Sebelum 40 hari: Proses aborsi di Indonesia

Abdul Qowi Bastian

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Sebelum 40 hari: Proses aborsi di Indonesia
'Jika perempuan sudah aktif secara seksual, maka dia itu harus punya hak menerima layanan pada tubuhnya'

JAKARTA, Indonesia — Andini (bukan nama sebenarnya) baru menginjak usia 16 tahun ketika ia dinyatakan positif hamil. Gadis yang saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMA, terpaksa harus berhenti dari sekolah.

“Saya masih SMA ketika positif hamil,” kata Andini kepada Rappler. Kini usianya telah 22 tahun.

“Saat itu saya berpacaran dengan seorang pria yang lebih tua kurang lebih 6 tahun. Orangtua saya tidak menyetujuinya, jadi saya berpacaran diam-diam,” akunya.

Karena tidak mendapat restu dari orangtua, Andini mengiyakan ajakan pria untuk meninggalkan rumah dan memulai kehidupan baru bersama kekasih masa mudanya itu. Ia mengaku saat itu masih polos dan terbuai janji-janji manis yang ternyata berbuah kekosongan.

“Saya sempat melarikan diri dari rumah. Hingga ketika akhirnya pulang ke rumah, orangtua meminta saya untuk melakukan tes urine, dan dinyatakan positif,” ujar Andini.

Orangtua Andini panik, apalagi ia hanya tinggal beberapa bulan lagi menyelesaikan pendidikannya. Tapi Andini memohon kepada orangtuanya untuk mempertahankan calon bayinya. Ia berjanji untuk mengurus anaknya sendiri meski seorang diri.

“Orangtua saya panik. Mereka mencoba cari tahu informasi bagaimana cara menggugurkan kandungan tanpa jalan haram. Saya disuruh makan nanas setiap hari,” akunya.

Tapi setelah beberapa hari, pada akhirnya mereka memilih jalan pintas. “Khawatir terlambat dan kehamilan saya semakin membesar, orangtua mencari tahu tentang klinik aborsi yang bisa dilakukan saat itu juga, sebelum keluarga besar mengetahuinya,” ucapnya.

“Saya lahir dan tumbuh di lingkungan keluarga yang konservatif, bahwa kehamilan di luar nikah merupakan sesuatu yang dapat membawa nama buruk bagi keluarga,” kata Andini.

Pada malam itu juga, Andini diantar oleh kakaknya ke sebuah klinik ginekologi di bilangan Senen, Jakarta Pusat. 

“Saya berharap saya bisa melanjutkan kehamilan, melahirkan, dan membesarkan bayi saya. Saya percaya saya bisa merawatnya. Tapi karena saya masih di bawah umur, saya tidak bisa menentukan sendiri. Orangtua masih memiliki hak veto terhadap keputusan saya. Mereka selalu meyakinkan saya bahwa mereka tahu yang terbaik,” ujarnya.

Andini mengaku tidak mengingat persis lokasi klinik tempat ia menggugurkan kandungan, namun ia masih ingat perasaan yang menghampirinya pada malam itu.

“Saya mencoba menghapus memori buruk itu dari pikiran. Perasaan saya beku malam itu,” katanya.

“Saya tidak ingat jelas apa yang terjadi atau prosedur apa yang dilakukan, tapi saya ingat prosesnya yang menyakitkan. Saya sampai berteriak dan menangis.

“Sesudahnya saya merasakan rasa sakit di bagian bawah tubuh saya. Saya berjalan ke luar ruangan terpincang-pincang, disambut kakak saya yang menunggu di luar,” ucapnya lirih. 

Lalu ke mana pacar Andini yang berjanji akan menikahinya? “Ia sudah menghilang tak ada kabar. Lagi pula orangtua saya menolak mentah-mentah untuk menikahi saya dengan dia.

“Pernikahan bukan solusi dari masalah ini,” katanya.

58% remaja putri hamil di luar nikah pilih aborsi

Kisah Andini bukan kasus yang terisolasi di Indonesia. Data terbaru dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada menyebutkan 58 persen remaja perempuan yang hamil secara tidak diinginkan berupaya menggugurkan kandungannya dengan jalan aborsi.

“Tingkat remaja yang hamil dan berupaya aborsi itu cukup tinggi, mencapai 58 persen. Ini angka yang mengkhawatirkan,” ujar peneliti PSKK UGM, Sri Purwatiningsih, pada awal Oktober 2016 ini.

Menurutnya, persoalan ini harus menjadi perhatian yang serius dari negara, sebab para remaja perempuan yang belum punya surat nikah kerap kesulitan mengakses layanan kesehatan.

“Tidak banyak remaja yang dapat informasi cukup tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Ditambah perilaku seksual aktif yang berisiko, kerap menimbulkan kasus kehamilan pada usia remaja.”

Mereka berisiko terhadap masalah-masalah kesehatan reproduksi akibat perilaku seksual pranikah dan penggunaan obat-obatan terlarang yang bisa berujung pada HIV/AIDS.

“Tidak banyak remaja yang mendapatkan informasi cukup tentang kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual. Keterbatasan informasi ditambah perilaku seksual aktif yang berisiko kerap menimbulkan kasus kehamilan dan perkawinan pada usia remaja,” kata Sri.

Hal tersebut diakui oleh Andini. “Saya tidak tahu risikonya, karena tidak ada informasi, atau tempat bertanya. Saya takut bertanya kepada orangtua,” akunya. “Kalau membicarakan hal ini ke orangtua, atau anggota keluarga lain, takut dihakimi.”

Sementara itu, Kepala Seksi Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja di Luar Sekolah, Direktorat Kesehatan Keluarga dari Kementerian Kesehatan, dr. Linda Siti Rohaeti, mengatakan pihaknya tetap berkomitmen agar para remaja yang mengalami kehamilan bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik.

Linda mengatakan, Kementerian Kesehatan sejak 2003 telah memiliki program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) untuk melayani kesehatan remaja. 

Selain berfungsi untuk memberikan layanan pencegahan seperti pemberian informasi dan edukasi tentang kesehatan reproduksi, PKPR juga memiliki layanan pengobatan seperti konseling, pemeriksaan kehamilan bagi remaja, penanganan remaja dengan kasus HIV/AIDS, hingga penyakit menular seksual.

Target Kementerian Kesehatan tahun ini adalah sebanyak 30% dari 10 ribu puskesmas di Indonesia sudah merupakan puskesmas PKPR. Menurut Linda, meski masih terbatas secara fasilitas, minimal kebutuhan remaja untuk bisa hadir secara privat, aman, dan nyaman bisa terpenuhi.

Aborsi di Indonesia hanya boleh dilakukan jika …

Aborsi merupakan sebuah praktik yang ilegal dilakukan di Indonesia. Hukum aborsi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

Aborsi di Indonesia tidak diizinkan, dengan perkecualian kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, serta bagi korban perkosaan.

Ibu yang melakukan aborsi, orang, atau tenaga medis yang membantu ibu melakukan aborsi, serta orang yang mendukung tindakan ini dapat dikenai hukuman.

(BACA: Bagaimana hukum aborsi di 6 negara Asia?)

Berdasarkan data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), tingkat kejadian aborsi di Indonesia mencapai 228 per 100.000 angka kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian ibu dari aborsi ilegal tercatat mencapai 30%.

Tindakan aborsi atas dasar gawat darurat medis hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari ibu hamil dan pasangannya (kecuali bagi korban pemerkosaan). 

Sesuai dengan yang tertera dalam UU, tindakan aborsi sendiri bagi korban pemerkosaan, hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Itu juga harus disertai dengan surat pernyataan dari dokter yang mengizinkan pelaksanaan aborsi.

Pemerintah juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 3 tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Perkosaan. 

Dalam Permenkes itu disebutkan bahwa pelayanan aborsi yang aman dan bertanggung jawab harus dilakukan oleh dokter sesuai standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.

Dokter yang akan melakukan tindakan aborsi harus telah mendapat pelatihan dan bersertifikat. Selain itu, aborsi juga bisa dilakukan di puskesmas, klinik pratama, klinik utama, atau yang setara, dan rumah sakit.

“Aborsi hanya boleh dilakukan jika ada dua indikasi,” kata dokter residen obgyn di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dr. R.M. Ali Fadhly. 

“Pertama indikasi ibu, yakni ketika ibu mengalami pendarahan yang jika kehamilannya dipertahankan bisa berbahaya bagi si ibu dan janin.

“Kedua, indikasi bayi, yaitu ketika ada masalah medis terhadap perkembangan janin tersebut, misalnya bayi tidak berkembang,” kata dr. Ali.

Klinik aborsi ilegal pakai jasa calo

Bekas sebuah klinik aborsi ilegal di Jalan Cimandiri, Cikini, Jakarta Pusat, saat dikunjungi pada 15 Oktober 2016. Foto oleh Abdul Qowi Bastian/Rappler

Akibat tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan, dan demi menutupi rasa malu, sejumlah perempuan muda memilih untuk melakukan aborsi yang tidak aman dan dilakukan secara diam-diam di tempat ilegal.

Di Jakarta saja tersebar klinik-klinik aborsi ilegal yang beroperasi secara diam-diam. Rappler mengunjungi daerah Raden Saleh di Jakarta Pusat yang dikenal sebagai pusat tempat praktik aborsi ilegal.

Sebelumnya, Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya telah membongkar praktik aborsi di dua klinik di daerah tersebut, tepatnya di Jalan Cisadane dan Jalan Cimandiri. Satu klinik yang terletak di Jalan Cimandiri itu berkedok sebagai kantor jasa travel dan advokat. Ketika dikunjungi, gedung rumah tersebut sudah dibongkar dan pagarnya ditutup.

Rappler kemudian bertanya kepada dua anak muda yang pada malam itu sedang mencari uang sampingan sebagai juru parkir di Jalan Raden Saleh, yang lokasinya hanya berjarak sekitar 15 meter dari Jalan Cimandiri.

Kedua anak laki-laki yang masih berusia belasan tahun itu mengatakan, “Oh, sekarang tempatnya ada di daerah Salemba, Om”.

“Mau saya antar?” ajak mereka. Rappler pun mengiyakan. Mereka menaiki sebuah sepeda motor yang diparkir tak jauh dari pertigaan Jalan Raden Saleh-Jalan Cimandiri dan begitu saja meninggalkan lalu lintas jalanan yang sebelumnya sedang mereka atur. Rappler mengikuti dari belakang.

Sebelum tiba di daerah Salemba, sepeda motor mereka berhenti di sebuah warung pinggir jalan, masih di Jalan Raden Saleh. Anak laki-laki yang lebih besar mengisyaratkan untuk menepi dan berbicara singkat dengan seorang pria dewasa kurus. “Om, ngobrol sama dia saja,” kata anak itu.

“Mau buang?” kata pria itu, yang belakangan mengaku namanya Gun.

“Ceweknya mana? Udah berapa lama?” tanyanya, seraya celingukan mencari seorang perempuan yang siap untuk digugurkan kandungannya.

“Percuma kalau datang tanpa cewek. Dokternya enggak mau terima,” ujarnya. Ia pun meminta Rappler untuk kembali esok hari dengan perempuan yang sudah siap untuk menggugurkan kandungannya. Ia menyerahkan nomor teleponnya.

“Telepon saya besok pagi, nanti saya antar ke kliniknya,” katanya seraya meminta untuk janjian bertemu di sebuah hotel di kawasan Kramat.

Sebelum beranjak pergi, ia juga mengatakan untuk menyiapkan uang sekitar Rp3 juta untuk melakukan tindakan aborsi, jika kehamilannya masih muda.

Konsultasi via telepon

Selain itu, pencarian klinik aborsi ilegal di Jakarta juga dapat ditemui melalui situs-situs di internet.

Dalam sebuah situs, misalnya, terdapat informasi jadwal praktek dan nomor kontak yang dapat dihubungi. Tapi selalu tidak pernah ada alamat klinik.

Ketika Rappler mencoba menghubungi salah satu klinik, seorang dokter perempuan yang menjawab sambungan telepon tersebut.

dr. Mira (bukan nama asli) hanya memberikan ancar-ancar daerah yang dekat dengan lokasi klinik, tapi bukan alamat jelas. 

“Alamat itu privacy pasien,” kata dr. Mira. Ia kemudian mengarahkan untuk bertemu di sebuah fasilitas kesehatan di kawasan Kramat.

“Kalau sudah sampai, telepon saja, nanti karyawan kami ke depan,” ujarnya.

Sebelum berkunjung langsung ke klinik, dr. Mira juga melayani konsultasi melalui telepon. Alasannya demi menjaga rahasia identitas pasien. 

“Jika ingin melakukan aborsi, boleh datang langsung,” kata dr. Mira. 

Ia mengatakan, prosedurnya sangat mudah. Klinik tidak memerlukan dokumen apapun selain nama dan alamat pasien.

“Setiap pasien yang akan melakukan aborsi, terlebih dahulu harus kami periksa dengan USG untuk mengetahui usia kehamilan,” kata dr. Mira.

Menurutnya, proses ini penting untuk mengetahui kondisi pasien secara keseluruhan agar dokter bisa memastikan apakah pasien bisa dilakukan tindakan aborsi atau tidak.

Jika sudah melewati tahap pemeriksaan dengan USG, barulah kemudian dilaksanakan proses aborsi dengan tindakan kuret. Kuretase merupakan proses dan pengambilan isi rahim.

Waktu yang dibutuhkan untuk kehamilan di bawah 8 minggu hanya sekitar 10-15 menit. Semakin besar usia kandungan, makan semakin lama pula waktu yang dibutuhkan.

Dalam proses tersebut, pasien sebelumnya diberikan pilihan untuk anestesi atau bius lokal dan bius total. Setelahnya, pasien diizinkan beristirahat di klinik selama 15-30 menit sebelum diizinkan pulang. 

“Peralatan kami di sini bersih, steril, dan aman. Klinik kami juga baru direnovasi,” kata dr. Mira meyakinkan.

Sedangkan untuk biaya aborsi dibutuhkan sebesar Rp3 juta hingga Rp4 juta untuk kehamilan di bawah 8 minggu. Harga akan lebih besar jika usia kandungan sudah lebih lama. 

Selain itu, pasien juga akan dikenakan biaya konsultasi dan pemeriksaan USG senilai Rp250 ribu.

Risiko aborsi dan ketidaktahuan pasien

Sementara, dr. Ali Fadhly mengatakan salah satu risiko dari kuretase adalah pendarahan berlebihan.

“Kalau kita melakukan kuretase dan prosesnya tidak berjalan dengan baik, salah satu risikonya adalah rahim bisa bolong,” kata dr. Ali. “Efeknya pendarahan dalam perut dan bisa menyebabkan meninggal.”

Ia juga menyarankan kepada para perempuan yang berpikir untuk melakukan aborsi agar mengambil cara yang aman dan resmi, bukan ilegal.

(BACA: Berbagai risiko yang mungkin timbul akibat aborsi tak aman)

Ketidaktahuan pasien mengenai proses aborsi kerap membuat mereka mengambil langkah sendiri tanpa memikirkan baik-buruknya secara matang. Misal, selain mengambil tindakan aborsi tak resmi, banyak pasien yang menggunakan obat-obatan.

“Meminum obat itu merangsang kontraksi. Kontraksi yang berlebihan akan mengeluarkan janinnya,” kata dr. Ali.

“Misal, pasien meminum tiga tablet dalam satu jam, maka ia akan merasa mulas. Nanti janinnya akan keluar sendiri.

“Namun jika dosis berlebihan, rahim bisa robek karena kontraksi yang terlalu kuat sehingga mengakibatkan pendarahan, bahkan bisa menyebabkan kematian,” kata dr. Ali.

Biasanya, menurut dr. Ali, pasien tidak mengetahui pasti usia kehamilan sehingga mereka mencoba-coba sendiri dengan meminum obat yang dijual secara ilegal di pasaran. Harga satu jenis obat itu sendiri bisa berkisar hingga Rp500 ribu.

‘Aborsi bagian dari hak perempuan’

Oleh karena itu, negara didesak untuk menyediakan layanan konseling yang resmi dan mudah didapatkan oleh perempuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Menurut komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Budhi Wahy, layanan yang dimaksud adalah konseling berupa informasi lengkap tentang berbagai manfaat dan risiko sebuah intervensi terhadap tubuh perempuan, termasuk layanan penghentian kehamilan atau aborsi.

“Sebenarnya yang sangat diharapkan itu adalah negara menyediakan layanan ini secara benar. Maka perempuan akan terhindar dari praktek-praktek aborsi yang tidak aman,” kata Budhi.

Jika dilakukan dengan tidak aman, aborsi bukan hanya mengancam nyawa perempuan tapi juga dapat berdampak buruk bagi kesehatan seperti kemandulan, infeksi rahim, hingga dampak psikologis.

Persoalan di kalangan remaja, misalnya, pembelian alat kontrasepsi tidak diperbolehkan. “Alat kontrasepsi apapun itu tidak dianjurkan secara medis bagi pasangan muda, kecuali kondom,” ujarnya.

“Jika perempuan sudah aktif secara seksual, maka dia itu harus punya hak menerima layanan pada tubuhnya,” kata Budhi.

Karena maraknya informasi yang beredar di internet dan menjamurnya klinik aborsi ilegal, maka perempuan kebingungan untuk mendapatkan informasi yang benar dan bermanfaat.

“Oleh karena itu, kami melihat bahwa aborsi bagian dari hak. Intinya kalau perempuan itu bisa mencegah kehamilannya [yang tidak diinginkan], dia akan mencegah,” kata Budhi. —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!