Film regional Indonesia berpotensi nilai jual tinggi

Syarifah Fitriani

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Film regional Indonesia berpotensi nilai jual tinggi
Mengusung kisah atau budaya khas suatu daerah menjadi keunggulan film regional

MAKASSAR, Indonesia – Di masa modern ini, dunia perfilman semakin diramaikan dengan hadirnya film regional atau lokal yang tak kalah bagusnya dengan film nasional lainnya.

Diusung oleh rumah produksi di daerah masing-masing, film regional lebih cenderung mengangkat problema kisah rakyat di suatu daerah atau budaya-budaya yang masih dijaga hingga kini.

Namun jangan salah, film regional pun bisa tembus ke daftar box office. Salah satunya, Uang Panai, karya rumah produksi 786 Production dan Makkita Cinema Production.

Menceritakan budaya Bugis-Makassar berbalut komedi, Uang Panai sukses tembus box office hanya dalam 10 hari dengan jumlah penonton 300 ribu orang.

Hal itu membuktikan, film regional memiliki potensi pasar yang tak kalah bagusnya.

Melalui Seminar and Project Presentations, Potensi Pasar Film Regional Indonesia Sea Screen Lab Fair 2016, beberapa produser dan sutradara terkenal memberikan masukan kepada seniman muda dari berbagai daerah tentang perfilman Indonesia dan teknik penjualannya.

Antara lain Mouly Surya, seorang sutradara dan penulis skenario film Indonesia. Elvin Kustaman yang merupakan penulis sekaligus produser terkenal. Turut hadir Riri Riza, sutradara, penulis naskah dan produser yang sukses dengan Ada Apa Dengan Cinta.

Ada pula Robert Ronny, seorang produser, sutradara dan penulis naskah yang berhasil memenangkan Piala Citra untuk Skenario Asli Terbaik pada 2015 lalu untuk film Kapan Kawin?.

“Yang memiliki potensi bernilai jual tinggi saat ini adalah film bergenre komedi atau film sineas yang mengangkat budaya-budaya lokal inspiratif. Anak muda di setiap daerah patut diapresiasi karena dapat mengangkat kisah inspiratif menjadi sebuah seni yang layak ditonton,” kata Mouly.

Menjadi seniman didunia perfilman Indonesia, lanjut wanita yang kelahiran Jakarta 10 September 1980 ini, memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun ada kepuasan tersendiri saat menghasilkan seni yang diapresiasi oleh orang banyak, apalagi jika itu membekas bagi setiap penikmat film.

Tak jauh beda dengan Mouly, Robert Ronny, juga ikut memberikan semangat kepada para seniman lokal khususnya seniman perfilman Makassar yang mampu memproduksi film-film apik. Tidak mudah mengangkat sebuah budaya atau kisah hidup nyata orang tertentu menjadi sebuah film yang layak dan enak ditonton.

Problema perfilman selama ini, tidak hanya mengangkat sebuah cerita menjadi seni yang layak ditonton, namun juga pihak dibelakang layar wajib memikirkan target pasar. Parahnya, sering terjadi keuntungan dari penjualan film tersebut tidak seimbang dengan dana yang dikeluarkan dalam pembuatannya.

“Tapi di Indonesia, orang di belakang layar pintar-pintar, lho, mereka yang buat, mereka juga yang pasarkan. Jadi perannya ganda gitu. Biasanya banyak juga yang tidak kembali modal,” candanya.

Dari Bombe, Athirah, Siti hingga Uang Panai

Siapa yang tak kenal empat judul di atas?. Sempat tayang di bioskop dan ditonton hingga ribuan orang, film yang diprakarsai para seniman asal Makassar, Sulawesi Selatan ini, patut diacungi jempol.

Riri Riza mengungkapkan, para pembuat film di Makassar dan daerah lainnya memiliki semangat tinggi di bidang seni perfilman Indonesia. Karya-karyanya bahkan dapat disandingkan dengan karya film nasional buatan rumah produksi terkenal.

Agar karya yang dihasilkan bagus, setiap pembuat film harus memiliki karisma tersendiri. Karisma itu merupakan sebuah kemampuan untuk melihat potensi film di masa mendatang bukan hanya dari pasar saja.

Market memang perlu, tapi jangan sampai mengikuti trending topic saja. Harus bisa melihat apakah film yang dihasilkan nantinya berbobot dan patut menjadi tontonan,” jelas pria asal Makassar ini.

Empat film yang berhasil dipopulerkan para pemuda Makassar antara lain Bombe, Athirah, Siti dan Uang Panai, membuktikan seniman Makassar tak bisa dipandang sebelah mata. Cerita tentang budaya khas daerah yang berbalut adegan lucu, mampu meraih hati para penontonnya.

“Bukan cuma Makassar saja. Daerah lainnya juga sangat berpotensi menciptakan karya film populer. Hanya butuh kemauan, ide brilian atau inovasi, kreativitas dan kerja keras,” tambah Riri Riza.

Tiga film karya sineas Sulawesi masuk nominasi akhir Sea Screen Academy

Menyusul sukses para senior, baka-bak muda sineas Sulawesi pun terus muncul. Yang terbaru, ketiga nominator film regional yang dibuat oleh pemuda Sulawesi akan mengikuti tahap akhir SEA Screen Lab Project Market yang akan berlangsung pada tanggal 20-22 Oktober di Makassar.

Riri Riza, penggagas sekaligus direktur SEA Screen Academy mengatakan tahap terakhir ini adalah kesempatan membuka peluang bagi ketiga tim untuk meraih kesempatan bisnis dengan para pengambil keputusan dunia film dari Indonesia maupun Asia.

"Bukan cuma Makassar saja. Daerah lainnya juga sangat berpotensi menciptakan karya film populer," ujar Riri Riza, penggagas sekaligus direktur SEA Screen Academy. Foto oleh Syarifah Fitriani.

Beragam dukungan dana produksi tanpa ikatan, kesempatan mendapatkan subsidi dana produksi, dan pertemuan bisnis dapat diperoleh ketiga tim pembuat film sineas daerah ini.

Ketiga nominator adalah, Deni & Andi, yang mengangkat cerita saat kota Makassar berada dalam ketegangan rasial. Dua remaja dari keluarga Tionghoa dan Makassar menjadi saksi satu hubungan kemanusiaan. Disutradarai dan diproduksi Yandy Laurens & Andi Burhamzah.

Kedua, Mountain Song, menceritakan kisah ibu dan anak yang mendiami pegunungan Sulawesi Tengah, sebuah tempat yang indah namun sulit dijangkau. Cerita tentang tembang tradisi lama yang menemani kesenangan dan kesusahan. Disutradarai Yusuf Rajamuda dan diproduseri Tri Gayatri Rahmadiah, Palu.

Terakhir, Ujan Segera Pergi, kisah seorang remaja Dayak terguncang saat mimpi melanjutkan pendidikan menghadapi konsekuensi yang terlalu besar. Disutradarai Wucha Wulandari, diproduseri Nastitya Diesta dan mengambil setting di kota Makassar, Yogyakarta serta Balikpapan.

Sementara itu, Elvin Kustaman menambahkan, untuk menjadi insan perfilman Indonesia harus mengetahui target yang akan dituju. Apalagi dalam saat ini, era teknologi semakin berkembang dan sebuah film tidak lagi berpatokan pada cerita berdurasi panjang dan terkesan membosankan.

“Aplikasi streaming contohnya, sekarang sedang marak-maraknya. Contohnya YouTube, Facebook dan lainnya. Semua orang dapat memproduksi sebuah film pendek dengan memanfaatkan aplikasi ini. Jadi jangan terpaku dengan durasi lama, semua orang bisa menciptakan seni,” tandas Elvin.-Rappler.com.

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!