yogyakarta ditutup paksa oleh kelompok intoleran. (BACA: Ketika santri transgender menjadi korban intoleransi)

Jalan buntu

Bagaimanapun juga, pemerintah Indonesia belum memperlihatkan itikad baik untuk menjamin kehidupan warga LGBTIQ. Pertama, mereka menolak untuk menandatangani Resolusi PBB mengenai Penghapusan Diskriminasi berbasis Orientasi Seks, pada Juni lalu.

Saat itu, delegasi Indonesia yang diwakili oleh Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) Kementerian Luar Negeri Dicky Komar mengatakan penolakan tersebut didasari pertimbangan agama, norma dan moralitas yang berlaku di Indonesia. (BACA: Komunitas LGBT kecam sikap Pemerintah Indonesia di sidang PBB)

“Atas dasar tersebut delegasi kami tidak bisa menerima rancangan resolusi tersebut, dan menolaknya,” kata dia.

Selain itu, Indonesia juga termasuk dalam 17 negara yang menolak rencana PBB untuk memasukkan hak komunitas LGBTIQ dalam agenda pembangunan urban. Ide ini diinisiasi oleh Kanada, Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Meksiko dalam konferensi PBB yang akan berlangsung di Ekuador pekan depan.

Bila disepakati, maka pertimbangan ini akan dimasukkan dalam rancangan kebijakan bertajuk ‘New Urban Agenda.’ Meski tidak mengikat, topik ini harus dipertimbangkan oleh negara anggota PBB dalam agenda pembangunan berkelanjutan 20 tahun ke depan.

Namun, Belarus, yang didukung oleh Rusia, Mesir, Qatar, Indonesia, Pakistan, dan Uni Emirat Arab menolak ide tersebut. Mereka menganggap kebijakan sudah cukup dengan mempertimbangkan ‘ramah bagi keluarga.’

Baru-baru ini juga masyarakat kembali dihebohkan dengan edaran persyaratan Duta Pemuda Kreatif yang menuliskan“Kami mensyaratkan seseorang yang sehat secara jasmani dan rohani, tidak terlibat dalam pergaulan bebas dan perilaku menyimpang, termasuk LGBT, yang harus dibuktikan dnegan surat keterangan dokter,” demikian terbaca dari surat edaran kementerian tersebut.

Saat ini, memang Kementerian Pemuda dan Olahraga selaku penyelenggara telah menghilangkan frasa tersebut. Namun, kritik tajam sudah terlontar.

Melakukan diskriminasi terhadap sekelompok minoritas yang sudah termarjinalisasi merupakan cemoohan terhadap kewajiban hak-hak asasi manusia yang seharusnya dipenuhi oleh pemerintah dan merendahkan reputasi Indonesia sebagai tempat melakukan bisnis di dunia internasional,” kata Peneliti LGBTIQ dari Human Rights Watch (HRW) Kyle Knight pada Jumat, 14 Oktober.

Tentu saja, hal ini menambah daftar panjang komentar miring pejabat Indonesia tentang LGBTIQ. Dengan demikian, lanjut Kyle, komitmen Presiden Joko “Jokowi” Widodo tentang keberagaman dan pluralisme adalah slogan hampa dan kosong. – Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!