Pembatalan izin pulau G terganjal tenggat waktu

Ursula Florene

This is AI generated summarization, which may have errors. For context, always refer to the full article.

Pembatalan izin pulau G terganjal tenggat waktu
Namun, bukan berarti reklamasi dapat langsung dijalankan. Masih ada dokumen lingkungan hidup yang harus dipenuhi.

KABULKAN GUGATAN. Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta tengah menggelar jumpa pers dan mengatakan belum menyerah terhadap keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang mengabulkan banding Pemprov DKI. Foto oleh Ursula Florene/Rappler

JAKARTA, Indonesia – Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta mengabulkan banding Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tentang pembatalan izin reklamasi Pulau G. Hal ini dikarenakan ajuan gugatan dari nelayan Teluk Jakarta dan berbagai lembaga non-profit dinilai telah kedaluwarsa.

“Menyatakan Penundaan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT. Muara Wisesa Samudra tanggal 23 Desember 2014 dalam perkara Nomor : 193/G/LH/2015/PTUN- JKT. tidak berlaku lagi,” demikian tertulis dalam surat keputusan hasil sidang Senin, 17 Oktober lalu. Dengan demikian, reklamasi dapat kembali dilanjutkan.

Menurut mereka, pihak penggugat telah mengetahui hal yang dipersengketakan, yakni SK Gubernur terkait pemberian izin reklamasi, jauh sebelum gugatan didaftarkan. Padahal, ada jangka waktu maksimal yakni 90 hari sebelum gugatan didaftarkan.

Sedangkan, menurut majelis hakim, penggugat telah mengetahui soal SK Gubernur sejak Januari 2015, namun baru mendaftarkannya pada September 2015. Dengan demikian, gugatan telah kedaluwarsa dan secara prosedur tidak memenuhi persyaratan.

Meski demikian, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta yang merupakan pihak penggugat masih belum menyerah.

“Kami masih belum menerima salinan putusan, namun akan terus melawan,” kata kuasa hukum koalisi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Tigor Hutapea di Jakarta pada Jumat, 21 Oktober.

Mencari celah lain

Koalisi berencana mengajukan gugatan hukum dari berbagai celah lain. Menurut mereka, proses hukum, pemberian izin, hingga pelaksanaan reklamasi ini sarat pelanggaran.

“Sejak kami mengajukan gugatan, muncul berbagai temuan yang sangat substantif. Dari pengembang maupun eksekutif pemberi izin,” kata Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata. Pelanggaran yang mereka temukan bahkan melingkupi ranah pidana.

Pertama, adalah perusakan lingkungan. Marthin mengatakan hal ini telah melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 86.

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah),” demikian isi pasal tersebut.

Menurut dia, reklamasi Teluk Jakarta telah secara nyata mencemari dan merusak lingkungan sekitarnya. Akibatnya, nelayan yang menggantungkan hidupnya di sana tak bisa lagi mencari ikan dan harus berlayar lebih jauh. Padahal, kawasan tersebut merupakan wilayah perikanan nelayan menurut pemetan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Selain itu, mereka juga akan menggugat pembangunan Pulau C dan D yang melanggar Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Tata Ruang Pasal 69 dan 70 yang masing-masing berisi:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Memang pembangunan keduanya sarat pelanggaran seperti pulau dibuat menyambung tanpa kanal; serta sudah ada bangunan padahal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum mengeluarkan Izin Membangun Bangunan (IMB).

Keterbukaan informasi

Koalisi juga akan mengajukan sengketa informasi ke Kementerian Koordinator Bidang Maritim. Sebelumnya, Menkomaritim Luhut Binsar Panjaitan mengatakan hasil kajian ahli menyatakan tidak ada dampak fatal bila reklamasi dilanjutkan. Setidaknya, ada 7 pertimbangan dari berbagai pemilik kepentingan di megaproyek tersebut.

Meski berjanji akan merilis lengkap kajian tersebut, hingga saat ini Luhut belum melaksanakannya. Menurut Rayhan Dudayev dari Indonesian Center for Environment Law (ICEL), ada potensi kajian tersebut tidak ilmiah dan bersifat subyektif.

Koalisi menilai penting bagi pemerintah untuk terbuka, sebab mereka dapat saling membandingkan hasil kajian.

“Kami punya kajian yang menyebut reklamasi tidak layak dilanjutkan. Kalau memang reklamasi menguntungkan, ayo kita hitung secata detail sampai nilai SDA-nya. Apakah keuntungan yang didapat ini sesuai dengan kerusakan lingkungannya?” kata Rayhan.

Bila memang keuntungan publik dari reklamasi dapat menutupi, bahkan melebihi kerugian yang ditimbulkan, maka koalisi mempersilakan proyek reklamasi dilanjutkan. Sejauh ini koalisi telah memegang hasil kajian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Keduanya menyatakan kalau potensi kerugian akibat reklamasi sangat besar. Bila diuangkan, totalnya mencapai milyaran rupiah.

Mereka juga tengah mengkaji soal potensi adanya keterlibatan hakim dalam menelurkan putusan pengadilan. 

Sedang melakukan profiling hakim yg mengadili perkara. “Bisa dilihat, salah satu majelis hakim pernah menangani kasus lingkungan dan gugatan terkait kasus Monsato, ini gugatannya dikalahkan juga,” kata Rayhan.

Ia berencana melaporkan ke Komisi Yudisial dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KKP). “Salah satu tupoksi KY adalah melakukan pengawasan kode etik hakim,” kata dia.

Tigor menyimpulkan seluruh paparan tersebut mengartikan koalisi tidak akan menyerah untuk menghentikan reklamasi.

“Semua upaya akan dilakukan, termasuk kasasi, Peninjauan Kembali, kalau putusannya sudah didapatkan,” kata dia.

Belum bisa berjalan

Secara terpisah, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Abubakar menegaskan, kemenangan ini bukan berarti reklamasi serta merta dapat dijalankan. Menurut dia, pengembang harus terlebih dahulu menuntaskan persoalan analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang masih bermasalah.

“Menurut aturan (UU 32 Nomor 2009) seperti itu. Tidak bisa langsung jalan sekarang tanpa perbaikan dokumen lingkungan,” kata dia. Sejauh ini, pengembang juga masih harus memenuhi persyaratan yang tertuang dalam SK Menteri LHK nomor 354, 355, dan 356.

Rayhan membenarkan hal tersebut. Selain sanksi administratif, sebenarnya pembangunan juga harus menunggu tuntasnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dari megaproyek NCICD yang ditargetkan rampung Oktober ini.

“Selain itu, sebenarnya reklamasi ini dilingkupi masalah, mulai dari korupsi,” kata dia.

Terkait dengan gugatan terhadap pulau F, I, dan K; koalisi menegaskan tak akan bermasalah seperti ini. Menurut mereka, gugatan diajukan lebih cepat dari batas waktu kedaluwarsa, yakni sebelum 90 hari. Selain itu, mereka juga merupakan pihak ketiga yang berkeberatan dengan dilaksanakannya proyek.

“Kalau berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), kami tidak terbentur masalah itu,” kata dia. Selain itu, pengeluaran izin untuk 3 pulau tersebut berlangsung secara tertutup. Dengan demikian, tidak mungkin pihak penggugat tahu pada waktunya. – Rappler.com

 

Add a comment

Sort by

There are no comments yet. Add your comment to start the conversation.

Summarize this article with AI

How does this make you feel?

Loading
Download the Rappler App!