Antara #TrumpTapes dan bocornya pembicaraan telepon Habibie

Uni Lubis

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Antara #TrumpTapes dan bocornya pembicaraan telepon Habibie
Debat redaksi tentang relevansi konten bocoran rekaman dengan upaya mengecek keaslian rekaman

Mendapatkan scoop, atau informasi eksklusif, adalah peristiwa penting bagi seorang jurnalis dan media di tempat ia bekerja. 

David A. Fahrenthold, jurnalis koran The Washington Post, mendapatkan sebuah scoop sekitar pukul 11:00 waktu setempat, pada 7 Oktober 2106. Fahrenthold meliput kampanye pemilu presiden Amerika Serikat dengan intensif.  

Ia menggunakan metode urun daya (crowdsourcing) dari media sosial saat menelisik pembayaran pajak perusahaan dan yayasan terkait kandidat presiden Donald Trump dari Partai Republik.

Informasi yang diterima Fahrenthold ternyata sebuah rekaman suara antara Trump dan Billy Bush, pembaca acara tayangan Access Hollywood, program hiburan yang diproduksi oleh NBC Entertainment, dari sebuah episode yang diproduksi pada 2005, sebelas tahun lalu. Rekaman percakapan itu dilakukan di dalam bus yang membawa Trump dan Bush ke studio.  

Trump adalah tamu untuk acara tersebut. Keduanya mengetahui bahwa sepanjang perjalanan yang mengantarkan Trump ke studio, ada kru yang merekam seluruh pembicaraan. Termasuk ucapan-ucapan Trump yang sarat dengan pelecehan terhadap perempuan.  Trump mengaku pernah mencoba melecehkan seorang perempuan bernama Nancy.  

Washington Post menurunkan artikel Fahrenthold pada hari itu juga, pukul 4 sore waktu setempat di situs daring koran itu. Dalam waktu sekejap, artikel terkait rekaman pembicaraan Trump dengan Bush diakses oleh 100 ribu pembaca dalam waktu bersamaan. 

Saking banyaknya pembaca yang mengakses situs tersebut sempat menganggu server penerbitan daring itu. Yang terjadi selanjutnya adalah sejarah dalam politik AS.

Artikel itu menjadi titik penting dalam proses kampanye pilpres AS karena dimanfaatkan oleh kubu Hillary Clinton dan Partai Demokrat untuk memojokkan Trump sebagai kandidat yang tidak menghargai perempuan. Bahkan sejumlah tokoh Partai Republik yang mendukung Trump menarik dukungannya.  

Trump dianggap tidak pantas menjadi presiden AS. Artikel itu terbit menjelang debat kedua antara Trump dan Hillary.  Sebelumnya, kubu Trump mengancam akan menggunakan skandal seks yang dilakukan Presiden Bill Clinton, untuk melawan gencarnya serangan kubu Hillary atas skandal pembayaran pajak Trump selama 18 tahun terakhir.

Antara relevansi dan orisinalitas rekaman

Kandidat Presiden AS dari Partai Republik, Donald Trump, saat berpidato tentang kebijakan luar negeri AS di Hotel Mayflower pada 27 April 2016, Washington DC. Foto oleh Chip Somodevilla/AFP

Sampai hari ini, debat kontroversi bocoran rekaman suara video #TrumpTapes itu masih jadi bahasan utama media di AS, dan terus menggedor hati nurani pemilih AS. Cukup banyak yang sudah menyatakan akan mendukung Trump, dan ingin mengakhiri dominasi Demokrat yang dua periode menghuni Gedung Putih melalui kepemimpinan Barack Obama.

Di balik heboh terbitnya berita rekaman suara video itu, sempat terjadi perdebatan di redaksi WaPo. Sebelum WaPo menerbitkan rekaman suara video Trump itu, redaksi NBC News yang notabene satu kepemilikan dengan NBC Entertainment, NBC Universal, berencana menerbitkan rekaman itu.

Yang pertama kali menemukan video rekaman itu adalah staf di Access Hollywood, yang ingat bahwa mereka pernah merekamnya. Sebagaimana biasanya, WaPo dan NBC condong ke calon Demokrat dalam setiap pilpres.

Access Hollywood dan NBC News tengah berhitung potensi somasi hukum dari pihak Trump, ketika datang upaya konfirmasi dari Fahrenthold. Pasalnya Trump sedang gencar mengumbar ancaman hukum kepada media yang dianggap merugikan dalam hal pemberitaan. Rencananya, Access Hollywood sebagai pemilik materi rekaman akan menayangkannya, sesudah itu disusul NBC News.  

Upaya konfirmasi WaPo memaksa NBC News mempercepat penayangan rekaman suara video itu. Reporter NBC News on air dengan tayangan video #TrumpTapes, tujuh menit setelah Wapo menerbitkannya.

Martin “Marty” Baron, editor eksekutif WaPo, menceritakan perdebatan di ruang redaksinya. Kita mengenal sosok Marty Baron dalam film Spotlight, tentang tim investigasi Boston Globe yang menelisik praktik pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur di kalangan gereja Katolik di Boston. Liputan itu diganjar hadiah Pulitzer tahun 2002.   

Film Spotlight yang diangkat dari kisah nyata tim investasi Boston Globe, diganjar hadiah Oscar 2016 untuk kategori Film Terbaik. Marty Baron adalah editor eksekutif Boston Globe saat investigasi itu dilakukan.

Mengingat banyak kata dan kalimat yang memuat kata tidak senonoh yang datang dari ucapan Trump, redaksi membahas sejauh mana bisa menerbitkan rekaman seutuhnya. Bagian mana yang harus diedit?  

Mereka menyadari bahwa materi rekaman bakal diakses oleh anak-anak yang kini mengonsumsi informasi dari internet terutama, dan televisi. Menurut Marty Baron, hal lain yang tak kalah penting adalah menjawab dua pertanyaan: Apakah materi rekaman suara video #TrumpTapes otentik? Apakah materinya relevan?

Marty Baron mengatakan bahwa tidak ada keraguan atas relevansi dari materi dalam rekaman video. WaPo harus melakukan verifikasi apakah video rekaman itu otentik. Fahrenthold berhasil mendapatkan konfirmasi bahwa video rekaman itu otentik. WaPo memberitakan bocoran rekaman video itu. 

Tidak hanya mengguncang Partai Republik, bocoran itu juga mengguncang masyarakat AS yang mulai merasa pemilu kali ini menempatkan negeri itu pada dua pilihan yang sangat bertentangan. Mirip Pilpres Indonesia pada 2014.  

Bocornya rekaman pembicaraan telepon Presiden BJ Habibie

Presiden ke-3 RI saat berpamitan kepada Presiden Jokowi di Istana Negara pada 13 Oktober 2015. Foto oleh Gatta Dewabrata/Rappler

Membaca keterangan Marty Baron, saya teringat kembali apa yang terjadi pada Februari 1999. Saat itu saya bekerja di majalah mingguan Panji Masyarakat, dan baru saja menerima alih tanggung jawab sebagai pemimpin redaksi, yang berarti juga penanggung jawab majalah itu. Saya juga merangkap wakil pemimpin umum.

Pada Selasa, 16 Februari 1999, kami di redaksi tengah menyiapkan bagian terakhir dari majalah edisi terbit yang terbit 24 Februari 1999. Hampir semua bagian majalah, sekitar 80-an halaman sudah jalan ke percetakan.

Seseorang yang tidak dikenal mengirimi saya paket bingkisan dalam amplop tertutup warna cokelat. Saya ingat paket itu sampai ke kantor Panji Masyarakat sekitar jam 11:00 WIB. Saya tengah mengecek laporan utama, yang juga cover story

Ketika saya buka, amplop itu isinya sebuah kaset rekaman suara ukuran kecil, yang biasa digunakan jurnalis dalam wawancara.  Ada keterangan bahwa kaset itu berisi rekaman pembicaraan telepon antara Presiden BJ Habibie dan Jaksa Agung Andi M. Ghalib.  

Di ruang rapat redaksi, saya mengajak beberapa teman untuk mendengarkan rekaman suara itu. Begitu rekaman kami putar, tak ada keraguan. Itu suara Presiden Habibie. Presiden ke-3 Republik Indonesia itu punya suara yang sangat khas dan sangat mudah dikenali. Materi rekaman adalah membicarakan hasil pemeriksaan terhadap Presiden ke-2, Soeharto, berkaitan dengan kasus dugaan korupsi terkait sejumlah yayasan.  

Kuat dugaan, dan ini juga disampaikan Menteri Sekretaris Negara Akbar Tanjung setelah majalah kami terbit, penyadapan pembicaraan telepon itu dilakukan sehari setelah 10 Desember 1998, saat Kejaksaan Agung memeriksa Soeharto.

Habibie: Kalau Bapaknya berapa jam?
Ghalib: Tiga jam lebih.
Habibie: Ya, udah cukup.
Ghalib: Iya, tapi kan kalau cuma dua jam juga nanti orang, wah, sandiwara apalagi nih. 

Begitulah percakapan telepon itu dimulai. Tidak hanya menyinggung kasus Soeharto, pembicaraan juga menyebut nama pengusaha Arifin Panigoro dan Sofyan Wanandi yang saat itu dituding mendukung aksi-aksi menurunkan Soeharto dan kroninya. 

Bocoran rekaman pembicaraan telepon itu durasinya pendek, sekitar dua menit. Tetapi cukup untuk menunjukkan upaya “intervensi” yang dilakukan pemerintah yang berkuasa, yang notabene kepanjangan pemerintahan Soeharto, untuk sedapat mungkin tidak memojokkan penguasa Orde Baru itu.  

Apa yang diceritakan Marty Baron persis diskusi yang kami alami di Majalah Panji Masyarakat. Tidak ada pertanyaan soal relevansi. 

Saat itu, keseriusan pemerintahan Habibie mengusut kasus dugaan korupsi rezim Soeharto berada dalam tingkat tertinggi prioritasnya. Negeri ini saat itu nyaris bangkrut karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebagai “journalistic scoop”, materinya relevan.  

Bagaimana menguji otentitas rekaman? Ini bentuknya kaset rekaman suara. Tidak ada gambar sebagaimana yang didapat WaPo dengan #TrumpTapes.

Kami di tim redaksi memutuskan akan menerbitkan secara utuh transkrip bocoran rekaman pembicaraan itu. Bersamaan dengan itu, kami mendapat informasi bahwa sejumlah pihak sudah mendapatkan rekaman yang sama, termasuk beberapa media. Mereka tak berani menerbitkannya secara utuh.  

Saya ingat mengatakan ke redaksi, “Kita bisa memberitakan ini sebagai sebuah fakta, bahwa di masyarakat sudah beredar rekaman itu. Yang perlu kita lakukan adalah mendapatkan konfirmasi dari kedua pihak, baik Presiden Habibie maupun Jaksa Agung Andi Ghalib.”

Saat itu belum ada telepon pintar. Jurnalis mengejar konfirmasi kepada narasumber dengan cara menemui langsung atau mencegat alias doorstop, atau mengirim pertanyaan dan atau upaya konfirmasi melalui mesin faksimili.  

Mencegat seorang presiden tentu sulit. Saya berupaya mengontak dan mengirimkan faksimili ke orang dekat yang juga staf Presiden Habibie, yaitu Jimly Asshidiqie dan Dewi Fortuna Anwar. Dalam upaya konfirmasi itu, saya menyampaikan bahwa kami akan menerbitkan rekaman pembicaraan itu dalam edisi paling dekat, dengan tenggat waktu sore itu juga, 16 Februari 1999.

Saya menelepon Todung Mulya Lubis, pengacara yang banyak menangani kasus sengketa media. Bang Todung mengingatkan saya bahwa rekaman kaset tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti jika kasus ini menyeret saya dan Panji Masyarakat ke proses hukum. 

Saya juga mengontak dua pengacara lainnya. Masukan mereka sama. Secara hukum, mereka mengingatkan risiko jika kami menerbitkan materi bocoran rekaman itu. Bang Todung juga mengatakan, dia siap membela jika terjadi masalah.

Waktunya tinggal tiga jam sebelum kami harus menyerahkan naskah terakhir ke percetakan, berikut desain sampul. Cover story berubah menjadi “Beredarnya Rekaman Ghalib-Habibie”. Transkrip rekaman sekitar dua halaman termasuk pengantar. Itulah cover story terpendek yang pernah kami terbitkan.  

Presiden RI ke-3 BJ Habibie dirawat di rumah sakit. Foto dari Facebook.com/Habibie Center

Jawaban dari Istana belum ada. Saya dan seorang teman mendatangi Gedung Kejaksaan Agung. Kami menemui seorang pejabat yang saya tahu sangat dekat dengan Ghalib. Begitu rekaman kami perdengarkan, dia berkomentar, “Tolong jangan dimuat, ya.”  

Dia tidak bisa membantah. Suara dalam rekaman memang suara Jaksa Agung Andi Ghalib. Tentu saja dia tidak mau dikutip.

Dalam waktu yang semakin mepet, padahal tidak ada konfirmasi on the record, akhirnya kami di redaksi sepakat menerbitkan dengan menggunakan istilah “suara mirip Habibie, suara mirip Ghalib”. Tidak ada keraguan soal relevansi.  

Saya pribadi, dan didukung tim redaksi merasa yakin bahwa rekaman suara itu otentik. Masalahnya, media saat itu masih dalam suasana kelanjutan rezim Soeharto. Pimpinan di kalangan militernya pun masih orang dekat Soeharto. Kata “mirip” kami pilih sebagai proteksi. 

Ketika majalah itu terbit keesokan harinya, dengan sampul edisi 45 tahun II, 24 Februari 1999, masyarakat terguncang. Dunia politik gonjang-ganjing. Kantor Majalah Panii Masyarakat di kawasan Kemang Selatan Raya didatangi oleh sejumlah media termasuk media televisi. Mereka ingin meliput rekaman kaset itu, padahal sebagian dari mereka sudah memilikinya.  

Seorang pemimpin lembaga intelijen nasional datang ke kantor untuk mendapatkan salinan rekaman itu. Saya menolak. Begitu juga ketika media meminta kami memutar rekaman itu.  

Dalam pikiran saya saat itu, kemasan berita yang muncul dari Panji Masyarakat adalah sebatas yang kami sajikan dengan proteksi kata “mirip”. Televisi dan radio kemudian berani memutar kaset rekaman secara utuh setelah Majalah Panji Masyarakat terbit.

Habibie jelas marah besar atas terbitnya bocoran rekaman pembicaraan telepon itu. Marah kepada kami di Majalah Panji, tetap lebih marah terhadap pihak yang menyadap pembicaraan seorang presiden. Habibie tengah menghadapi upaya untuk dipilih kembali dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Setelah majalah terbit, sejumlah polisi datang ke kantor Majalah Panji Masyarakat. Mereka memaksa saya untuk ikut ke kantor polisi, di Bareskrim Mabes Polri, untuk diperiksa. Saya sudah memperkirakan ini terjadi. Aparat akan memaksa kami membuka siapa sumber yang memberikan rekaman kaset tersebut.    

Saya akan menggunakan Hak Tolak Pers, yang memberikan hak kepada jurnalis untuk menolak menyebutkan nama narasumber yang dilindunginya. Tentu risikonya adalah mengambilalih tanggung jawab atas informasi tersebut, termasuk risiko hukumnya.

Pintu kaca di kantor Majalah Panji Masyarakat sampai pecah ketika polisi memaksa saya untuk ikut naik ke mobil polisi. Saya menolak naik mobil polisi. Ketegangan terjadi. Puluhan teman-teman jurnalis menjadi saksi.  

Saya menelepon Bang Todung Mulya Lubis yang segera datang ke kantor untuk menemani sebagai pengacara. Kami naik mobil dinas majalah Panji Masyarakat. Di jalan, saya sempat menelepon orangtua saya, karena televisi sudah ramai meliput sejak majalah terbit pada 17 Februari siang.  

Ayah saya, pensiunan hakim, berpesan, “Jangan takut, jangan mundur. Hadapi semua dengan tegar. Kami mendoakan.”  

Saya merasa sudah mempertimbangkan segala aspek yang bisa menjadi proteksi kami sebelum menerbitkan itu. Alasan kuatnya adalah kepentingan publik yang lebih besar. Yang paling membesarkan hati tentu dukungan teman-teman jurnalis di Majalah Panji, dan jurnalis dari media lainnya. 

Ratusan dari mereka berkumpul menunggui saat saya diperiksa selama lebih dari enam jam di kantor polisi. Mereka menyatakan solidaritas dan mengutuk upaya kriminalisasi yang kami hadapi. Beragam tokoh masyarakat pro-reformasi menyampaikan dukungan melalui wawancara media.

Dalam pemeriksaan di polisi, saya didampingi oleh Bang Todung dan Mbak Lelyana Santosa. Ketika akhirnya saya kembali ke kantor larut malam, sudah ada sejumlah pengacara lain yang diajak Bang Todung untuk bergabung membela kami, di antaranya Bang Atmajaya Salim dan Mas Kamal Firdaus yang datang naik kereta api dari Yogyakarta. Nama-nama ini adalah pengacara dengan kredibilitas tinggi dan pro kemerdekaan pers.

Ini beberapa kutipan dari peliputan media setelah bocoran rekaman pembicaraan telepon Habibie-Ghalib terbit:

“Mensesneg Akbar Tanjung kepada pers di Istana Merdeka, Kamis siang (18/2/1999) mengutip Presiden BJ Habibie menyatakan, Kepala Negara telah memerintahkan Menhankam/Pangab untuk menyelidiki kasus bocornya pembicaraan tersebut.

“Presiden menginstruksikan para pejabat terkait untuk mengambil langkah-langkah tegas, untuk mencari siapa yang membocorkan pembicaraan tersebut atau bila betul siapa yang melakukan penyadapan,” katanya.

Mensesneg Akbar Tanjung menegaskan, Pemerintah akan mencari siapa yang telah membocorkan pembicaraan via telepon tersebut pada 10 Desember 1998, sehari setelah pemeriksaan Soeharto.”  

Berita ini dimuat di kantor berita resmi negara, Antara.

Harian Bernas yang terbit di Yogyakarta menurunkan wawancara dengan Teten Masduki, aktivis antikorupsi. Teten yakin suara yang ada di kaset adalah benar-benar suara Habibie-Ghalib. Dia mengaku sudah mendengarkan isi kaset itu bersama pengacara Todung Mulya Lubis, jauh sebelum Panji menurunkannya minggu ini. 

“Kalau perlu, rekaman itu disiarkan lewat RRI dan diadakan voting di tengah rakyat. Pasti rakyat akan setuju kalau itu suara Habibie-Ghalib,” kata Teten.

Bernas juga mengutip Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Ichlasul Amal. “Dari pembicaraan itu bisa kita lihat bagaimana Ghalib yang tidak tegas dalam memproses pengadilan Soeharto. Peredaran rekaman itu juga tampaknya dilandasi dengan motif politik tertentu,” kata Rektor UGM ini. 

Bocornya rekaman telepon terkait kasus dugaan korupsi Soeharto itu menurunkan kredibilitas Presiden Habibie.

Bertahun-tahun kemudian, orang-orang di Istana Presiden saat peristiwa itu terjadi menceritakan kepada saya bagaimana kemarahan Presiden Habibie.  

“Bukan ke kalian, media, tetapi Habibie merasa dikhianati oleh penyadapan itu,” ujar seorang pakar politik yang menjadi staf Presiden Habibie.  

Ada desakan untuk memproses kasus ke ranah hukum, menyeret Majalah Panji Masyarakat dan saya. Tapi dukungan publik kepada media saat itu membuat kubu Habibie berpikir, bermusuhan dengan media tidak menguntungkan.

Rekaman itu otentik.

Bahwa ada kepentingan politik dalam beredarnya rekaman bocoran pembicaraan Habibie-Ghalib itu, kami sadari juga. Persis seperti yang dirasakan tim redaksi WaPo saat menurunkan bocoran rekaman #TrumpTapes.  

Ada yang diuntungkan dengan beredarnya rekaman itu, jelas. Kubu Pro Reformasi saat itu. Sebagai jurnalis, secara pribadi saya bersama mereka. Tetapi sebagai media, saya pikir kami sudah memberikan kesempatan kepada pihak Habibie dan Ghalib untuk memberikan klarifikasi. Memang tidak ideal, karena tidak langsung ke yang bersangkutan.

Sejumlah pihak menuliskan peristiwa itu, bagaimana Majalah Panji Masyarakat menerbitkan bocoran rekaman Habibie-Ghalib, sebagai sebuah liputan investigasi. Sejak awal saya mengatakan liputan itu bukan liputan investigasi. Karena tugas kami di redaksi hanya melakukan verifikasi atas dokumen yang kami dapatkan dari pihak lain.  

Liputan investigasi haruslah didesain dan direncanakan sejak awal oleh jurnalis atau media. Biasanya membutuhkan waktu lama.  

Keputusan menerbitkan cover story “Beredarnya Rekaman Ghalib-Habibie” hanya kami ambil dalam waktu sekitar empat jam, sejak kami menerima kaset rekaman dan melakukan proses konfirmasi. Persis yang dilakukan WaPo.  

Ada nuansa politik. Tidak bisa dibantah. Bertahun kemudian, saya baru tahu bahwa peristiwa bocornya rekaman Habibie-Ghalib itu menjadi pijakan bagi Lembaga Sandi Negara untuk melakukan pengacakan lebih serius atas pembicaraan pemimpin negara termasuk presiden.

Setelah kasus penyadapan itu, Lembaga Sandi Negara menerapkan sistem persandian pada sarana komunikasi di sejumlah departemen dan instansi negara. 

“Itu untuk mengamankan rahasia, bukan untuk menyembunyikan diri, membela koruptor atau mengelabui rakyat,” kata Kepala Lembaga Sandi Negara saat itu, Nachrowi Ramli, dalam wawancara dengan Tempo, pada 15 Desember 2006.

Terbitnya bocoran rekaman pembicaraan telepon Habibie-Ghalib mendorong sebuah perubahan. Bukankah itu yang diinginkan oleh sebuah peliputan jurnalistik? —Rappler.com

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!